“Dari
Timur, Aku Belajar”
Sri bersama para siswa SMPN Raimanuk |
SMP Negeri
Raimanuk merupakan salah satu sekolah yang berada di Kecamatan Raimanuk,
Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sekolah yang terletak tak jauh
dari Gunung Mandeu ini, telah banyak menorehkan kisah untuk saya sebagai Guru
SM-3T. Suka duka, tangis dan tawa telah saya rasakan. Semua tersaji begitu rapi
setiap harinya, seolah menu rutin yang harus disantap.
Tepat
pada tanggal 1 September 2014, setelah acara penyambutan di Kantor Bupati Belu
dan dilanjutkan dengan pembacaan sekolah penempatan untuk masing-masing peserta
SM-3T, kami langsung dijemput oleh camat dan kepala sekolah untuk dibawa ke
sekolah sasaran. Dengan tarian Likurai dan penyelempangan Tais (kain), saya
beserta keempat peserta lainnya disambut oleh keluarga besar SMPN Raimanuk
beserta warga Desa Mandeu Raimanus. Sungguh hal yang sangat berkesan bagi saya,
tidak hanya acara penyambutan tetapi juga karena secara langsung juga dapat
melihat ciri khas orang Timur yang berkulit hitam dan kebanyakan berambut
keriting-pirang. Setelah acara ramah tamah oleh keluarga besar SMPN Raimanuk,
selanjutnya saya bersama salah seorang teman (Ferry Adriansyah, S.Pd) yang juga
bertugas di sekolah yang sama diantar menuju mes guru yang terletak di belakang
lingkungan sekolah. Dan mulailah kisah ini.
Menjadi
seorang pendidik di bagian Timur Indonesia, menjadi pengalaman yang sangat
berharga. Saya masih ingat saat pertama kali mengajar di SMPN Raimanuk. Wajah
bingung sekaligus senyum sumringah dari anak didik menjadi kesan pertama yang
tidak mungkin bisa dilupakan. Saat saya menjelaskan materi pelajaran, mereka
memperhatikan dengan serius walau sekali-kali terlihat senyum malu-malu itu.
Tidak banyak kata yang terucap dari bibir mereka, namun setiap kali saya
bertanya tentang pemahaman mereka akan materi yang telah saya jelaskan, mereka
hanya menjawab, “Mengerti, Ibu”. Meski Saya sempat ragu, mengingat dialek saya
yang berbeda dengan mereka. Rasa penasaran membuat saya menceritakan hal ini
kepada seorang guru. Dan ternyata, guru tersebut malah menanyakan langsung
kepada anak didik yang bersangkutan, dan pengakuan yang saya dapatkan sempat
membuat saya terdiam dan tersenyum. Ternyata mereka menyukai dialek saya,
karena lembut dan mereka ingin saya mengajar mereka bahasa Jawa. Padahal, saya
sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Mungkin karena dialek dan nama saya yang
berbau Jawa ini, mereka mengira saya berasal dari Jawa. Dan hal itu memang saya
rasakan, karena meski berulang kali saya katakan berasal dari Riau-Sumatera,
mereka tetap mengatakan saya dari Jawa.
Di
balik keunikan mereka, tersimpan cerita lain yang patut dicontoh. SMPN Raimanuk
merupakan salah satu sekolah yang berada jauh dari ibu kota kabupaten, jauh
dari keramaian atau bisa dikatakan terpelosok. Untuk mencapai sekolah ini, kita
harus melalui jalanan yang berbatu dan terjal. Debu menjadi teman setia yang
menemani mereka jika musim kemarau. Lumpur mewarnai jalanan jika musim
penghujan. Maka tidak heran jika banyak siswa yang datang terlambat ke sekolah,
karena tidak semua siswa tinggal di asrama, sebagian dari mereka masih tinggal
dengan orangtua. Untuk ke sekolah, mereka harus menempuh perjalanan kurang
lebih 1 jam; berjalan kaki. Jarak ini pula yang menjadi kendala bagi mereka
jika guru mengadakan bimbingan belajar pada sore hari.
Namun
jalanan dan jarak bukanlah satu-satunya kendala yang harus mereka hadapi.
Mereka harus tetap puas dengan penerangan seadanya seperti pelita, lilin atau
obor. Karena memang belum adanya listrik di desa ini. Sebagian kecil warga
menggunakan lampu tenaga surya dan sebagian kecil lagi memanfaatkan mesin
genset sebagi sumber penerangan. Hal ini, membuat mereka kesulitan untuk
belajar pada malam hari. Maka tak jarang Pekerjaan Rumah (PR) mereka kerjakan
di sekolah atau tidak dikerjakan sama sekali. Karena bagi mereka, waktu yang
tersisa hanya pada malam hari. Sore harinya setelah pulang sekolah, mereka
harus membantu pekerjaan orangtua seperti memberishkan rumah, memasak, berkebun
dan menggembalakan ternak.
Tidak
hanya itu, sumber air juga jauh. Kebutuhan akan air bersih membuat mereka rela
menuruni dan menaiki bukit demi 2 – 5 jerigen air. Sore hari adalah watu bagi
mereka untuk mengambil air guna keperluan memasak, mencuci dam mandi sebelum
berangkat sekolah.
Banyak
di antara kita yang begitu menikmati masa-masa sekolah dengan segala fasilitas
dari orang tua. Meski begitu, tidak jarang pula kita membolos dan tidak serius
mengikuti pelajaran. Seandainya, kita yang menganggap sekolah hanya untuk
mengisi waktu kosong saja, dapat melihat dan menghayati kehidupan teman-teman
kita yang berada di pelosok. Dengan segala keterbatasan yang harus mereka
hadapi, semangat mereka untuk bersekolah
begitu besar meski berjalan kaki sekian kilo meter. Maka tidak akan ada alasan
bagi kita untuk bermalas-malasan menuntut ilmu dan mengeluh. (Sri
Harya Ningsih, S.Pd; guru SM-3T Riau/Robert Fahik)
0 Comments