Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

“Artificial Intelligence” dan Manusia: Antara Kecerdasan dan Kebijaksanaan

RD. Leonardus Mali saat memaparkan materinya dalam Seminar Nasional bertajuk "Artificial Intelligence dan Masa Depan Filsafat" di Aula St. Hendrikus, Gedung Rektorat Unwira, Kampus Penfui.

 

Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Kemajuan teknologi komputer saat ini semakin mempertegas identitas manusia sebagai mahkluk yang terus belajar untuk menemukan hal-hal baru. Dimulai sejak masa perang dunia kedua, ketika dominasi Jerman begitu kuat dalam menginvansi negara-negara lawan, beberapa negara sekutu melalui gagasan Inggris bergegas membuat berbagai terobosan di bidang perang, salah satunya adalah pemanfaatan teknologi.

 

Tidak dapat dipungkiri, Jerman dengan mesin Enigma-nya berhasil mengelabui segala bentuk spionase sekutu, sehingga perang terus membara dan memakan begitu banyak korban. Pada saat itu, Alan Turing, seorang pakar matematika, mulai menyusun konsep mesin berbasis matematika untuk memecahkan setiap kode Enigma milik Jerman. “Mesin harus dikalahkan oleh mesin,” begitu ucap Turing kepada timnya yang hanya mengandalkan teori peluang matematika.

 

Setelah melewati begitu banyak dinamika, Turing berhasil memecahkan kode Enigma dengan mesin yang diberi nama “Mesin Universal”. Mesin ini bekerja dengan perhitungan matematika yang kompleks, sehingga membutuhkan kontrol manusia sebagai pemandu utama. Mesin inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmu komputer moderen hingga berujung pada penciptaan artificial intelligence atau kecerdasan buatan.

 

Dilansir dari https://nationalgeographic.grid.id, Turing memperkenalkan konsep “agar manusia memanfaatkan teknologi informasi dan akal mereka untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan,” tulis Rockwell Anyoha kepada portal berita ilmiah Harvard University. Konsep Turing ini sebenarnya menekankan dua (2) hal utama, yakni fungsi teknologi secara mekanistis dan kodrat manusia sebagai mahkluk berakal budi. Teknologi adalah alat yang memudahkan peran/kerja, sedangkan manusia adalah penentu tujuan/keputusan.

 

Perkembangan kecerdasan buatan dewasa ini semakin pesat. “Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan dan tidak ada persoalan yang mustahil tidak dipecahkan,” begitu ucapan banyak orang yang selalu duduk berdampingan dengan teknologi. Semua hal bisa dikerjakan, bahkan di belahan negara lain, peran-peran sentral manusia sudah diganti dengan robot berbasis kecerdasan buatan. 


Tidak hanya itu, penyalahgunaan kecerdasan buatan untuk kepentingan-kepentingan tertentu tak terelakan. Bahkan, beberapa pemilik raksasa teknologi menyarankan adanya jeda waktu atas perkembangan kecerdasan buatan. “Artificial Intelligence lebih berbahaya dari nuklir,” ucap Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX dalam suatu wawancara.



Manusia dan Mesin yang Berpikir

 

Perdebatan tentang kecerdasan buatan telah merambah ke dalam banyak aspek, termasuk filsafat sebagai ranah “kebijaksanaan”. Kembali pada konsep Turing sebelumnya, manusia dan teknologi adalah dua hal yang berbeda. Teknologi adalah alat yang memudahkan peran/kerja, sedangkan manusia adalah penentu tujuan/keputusan. Namun, dewasa ini, posisi antara manusia dan teknologi seolah sejajar, tidak ada sekat atau batasan, bahkan teknologi melampaui manusia dalam pengambilan keputusan.

 

Dalam Seminar Nasional bertajuk “Artificial Intelligence dan Masa Depan Filsafat” yang digelar oleh Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Sabtu (18/5/2024), Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta, Prof. Dr. F. Budi Hardiman, mengatakan bahwa kecerdasan buatan adalah penanda zaman yang tidak pernah terjadi sebelumnya, di mana berpikir tidak lagi menjadi ciri khas manusia, sebab mesin zaman ini turut berpikir dalam kapasitasnya.

 

“Kita seolah menghadapi ambiguitas, di mana mesin berpikir dan pikiran memiliki ciri mesin. Lalu, apakah berpikir pada mesin sama dengan berpikir pada manusia?” ungkapnya saat memaparkan materi secara daring.

 

Ia memandang bahwa kemudahan yang diberikan oleh kecerdasan buatan, termasuk dalam memudahkan proses berpikir, akan “merendahkan” kerja otak manusia ke dalam sistem mekanistik. Manusia seolah terjerumus ke dalam pola kerja mesin.  

 

Senada dengan itu, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta, Dr. Frederikus Fios, S.Fil., M.Th., menuturkan, perkembangan kecerdasan buatan berdampak pada cara berpikir manusia tentang pengetahuan dan kebenaran yang otentik.

 

“Sistem kerja kecerdasan buatan didasari oleh algoritma statistik, sehingga pengetahuan dan kebenaran yang dipaparkan bersifat probabilistik. Apalagi, kecerdasan buatan telah merembes masuk ke dalam dunia pendididikan, sehingga peserta didik dan pendidik bebas menggunakannya dalam pembelajaran,” tambah Frederikus.



Antara Kebutuhan atau Ketergantungan

 

Kondisi nyata saat ini sebenarnya memberikan pilihan kepada manusia sebagai penentu. Keberadaan kecerdasan buatan memang sangat dibutuhkan untuk memudahkan kerja-kerja manusia. Kecerdasan buatan hanya berperan sebagai alat yang digunakan untuk memenuhi beberapa fungsi kemanusiaan yang (mungkin) sulit diaktualisasikan dalam durasi yang singkat.

 

Di sela-sela diskusi, salah satu peserta seminar, Pater Peter Tan, SVD., menyentil beberapa gagasan yang seolah menolak keberadaan kecerdasan buatan di era digital. Menurutnya, kecerdasan buatan masih dibutuhkan selama manusia masih sering melakukan kesalahan-kesalahan teknis. Namun, sambungnya, hal itu bukan berarti manusia menentukan tujuan akhirnya berdasarkan pemaparan kecerdasan buatan.

 

“Selagi kita masih melakukan kesalahan teknis, maka kita masih membutuhkannya. Jika memang tidak menginginkannya, maka kita harus meningkatkan kapasitas diri kita untuk tidak dipermudah oleh kecerdasan buatan,” ucapnya.

 

Namun, di titik ini, manusia sebenarnya harus menyadari batas-batas relasinya dengan kecerdasan buatan. Manusia tidak bisa salah kaprah dalam memaknai kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan adalah mutlak dilakukan, sedangkan pemenuhan berbantuan mesin/kecerdasan buatan hanyalah pilihan. Artinya, manusia tidak boleh melewati batas relasi tersebut, termasuk tergantung seutuhnya (kecanduan) pada peran kecerdasan buatan.

 

“Sejatinya, tujuanlah yang menentukan alat, bukan sebaliknya, alat yang menentukan tujuan. Manusia harus menentukan,” tutur Norbert Jegalus, Dosen Fakultas Filsafat Unwira yang mempertanyakan posisi kecerdasan buatan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.



Kembali ke Titik Awal: Manusia sebagai Penentu

 

Perbincangan panjang tentang kecerdasan buatan sebenarnya ingin mempertanyakan kembali esensi manusia sebagai penentu atas pikiran dan perilakunya di tengah masyarakat. Manusia harus berpikir secara logis dan berperilaku secara etis sesuai batasan-batasan moral. Semua itu adalah hal-hal otentik yang mutlak dimiliki oleh manusia sebagai mahkluk berakal budi.

 

Hal itu senada dengan pernyataan Dosen Fakultas Filsafat Unwira, RD. Leonardus Mali, L.Ph. “Manusia selalu menginginkan yang tidak terbatas, tetapi manusia itu sendiri adalah yang terbatas. Keinginan yang tidak terbatas harus dijawab dengan yang tidak terbatas, bukan dibatasi oleh pola pikiran mesin,” ucapnya.

 

Pada kondisi ini, filsafat memegang peranan yang sangat penting untuk kembali membela kebebasan, kreativitas, dan kekhasan manusia. Filsafat mendorong manusia untuk menemukan dirinya melalui pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menekankan kebijaksanaan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. Filsafat harus membuat manusia terus berpikir kritis agar tidak terjebak di antara berbagai pengetahuan dan kebenaran yang probabilistik.

 

“Filsafat punya masa depan di era kecerdasan buatan (AI) jika mampu merumuskan etika digital, sebagaimana Rawl merumuskan etika politis di era demokrasi,” tegas Prof. Hardiman.

 

Kehadiran kecerdasan buatan di tengah masyarakat ibarat pisau bermata dua. Jika hanya digunakan pada pemenuhan kebutuhan berbantuan mesin semata, maka ia akan berperan sesuai batas-batas fungsi yang diberdayakan. Namun, bila digunakan tanpa daya kritis dan kebijaksanaan, maka kecerdasan buatan dapat melukai sisi kemanusiaan manusia. Semua itu kembali pada posisi manusia sebagai penentu.

 

Pada akhirnya, kecerdasan buatan bisa membawa manusia pada peradaban yang lebih maju. Entah apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi yang pasti adalah imajinasi manusia selalu bertumbuh dan berkembang sesuai keadaannya.

 

Mungkin, suatu saat nanti, manusia akan berada pada peradaban berbasis komputer. Saat itu, (mungkin) konsep surga dan neraka dianggap sebagai suatu dunia komputasi. Bahkan, moral dapat didefinisikan dalam angka-angka dan etika bisa dikalkulasikan sesuai pertimbangan robotik.

 

Maka dari itu, sejak kini, kecerdasan dan kebijaksanaan harus berjalan bersama demi menjaga jawaban esensial manusia atas pertanyaan “Siapakah Aku” di kemudian hari. (MDj/red)    


Post a Comment

0 Comments