(Petra Maro)
Ilustrasi |
Pagi
telah tiba, aku bangun dari tidurku. Aku begitu bersemangat di pagi ini
karena aku akan kembali ke negara
tercintaku, Indonesia. Pesawat yang kutumpangi pagi yang sama mendarat di
bandara Soekarno-Hatta. Sekarang aku di Jakarta,
ibukota negaraku. Bergegas kuambil bagasiku dan menuju ruang tunggu. Dari
pandangan sekilas ku melihat dari
seberapa meter berdiri seorang wanita tua
dengan wajah agak keriput, seorang gadis
yang bertumbuh dengan baik, dan seorang pria tua dengan uban yang telah
menutupi rambut hitamnya dan keriput wajah seolah telah menutupi ketampanannya.
Mereka adalah ibuku, adikku Lia, dan ayahku, orang-orang terhebat dalam
hidupku. Segera kuhampiri mereka. Aku sudah sangat merindukan mereka. Kerinduan
yang bertubi-tubi akhirnya terangkum dalam pelukan yang begitu kuat dan
mengharukan. Setelah itu kami pun segera bergegas ke rumah karena mendung hitam
mulai menutupi cakrawala, pertanda hujan lebat mungkin akan mengguyur.
Malam
pun tiba, aku dan Lia, adikku berada di dalam kamarnya.
“Kak,
kapan pergi mengunjungi kak Ranni,” tanya adikku.
“Mungkin
besok,” jawabku sambil memandang wajah adikku dengan mata berkaca-kaca.
Pikiranku pun menerawang jauh. Aku teringat
kembali kejadian di lima tahun yang lalu. Saat itu adalah tahun terakhir kami
di SMA. SMA Harapan namanya. Seperti biasanya, di tahun terakhir SMA, kami
disibukkan dengan berbagai kegiatan belajar yang padat, PR yang menumpuk, dan
kami juga harus mengikuti kegiatan bimbingan belajar yang dilaksanakan seminggu
dua kali.
“Ranni,
ayo ke kantin,” ajakku.
“Memangnya
sekarang sudah waktunya istirahat? ” tanya Ranni.
“Iya. Makanya, kalau mengerjakan tugas jangan
terlalu serius. Bel istirahat saja sampai tidak didengar,” kataku.
“Lebih
baik mengerjakan tugas sampai bel istirahat
tidak didengar. Dari pada
serius menunggu waktu istirahat sampai lupa mengerjakan tugas,” balas
Ranni dengan nada bercanda.
“Hahahahahaha baiklah profesor Ranni. Mulai sekarang saya
akan rajin mengerjakan tugas-tugas,” jawabku
dengan penuh tawa.
Kami
segera meninggalkan kelas dan pergi ke kantin. Siang itu kami memesan bakso.
Tapi aku lihat Ranni hanya memandang
makanannya.
“Ran,
makanan itu untuk dimakan, bukan untuk dipandangin. Ayo cepat dimakan, sebentar lagi waktu istirahat
selesai,” tegurku.
“
Ah, iya. Ini mau dimakan,” jawabnya.
Saat
Ranni akan menelan makanannya, tiba-tiba
saja ia batuk. “Ranni, kamu kenapa?,” tanyaku.
“Ahh,
tidak kenapa-kenapa,” jawabnya.
Ia
segera berlari meninggalkanku dan menuju ke toilet. Aku juga mengejarnya menuju toilet.
“Kamu
kenapa, Rann?” tanyaku.
“Tidak,”
jawabnya singkat dan langsung pergi meninggalkan aku.
Sekilas
aku seperti melihat bekas darah
di pipinya. Rasa heran pun hadir tentang hal itu. Saat aku akan kembali
ke kantin, pandanganku langsung tertuju pada tisu yang dipenuhi darah yang
berada di tempat sampah. Aku segera mengambil tisu itu dan melihatnya.
“Darah
segar. Darah ini masih baru,” kataku dalam hati.
Segera
aku berlari menuju kelas untuk mencari Ranni, namun temanku mengatakan kepadaku
bahwa Ranni sudah pulang. Aku sebenarnya mau menyusul Ranni karena kukira tidak
ada pelajaran. Namun ternyata tiba-tiba ada guru mata pelajaran masuk.
“Kalau
begitu setelah pulang sekolah baru aku langsung menuju ke rumah Ranni,” kataku
dalam hati.
*************
“Permisi,
Ranninya ada?”
“Ranninya
sudah ke rumah sakit bersama orang tuanya,” jawab penjaga rumah Ranni.
“Memangnya
Ranni kenapa,” tanyaku.
“Tadi
waktu sampai dirumah, Ranni mimisan dan
pingsan. Sekarang mereka sudah berada di
Rumah Sakit Hosana,” jawabnya.
Langsung
saja aku pamit dan menuju ke rumah sakit yang sudah diberi tahu. Aku menelepon
ibu Ranni untuk menanyakan ruangan Ranni. Sesampai aku di depan ruangannya
Ranni, aku membuka pelan pintu. Mataku langsung tertuju pada Ranni yang
terbaring tak berdaya di tempat tidur dengan hidungnya ditutupi masker oksigen.
Aku segera menuju ibunya dan bertanya,
“Tante, Ranni sakit apa? Kenapa sampai harus
pakai masker oksigen?,” tanyaku penuh
heran.
“Ranny diserang kanker otak, dan sekarang telah
mencapai stadium akhir. Mungkin usianya tinggal menghitung bulan,” jawab ibu
Ranni dengan penuh kepedihan.
Seketika
seluruh tubuhku menjadi sangat lemah. Tanpa
kusadari air mataku mengalir begitu saja. Dengan langkah gontai aku
meninggalkan ruangan itu dan pergi tanpa sempat berpamitan.
*************
Ujian
Nasional (UN) telah tiba. Walaupun tanpa
Ranni, aku tetap bersemangat
mengikuti ujian nasional. Setelah UN berakhir, aku segera menuju ke rumah
sakit untuk menemui Ranni.
Terlihat rambut yang seharusnya sebagai mahkota wanita itu kini sudah
tidak ada lagi akibat dari kemoterapi yang harus ia jalani.
“Rann,
bagaimana soal-soal ujian nasional? Kamu
bisa mengerjakannya atau tidak?,” tanyaku dengan antusias.
“Puji
Tuhan, bisa. Walaupun ada beberapa nomor yang tidak bisa kukerjakan,” jawab
Ranni sambil tersenyum.
“Oh,
iya, ini aku bawakan untukmu buku kesukaanmu, novel horor. Ada yang terbaru,
judulnya cerita hantu tanpa kepala. Aku sudah
membacanya dan ternyata sangat mengagumkan. Tentang dua sahabat yang
berpetualangan ke rumah hantu untuk mencari hantu,” jelasku panjang lebar.
Pertemuan
kami terasa lamanya. Sepanjang hari aku menemani dia bermain kartu. Dan tak
terasa hari sudah sore. Aku harus pamit pulang.
Selama
menunggu hari pengumuman kelulusan, aku sengaja untuk tidak pergi berlibur agar
aku bisa menjaga dan menemani Ranni di saat-saat terakhirnya. Aku tidak pernah
mau seharipun untuk tidak pergi menjenguknya, karena bagiku setiap saat itu
terlalu berharga untuk dilewatkan.
Hari
pengumuman kelulusan telah tiba. Seluruh siswa SMA Harapan telah berada di
sekolah untuk mendengarkan pengumuman kelulusan. Begitu juga dengan aku.
Kami semua begitu antusias. Walaupun
begitu, pikiranku tetap pada Ranni. Aku benar-benar terus berpikir tentangnya.
Setelah lembaran pengumuman kelulusan ditempelkan oleh guru di papan informasi,
kami semua serentak berlari menuju papan informasi. Aku pun tidak ketinggalan.
Ternyata aku dinyatakan lulus. Yang lebih membanggakan lagi, aku mendapatkan untuk
memberitahu Ranni bahwa dia mendapatkan peringkat ke-3 untuk umum.
“Ranni,
selamat untuk peringkat 3 umumnya. Aku sebagai sahabat kamu benar-benar bangga
dengan kamu,” kataku sambil memeluk Ranni.
“Terima kasih,
Emyl. Kamu juga selamat untuk peringkat 4 umummu,” balas Ranni.
Aku
melihat seragam SMA miliknya tergantung di dekat jendela. Aku segera mengambil
seragam itu dan pelan-pelan aku mengenakannya pada Ranni.
“Kita
harus merayakan kelulusan kita dengan mencoret-coret baju seragam. Aku yang
duluan yang mencoret,” kataku sambil membuka spidol dan mencoret baju seragam
yang sudah dikenakan Ranni.
“Sekarang giliranku,” kata Ranni.
Saat
Ranni akan mencoret baju seragamku, tiba-tiba saja spidol itu
terjatuh. Ranni merintih kesakitannya sambil memegang kepalanya. Melihat
posisinya Ranni, aku benar-benar sangat
panik. Sesegera mungkin aku berlari keluar dan memanggil dokter. Saat dokter
sampai di ruangan, Ranni telah dalam keadaan
pingsan. Dokter menyuruhku untuk keluar dan menelepon
kedua orang tua Ranni. Beberapa saat kemudian dokter keluar. Aku
langsung saja menanyakan kondisi Ranni. Dokter mengatakan bahwa kondisi Ranni
telah stabil dan masker oksigen telah dilepaskan. Aku sangat lega mendengar hal
itu. Aku segera masuk ke ruangan dan menanyakan kondisi Ranni.
“Rann,
bagaimana kondisimu? Sudah baikkan?,” tanyaku.
“Iya,
syukurlah sudah lebih baik sekarang,” jawab Ranni.
“Oh
iya, setelah lulus ini kamu akan melanjutkan pendidikan kamu dimana?,” tanya Ranni lanjut.
“Entahlah,
aku belum memikirkan tentang itu. Aku benar-benar bingung dengan kemampuanku,” jawabku.
“Kalau
menurutku sebaiknya kamu mengambil jurusan seni saja. Kamu benar-benar berbakat
di bidang seni, Emyl,” ujar Ranni penuh
harap.
“Aku
tidak yakin dengan kemampuan seniku. Tapi demi kamu aku akan mengambil jurusan
itu. Lalu nanti kamu kuliah di mana?,” tanyaku.
“Setelah
penyakit ini menyerangku, aku tidak lagi berani bermimpi untuk kuliah. Lulus
SMA saja sudah bersyukur. Apalagi umurku yang sudah diprediksikan tinggal menghitung bulan,”
jawab Ranni. Aku sangat sedih dengan jawaban
Ranni.
“Aku
tidak pernah memikirkan hal bodoh seperti
itu. Apakah dokter-dokter itu Tuhan sehingga mereka tahu bahwa usiamu
tinggal menghitung bulan? Tidak!!,” Kataku sambil menahan tangis tapi akhirnya
pecah di pelukkan Ranni.
“Hiduplah
dengan baik, dengan bahagia. Aku benar-benar akan marah jika kamu tidak hidup
dengan baik,” kata Ranni sambil menangis.
Malam
telah tiba. Aku pun harus pamit pulang. Sesampai aku di rumah, aku langsung
menuju kamar dan tidur. Hari ini aku
begitu capek sehingga tidak sempat untuk
makan malam. Pagi harinya, aku terbangun
dan melihat di hp ku lima panggilan tak terjawab dari ibunya Ranni. Mendadak perasaanku
menjadi tidak enak, seperti mendapat firasat.
Langsung saja tanpa mandi terlebih dahulu aku menuju rumah sakit. Saat akan
keluar dari rumah, ibuku menahan aku.
“Kamu
mau kemana pagi-pagi begini?,” tanya ibu.
“Mau
ke rumah sakit, menjenguk Ranni,” jawabku.
Mendadak wajah ibuku menjadi sedih saat mendengar
jawabanku.
“Dia
sudah meninggal, pagi tadi sekitar pukul 03.00,” kata ibuku dengan pilu.
“Apa?????
Tidak mungkin, bu. Baru kemarin kami bermain bersama, tertawa bersama. Dia tidak
mungkin sudah meninggal,” kataku sambil
menangis.
“Pagi tadi, kondisinya memburuk dan terus menurun. Dan akhirnya dia meninggal.”
Mendengar
cerita ibuku, tubuhku menjadi begitu lemah dan seperti tidak sanggup untuk
berjalan. Aku hanya dapat terus memandangi fotonya. Aku tidak pernah bisa
melupakan kejadian itu. Aku tidak akan pernah bisa untuk melupakan sahabat
terbaikku. (*)
(Sumber:
Majalah Pendidikan Cakrawala NTT, Edisi 47)
0 Comments