Di
dua kesempatan terakhir, saya menulis tentang dua judul berbeda yakni “Nilai UN
Rendah, Seharusnya Kita Resah” dan “Bunuh Saja Kambing Hitam Itu, Jangan Dicari
Lagi”. Kedua judul tulisan ini sebenarnya berkaitan erat satu dengan yang lain.
Ada fakta rendahnya nilai UN dan seharusnya ada cara/strategi yang dapat
disebut sebagai solusi. Tema kali ini adalah tentang fakta lain rendahnya mutu
pendidikan kita. Wajah pendidikan kita yang dilukai (melukai) hingga bernanah
dan berbau busuk. Parahnya, luka itu sudah diketahui tetangga sebelah tetapi
mereka berjuang diam untuk sebuah relasi dan nama baik sang pemilik luka. Guru
adalah pemilik luka itu. Seorang yang pantas dan seharusnya layak disebut sosok
yang digugu dan ditiru. Tetangga itu diam, bukan hanya wajah guru yang harus
dijaga tetapi cara merawat optimisme anaknya yang masih di bangku pendidikan.
Ia (tetangga) itu tahu, kalau luka yang sudah membusuk dari sang guru
diketahui/terbongkar, anaknya bakal sedih, kecewa dan pesimis. Ia memilih diam
seribu bahasa.
Hasil
UN kita rendah. Itu fakta. Lalu pertanyaannya, siapa yang bisa meningkatkan
prestasi peserta didik? Jawabannya adalah guru. Tetapi apa yang diharapkan dari
guru yang terluka, dilukai (melukai) ini? Siapa yang bisa menyembuhkan lukanya?
Tetangganya atau dirinya sendiri? Saya (kami) dari Media Pendidkan Cakrawala
NTT harus angkat bicara. Menyingkap sisi gelap (luka nanah) yang dialami guru
sekaligus menawarkan obat penawar yang ampuh. Tidak mengapa, jika luka nanah
dan berbau itu dibuka. Tidak perlu malu dan merasa terhina jika itu untuk
kebaikan (kesembuhan).
Sejak
tahun 2015, dua tahun setelah Media Pendidikan Cakrawala NTT berdiri, seperti
sang tetangga, saya mencium aroma tak sedap itu. Tentang luka bernanah dan
dibiarkan lama tidak diobati sehingga berbau busuk merusak iklim taman
pendidikan kita. Tidak semua tetapi ada guru yang memperoleh SK kenaikan
pangkat tetapi tetapi belum menulis karya ilmiah semisal PTK atau jurnal.
Kalaupun ada yang sudah mengaku tulis tetapi bukan ia sendiri yang tulis. Orang
lain yang tulis atas namanya. Orang yang menulis inilah yang lazim disebut
“Joki”. Ini fakta. Mari kita terbelalak tak percaya atau tersenyum sepakat.
Tahu apa itu joki? Seorang yang berada di punggung kuda. Joki selalu
mengadaikan adanya kuda. Dalam konteks persoalan ini, joki itu adalah ia
(oknum) yang menulis karya ilmiah guru dan dengan demikian guru itu, (maaf)
berarti kudanya tunggangannya. Sakitnya itu di sini. Saat guru sosok yang
digugu dan ditiru itu disebut kuda tunggangan. Sedih, miris dan memalukan.
Inilah luka itu. Bernanah dan sudah berbau busuk.
Di
suatu kesempatan kegiatan Bimbingan Teknik (Bimtek) menulis yang
diselenggarakan Media Pendidikan Cakrawala NTT, seorang guru senior datang
memberiku salam. Ia mengaku, empat tahun lagi mau pensiun. Ada raut wajah
bangga karena untuk sudah menduduki golongan pangkat IV/B. Hebat, minimal untuk
konteks NTT. Itu pangkat tertinggi. Ia meneteng laptop tanpa membawa alat tulis
(balpoit). Ketika diminta mengambil bolpoint, ia menjawab santai jika sudah
beberapa bulan terakhir, lebih sering mengunakan laptop kalau mau menulis.
Logikanya dapat. Sudah menempati golongan IV/B, artinya sudah professional.
Balpoint malah tidak diperlukan lagi. Pilih yang praktis dan yang gampang saja.
Pengalaman saya, biasanya untuk seorang penulis pemula sebaiknya jangan
langsung mengetik di laptop. Pakai balpoint dan tulis di kertas. Pertimbanganya
sederhana saja. Menulis itu menyusun pikiran agar tertata baik. Ada kata atau
kalimat yang dicoret dan bisa juga dipakai kembali. Layaknya seorang pelukis
yang membutuhkan sedikit energi untuk memadukan cat agat terlihat indah dan
sempurna. Kalau tubuh tulisan sudah terbentuk dalam logika pikiran yang runut
dan logis baru diketik.
Diam
adalah caraku mengamati (menyelidiki) situasi pikiran dan perasaan orang. Di
hadapan peserta yang ada, secara spontan kembali saya bertanya. “Bapa/ibu guru
yang terkasih, mohon ijin siapa yang sudah berada di golongan/pangkat IV/B”.
Guru senior yang tidak membawa balpoint tiba-tiba ragu mengangkat tangan. Ruang
kelas tiba-tiba sunyi dan mengundang rasa penasaran. Dengan wajah lesu, ia
(guru yang berpangkat IV/B itu akhirnya mengangkat tangan juga. Pada saat yang
sama ruang kelas terdengar riuh. Ada banyak suara sumbang yang tidak perlu. Beberapa
yang lain bersandiwara dalam batuk buatan. “Joki …. Joki”, kata yang jelas
terdengar.
Kegiatan
bimtek sudah tiba di hari ketiga. Artinya, di saat acara penutupan kegiatan
semua tulisan dikumpulkan oleh tim Cakrawala dan semuanya dibawa ke redaksi. Tradisi bimtek menulis Cakrawala NTT begitu. Hanya
perlu waktu hampir empat puluh menit memaparkan teori, puluhan jam tersisa,
dihabiskan untuk kegiatan praktik menulis. Tim tutor akan berjalan dari meja ke
meja, menyapa dan mendampingi peserta yang kesulitan memulai kata pertama,
kehilangan ide atau mengecek logika tulisannya. Cara pendampingan ini menjadi
sangat efekif karena guru pada prinsipnya butuh pendampingan menulis. Bukan
seminar menulis. Dari pengalaman kami (Cakrawala NTT) sejak tahun 2013, dalam
ruang bimtek menulis sesungguhnya ada dua kelompok guru. Kelompok pertama
adalah mereka (guru) yang sudah menulis. Jumlah mereka tidak banyak. Berkisar
10-15 % dari peserta yang hadir. Sesungguhnya, mereka sudah menulis tetapi
kewalahan ke mana tulisannya dipublikasikan. Sementara itu, kelompok kedua
adalah peserta yang mau menulis tetapi harus mulai dari mana. Biasanya kelompok
ini berjumlah banyak. Kelompok terakhir inilah yang perlu pendampingan lebih.
Dengan memiliki majalah pendidikan dan jurnal pendidikan ber-ISSN tingkat
provinsi, di hari ketiga tim Cakrawala NTT langsung memboyong karya tulis para
guru ini ke redaksi dan siap mempublikasikannya.
Mari
kita kembali, pada cerita awal tentang bung “joki” itu. Dia (yang sudah naik
pangkat) ini, hingga di hari ketiga belum menghasilkan satu jenis tulisan. Ia
memilih keluar-masuk kelas dan sesekali mengalihkan perhatian pemateri dengan
bercerita lamanya mengabdi di sekolah tersebut. Ia mengaku tetap bersemangat
walau beberapa tahun lagi pensiun. Saya menatapnya bangga. Bukanlah saya yang
mudah terkecoh dengan hal-hal begitu. Saya mulai bertanya santai tetapi serius.
“Tulisan bapa mana. Saya belum sempat lihat dari hari pertama karena bapa
selalu “sibuk”. Coba buka laptop, saya lihat”. Pertanyaan ini membuatnya
terdiam dan akhirnya berkata jujur. Sesungguhnya, PTK-nya ditulis oleh seorang
oknum dosen dari sebuah kampus. Ia terima jadi. Artinya oknum dosen itu (bung
joki) menulis dan muat di jurnal kampusnya. Sesuai kesepakatan ia harus
membayar hingga tiga bahkan empat juta untuk setiap judul PTK. Sedih, kecewa
dan marah. Guruku dihina dengan cara yang sangat keji.
……………………………………………………………….
Inilah
cerita kita. “wajah bopeng” dunia pendidikan kita. Jika faktanya mutu
pendidikan kita saya sangat rendah, maka yakini saja “luka” ini adalah salah
satu penyebabnya. Budaya literasi di kalangan guru sangat rendah. Padahal,
bicara mutu/kualitas pendidikan, guru adalah garda terdepan. Panglima perang
meretas kebodohan generasi bangsa. Guru dituntut untuk professional karena
alasan ini. Mari lihat daftar hadir di perpustakaan. Berapa banyak guru yang
datang membaca buku. Mari lihat dinding status facebook guru-guru kita. Tema
politik, penjualan produk online dan foto diri lebih banyak terlihat.
Pada
detik ini, banyak guru dihina. Siapa yang yang menghina guru? Jawabannya adalah
guru itu sendiri. Guru menghina dirinya saat budaya baca-tulis yang menjadi
tugas pokoknya diabaikan. Si “bung joki” tidak akan menghina guru jika guru itu
sendiri tidak mau dihina dan terhina. Mengembalikan wibawa guru dan
menyembuhkan luka bernanah dan berbau busuk itu, tidak ada cara lain. Hidupkan
budaya literasi di kalangan guru. Dalam konteks gerakkan literasi, guru
seharusnya menjadi garda (aktor) utama terdepan. Para penggiat literasi termasuk
Media Pendidikan Cakrawala NTT adalah stakeholders yang mengambil peran
pendukung. Membangun budaya literasi di kalangan guru tidak serumit mengakarkan
gerakkan literasi di kalangan peserta didik. Caranya? Mulailah dengan hal
sederhana. Sebagai contoh, hiasi dinding
facebook kita (guru) dengan tulisan berkelas sekelas diri kita. Tunjukan bahwa
kita adalah seorang guru dari status yang kita tulis. Hidupkan majalah Dinding
(Mading) guru. Sepengetahuan saya, hanya SMA Seminari Kisol-Manggarai Timur yang
memiliki Mading guru. Tidak heran, jika kualitas pendidikan di lembaga calon
Imam ini sangat bagus. Tulisan ini, tidak berarti ikut nimbrung menghina guru.
Tidak. Ini cerita kita dan ini luka kita. Hanya kita sendiri yang bisa
menyembuhkan luka kita. Bukan orang lain apalagi menuduh pemerintah telah
menetapkan regulasi yang “melukai” kita. Kita sudah sepakat. Kambing hitam itu
dibunuh. Jangan dicari lagi. Mari kita bergerak bersama untuk hebat semua. Salam
Cakrawala, Salam Literasi.
Gusty
Rikarno, S.Fil – Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT
0 Comments