Sebagian anak-anak Lembata menghabiskan waktu senggang mereka dengan menyantap berbagai bacaan di Taman Daun |
Lewoleba, Cakrawala NTT
Taman itu
tak seberapa luas. Hanya sekitar 40m x 60m. Namun, di situlah sebagian
anak-anak Lembata menghabiskan waktu senggang mereka dengan menyantap berbagai
bacaan yang disiapkan di rumah sang penggagas Taman Daun, Goris Ubas. Selain
membaca, anak-anak juga mengekspresikan keterampilan mereka melalui berbagai
karya seni dari bahan-bahan lokal seperti kerang, kayu, dsb. Di sana, imajinasi
mereka dibiarkan bebas terbang melalui aneka macam buku bacaan,
ceritera-ceritera dari Goris Ubas, dan kegiatan-kegiatan kreatif dengan
memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.
Taman Daun
yang terletak di Bluwa, Kelurahan Lewoleba Barat, Kecamatan Nubatukan,
Kabupaten Lembata ini sebenarnya lahir dari sebuah ketaksengajaan. Begitu tutur
Goris Ubas, penggagas sekaligus pengelolah taman tersebut.
“Pada tahun
1984 saya kembali ke Lembata setelah menghabiskan sebagian besar waktu di luar
Lembata. Berbekal pelatihan teknologi tekstil tentang pewarnaan selama setahun
di Bandung, pada tahun 1986 saya kemudian menggerakan beberapa ibu-ibu penenun
untuk menghasilkan kain tenun dengan teknik pewarnaan yang saya dapatkan dalam
pelatihan tersebut,” kenang Goris.
Namun karena
ibu-ibu ini umumnya mempunyai anak-anak yang dibawa serta ke tempatnya, Goris
lalu mencari cara agar anak-anak tersebut tidak mengganggu ibu mereka yang lagi
serius menenun.
“Maka saya
mengumpulkan anak-anak tersebut lalu membagi beberapa buku bacaan yang saya
punya. Dengan begitu, mereka tidak mengganggu konsentrasi ibu mereka,” lanjut
Goris.
Maka bersaman
dengan kelompok penenun itu, Taman Daun, yang awalnya bernama Bintang Kejora
sesuai nama kelompok tenun, juga berdiri. Jumlah awal mereka sekitar 20-an
orang. Seiring berjalannya waktu, jumlah mereka pun bertambah.
Nama Taman
Daun sendiri terinspirasi dari kerindangan berbagai pepohonan di taman
tersebut. Ada pohon mangga, angsono, pinang dan aneka jenis pohon buah-buahan
lain. Goris berceritera, awalnya, lingkungan itu hanya dipenuhi rumput
alang-alang. Ketika pepohonan yang ditanamnya mulai rindang, lingkungan itu
mulai dipenuhi oleh dedaunan hijau.
“Ada
beberapa anak yang mengusulkan agar daun-daun yang jatuh tidak dibersihkan
semuanya. Yang dibersihkan hanya sampah-sampah plastik. Daun-daun yang
melindungi anak-anak dari teriknya mentari lalu menjadi sumber inspirasi nama
komunitas yang sudah berusia 30 tahun ini,” kisah ayah tiga orang anak ini.
Anak-anak ini diajarkan membuat berbagai kerajinan tangan dari barang-barang bekas dan kerang |
Tidak hanya
mengarahkan mereka untuk membaca, kepada mereka juga Goris membawakan dongeng
dan cerita-cerita yang cukup menghibur. Di lain waktu, anak-anak ini diajarkan
menggambar, membuat berbagai kerajinan tangan dari barang-barang bekas dan
kerang. Bahkan beberapa anak-anak di komunitas tersebut berhasil mengikuti
lomba menggambar tingkat nasional. Ada yang mendapat piagam penghargaan, ada
yang mendapat beasiswa. Informasi tentang lomba itu sendiri diperoleh Goris
melalui koran bekas yang dipungutnya.
“Waktu liat
ada pengumuman tentang lomba tersebut dan kebetulan tanggalnya masih bisa, saya
lalu mengirimkan empat orang anak mengikuti lomba menggambar di Jakarta,” ujar
suami dari Brigita Bataona yang mengenyam pendidiikan dasar di Padang, Sumatera
Barat dan Bogor, Jawa Barat ini.
Tentang
informasi yang diperoleh melalui Koran bekas ini, Goris lalu mengungkapkan
bahwa salah satu elemen penting dalam perkembangan masyarakat (terutam di desa)
adalah akses informasi. Ia mengatakan, ada pegawai pemerintah yang diutus ke
luar daerah untuk melakukan pelatihan atau studi banding. Namun ketika kembali,
informasi (pengetahuan) yang mereka dapatkan tersebut tidak diteruskan ke
masyarakat. Malah, ada yang lalu menjadikan informasi yang seharusnya
disampaikan ke masyarakat itu menjadi sumber pendapatan (diperjual belikan).
Anak-anak dapat melecut imajinasi mereka dengan membaca |
Padahal,
menurut Goris, mengambil contoh kelompok tenun ikatnya, informasi tentang
teknik pewarnaan, tren pasar, dan harga jual harus disampaikan ke masyarakat.
“Masyarakat tidak butuh bantuan dalam bentuk uang, cukup dengan
infromasi-informasi semacam itu mereka bisa berdaya,” ujar Goris. “Begitupun
dengan anak-anak, pewaris masa depan bangsa ini. Mereka perlu mendapat akses
pengetahuan dan informasi yang bisa melecut imajinasi dan energi kreatif
mereka,” lanjutnya.
Sejak dua
tahun lalu, komunitas ini mulai diangkat ke media sosial melalui beberapa
anak-anak yang menjadi generasi awal komunitas tersebut. Ternyata, ekspos itu
mendapat respons positif dari beberapa pemerhati pendidikan literasi bagi
anak-anak. Beberapa diantaranya bahkan berasal dari luar negeri, seperti Ibu
Hana dan Ibu Christine Dewbury dari Inggris. Sumbangan mereka pun beragam. Ada
yang mengirimkan buku bacaan, buku tulis, alat menggambar, tas, dsb.
Saat ini,
Taman Daun sedang menggerakan sebuah program yang diberi nama Sejuta Buku untuk
Lembata. Program ini berupaya menggugah hati siapa saja yang mau menyumbangkan
buku untuk anak-anak di Lembata. Nantinya, buku itu akan didistribusikan ke
berbagai kelompok-kelompok kecil yang ada di Lembata.
Untuk
sementara, kata Goris, sudah ada dua orang relawan yang mau menjadi pengelolah
kelompok taman baca. Yang satu dari Riangdua, dan satunya lagi dari Tanatreket.
Melalui cara semacam itu, Goris berharap semakin banyak kelompok di
pelosok-pelosok Lembata yang bisa menjadi tempat anak-anak menghabiskan waktu
senggang mereka untuk membaca atau berkreasi.
Dengan
membaca Goris berharap anak-anak selalu merasa kurang dan selalu mau mencari
tahu lebih banyak lagi. Karena membaca, terutama dari buku-buku bacaan membuat
mereka bisa lebih fokus.
Goris Ubas bersama anak-anak di Taman Daun |
“Kalau
membaca melalui smartphone kan biasanya banyak iklan dan mereka tergoda untuk
melakukan hal-hal lain misalnya bermain game sehingga tidak berkonsentrasi,”
ujarnya.
Karena itu,
melalui komunitas ini, Goris ingin membawa anak-anak Lembata menyelami indahnya
membaca melalui buku, mendengarkan kisah dongeng, dan berkarya melalui
karya-karya kreatif.
Salah satu
generasi awal Taman Daun, John S Batafor, kini menjadi penggiat gerakan
perpustaakaan alam. Bukan hanya di Lembata, John bahkan sudah melebarkan sayap
ke beberapa daerah di NTT, seperti Malaka, Fatuleu, Amarasi, Bolok, dll.
Tentang
kerja sosialnya itu, John pernah menulis dalam salah satu postingan di dinding
Facebooknya, “Bukan Persoalan Laut masih bisa menghidupi kalian. Namun,
pendidikan merupakan pondasi dalam membangun wawasan masyarakat sehingga
terciptalah Sumber Daya Manusia yang akan memajukan dan membangun daerahnya
berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi serta iman dan ketakwaan.”
Goris, John,
dkk, sudah memulai sebuah usaha yang sedikit banyak telah membantu generasi
muda NTT merawat imajinasi dan keingintahuan mereka. Mereka ingin lebih banyak
orang terlibat dalam gerakan semacam ini sehingga anak-anak NTT bisa mempunyai
bekal yang cukup dalam menggapai cita-cita dan mimpi mereka. (ens)
0 Comments