Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

 Perayaan Hari Sastra NTT

GERSON POYK: SASTRAWAN HARUS PUNYA INTUISI KREATIF
Kepala Kantor Bahasa NTT, Valentina L. Tanate, S.Pd, didampingi sastrawan Mezra Pellondou, Rm.Amanche Ninu, dan Mario F. Lawi.
Kota Kupang, Cakrawala NTT

“Orang-orang yang bergerak di bidang sastra harus memiliki intuisi kreatif. Artinya, membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mereka tidak hanya bergerak di bidang sastra tapi juga di bidang lain seperti bidang sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan,” demikian dikatakan sastrawan Indonesia kelahiran Rote-NTT, Gerson Poyk, ketika dihubungi lewat telpon pada perayaan Hari Sastra NTT di halaman Kantor Bahasa Provinsi NTT, Minggu (19/6/2016). Menurut sastrawan senior yang pada 16 Juni 2016 genap berusia 85 tahun, kesadaran akan intuisi kreatif perlu ditumbuhkan dari hari ke hari lewat belajar dan kepekaan akan realitas sosial.

“Tidak usah takut bahwa NTT terlambat. Karya besar datang dari intuisi kreatif pengarang. Banyak baca, kenal sastra dan penulis dunia. Penting juga mempelajari filsafat. Tanpa filsafat, tidak bisa yang lain,” tegas Poyk.

Kepala Kantor Bahasa NTT, Valentina Lovina Tanate, S.Pd, dalam sambutannya, mengatakan, lewat penelusuran data sejarah sastra NTT, sastra NTT lahir pada tahun 1961 yaitu pada saat pertama sekali tokoh sastrawan NTT menulis karya sastra dengan judul “Mutiara di Tengah Sawah” yang dimuat dalam majalah Sastra dan mendapat penghargaan sebagai karya sastra terbaik pada tahun 1961. Orang NTT yang berjasa tersebut adalah Gerson Poyk. Setelah Gerson Poyk merintis penulisan cerpen (1961) dan novel (1964), muncul perintis penulisan puisi, yakni Dami N. Toda yang menulis dan mempublikasikan karya puisi pertama tahun 1969 dengan judul puisi “Sasando Negeri Savana” yang dimuat dalam majalah Sastra.

“Tahun 2016 ini, usia sastra NTT adalah 55 tahun, terhitung sejak 1961. Sudah ada puluhan sastrawan dengan ratusan karya yang terbit terdiri dari buku puisi, cerpen, dan novel. Kita patut bersyukur dan optimis bahwa di tahun yang akan datang, sastra NTT dan karya sastra NTT akan semakin dikenal oleh seluruh sastrawan dan masyarakat NTT dan nusantara. Kita harus tetap berusaha menumbuhkan karya-karya baru dan karya yang semakin disenangi dan dicintai oleh setiap orang. Untuk itu, Kantor Bahasa NTT akan berupaya menjadi tempat bernaung dan mewadahi setiap bentuk apresiasi sastra dan karya sastra NTT agar semakin dikenal oleh seluruh masyarakat NTT dan Indonesia,” tutur Tanate.

Pada kesempatan itu, sastrawan Mezra E. Pellondou, mengungkapkan dua persoalan terkait sastra di NTT yakni pertama, akses terhadap pengarang yang masih kurang, dan yang kedua adalah kritikus sastra yang masih langka. Terhadap dua hal ini, kata Pellondou, dibutuhkan peran semua pihak. Sastrawan yang juga adalah pendiri Uma Kretif Inspirasi Mezra (UKIM) ini juga menegaskan, dengan menulis, kita jadi pintu gerbang bagi orang lain untuk dapatkan hal-hal baik. Namun sebelumnya kita harus terlebih dahulu menjadi teladan. Sastra baginya adalah jejak pengelanaan di bumi Tuhan. Sastra juga merupakan pintu gerbang nilai-nilai pendidikan.

Sementara itu mewakili generasi muda, Mario F. Lawi, menyinggung dua kelompok pelajar yang menumbuhkan dan merawat benih-benih sastra mereka dengan caranya sendiri. Kelompok pertama adalah siswa-siswi SMA Katolik Stella Maris Niki-Niki yang menerbitkan majalah semesteran bernama Lumen Stellae, frasa bahasa Latin yang berarti “cahaya bintang”. Kelompok kedua, para siswa SMA Seminari St. Rafael Oepoi yang menerbitkan buletin sastra bulanan Flumina. Flumina adalah bentuk plural kata benda bahasa Latin yang berarti “sungai”.

Dua kelompok ini, kata Lawi adalah antitesis dari Gerson Poyk, sastrawan kelahiran pulau Rote yang hari ulang tahunnya diperingati juga sebagai Hari Sastra NTT. Meski dilahirkan di NTT, Gerson butuh meninggalkan NTT untuk mengendapkan dan melahirkan karya-karya sastranya. Jika Gerson Poyk butuh tokoh-tokoh fiksi seperti Roki dan Paul Putak untuk memaksimalkan potensi daerahnya, anak-anak Stella Maris dan anak-anak St. Rafael memaksimalkan potensi yang mereka miliki sebagai bagian dari NTT tercinta dengan menumbuhkan dan merawat benih-benih sastra dalam diri mereka, mungkin tanpa pernah peduli atau tahu Hari Sastra NTT ada atau tiada.

“Dua kelompok muda ini, anak-anak Stella Maris dan anak-anak St. Rafael, mayoritas belum sempat bersentuhan secara langsung dengan tempat-tempat di luar NTT, tapi mereka membiarkan karya-karya mereka berbicara tentang apa saja, termasuk tentang tempat-tempat yang jauh. Mereka bukan tokoh-tokoh fiksi. Mereka adalah bagian dari NTT kita hari ini, bagian dari kehidupan sastra kita hari ini, dan semoga beberapa dari antara mereka menjelma menjadi bagian paling penting dari perjalanan sastra kita di hari-hari yang akan datang; sungai yang mengalirkan keberlimpahan dan cahaya bintang yang menuntun jalan,” kata anggota komunitas sastra Dusun Flobamora ini.

Dalam perayaan Hari Sastra NTT yang sedianya jatuh pada tanggal 16 Juni ini, hadir sejumlah sastrawan dari berbagai komunitas di kota Kupang, masyarakat pecinta sastra, seniman, dan sejumlah jurnalis. Kegiatan yang berlangsung pukul 19.00 – 22.00 Wita ini, diisi dengan penampilan musikalisasi puisi dari beberapa siswa binaan UKIM, beberapa sastrawan Dusun Flobamora, dan pembacaan puisi oleh sastrawan dan pecinta sastra, serta diskusi sastra termasuk rencana kegiatan Temu III Sastra NTT tahun 2017. (Robert Fahik)   

Sejumlah sastrawan yang tampil.

Post a Comment

0 Comments