![]() |
RD. Leonardus Mali saat memaparkan materinya dalam Seminar Nasional bertajuk "Artificial Intelligence dan Masa Depan Filsafat" di Aula St. Hendrikus, Gedung Rektorat Unwira, Kampus Penfui. |
Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Kemajuan teknologi komputer saat ini semakin
mempertegas identitas manusia sebagai mahkluk yang terus belajar untuk
menemukan hal-hal baru. Dimulai sejak masa perang dunia kedua, ketika dominasi
Jerman begitu kuat dalam menginvansi negara-negara lawan, beberapa negara
sekutu melalui gagasan Inggris bergegas membuat berbagai terobosan di bidang
perang, salah satunya adalah pemanfaatan teknologi.
Tidak dapat dipungkiri, Jerman dengan mesin Enigma-nya berhasil mengelabui segala
bentuk spionase sekutu, sehingga perang terus membara dan memakan begitu banyak
korban. Pada saat itu, Alan Turing, seorang pakar matematika, mulai menyusun
konsep mesin berbasis matematika untuk memecahkan setiap kode Enigma milik Jerman. “Mesin harus
dikalahkan oleh mesin,” begitu ucap Turing kepada timnya yang hanya
mengandalkan teori peluang matematika.
Setelah melewati begitu banyak dinamika, Turing
berhasil memecahkan kode Enigma dengan
mesin yang diberi nama “Mesin Universal”. Mesin ini bekerja dengan perhitungan
matematika yang kompleks, sehingga membutuhkan kontrol manusia sebagai pemandu
utama. Mesin inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmu komputer moderen
hingga berujung pada penciptaan artificial
intelligence atau kecerdasan buatan.
Dilansir dari https://nationalgeographic.grid.id,
Turing memperkenalkan konsep “agar manusia memanfaatkan teknologi informasi dan
akal mereka untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan,” tulis Rockwell
Anyoha kepada portal berita ilmiah Harvard
University. Konsep Turing ini sebenarnya menekankan dua (2) hal utama,
yakni fungsi teknologi secara mekanistis dan kodrat manusia sebagai mahkluk
berakal budi. Teknologi adalah alat yang memudahkan peran/kerja, sedangkan
manusia adalah penentu tujuan/keputusan.
Perkembangan kecerdasan buatan dewasa ini semakin pesat. “Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan dan tidak ada persoalan yang mustahil tidak dipecahkan,” begitu ucapan banyak orang yang selalu duduk berdampingan dengan teknologi. Semua hal bisa dikerjakan, bahkan di belahan negara lain, peran-peran sentral manusia sudah diganti dengan robot berbasis kecerdasan buatan.
Tidak hanya itu, penyalahgunaan kecerdasan buatan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu tak terelakan. Bahkan, beberapa pemilik
raksasa teknologi menyarankan adanya jeda waktu atas perkembangan kecerdasan
buatan. “Artificial Intelligence
lebih berbahaya dari nuklir,” ucap Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX dalam suatu
wawancara.
Manusia dan Mesin yang Berpikir
Perdebatan tentang kecerdasan buatan telah merambah ke
dalam banyak aspek, termasuk filsafat sebagai ranah “kebijaksanaan”. Kembali pada
konsep Turing sebelumnya, manusia dan teknologi adalah dua hal yang berbeda. Teknologi
adalah alat yang memudahkan peran/kerja, sedangkan manusia adalah penentu
tujuan/keputusan. Namun, dewasa ini, posisi antara manusia dan teknologi seolah
sejajar, tidak ada sekat atau batasan, bahkan teknologi melampaui manusia dalam
pengambilan keputusan.
Dalam Seminar Nasional bertajuk “Artificial Intelligence dan Masa Depan Filsafat” yang digelar oleh
Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Sabtu
(18/5/2024), Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta, Prof. Dr. F. Budi Hardiman,
mengatakan bahwa kecerdasan buatan adalah penanda zaman yang tidak pernah
terjadi sebelumnya, di mana berpikir tidak lagi menjadi ciri khas manusia, sebab
mesin zaman ini turut berpikir dalam kapasitasnya.
“Kita seolah menghadapi ambiguitas, di mana mesin
berpikir dan pikiran memiliki ciri mesin. Lalu, apakah berpikir pada mesin sama
dengan berpikir pada manusia?” ungkapnya saat memaparkan materi secara daring.
Ia memandang bahwa kemudahan yang diberikan oleh
kecerdasan buatan, termasuk dalam memudahkan proses berpikir, akan “merendahkan”
kerja otak manusia ke dalam sistem mekanistik. Manusia seolah terjerumus ke
dalam pola kerja mesin.
Senada dengan itu, Dosen Universitas Bina Nusantara
Jakarta, Dr. Frederikus Fios, S.Fil., M.Th., menuturkan, perkembangan
kecerdasan buatan berdampak pada cara berpikir manusia tentang pengetahuan dan
kebenaran yang otentik.
“Sistem kerja kecerdasan buatan didasari oleh
algoritma statistik, sehingga pengetahuan dan kebenaran yang dipaparkan bersifat
probabilistik. Apalagi, kecerdasan buatan telah merembes masuk ke dalam dunia
pendididikan, sehingga peserta didik dan pendidik bebas menggunakannya dalam
pembelajaran,” tambah Frederikus.
Antara Kebutuhan atau Ketergantungan
Kondisi nyata saat ini sebenarnya memberikan pilihan
kepada manusia sebagai penentu. Keberadaan kecerdasan buatan memang sangat
dibutuhkan untuk memudahkan kerja-kerja manusia. Kecerdasan buatan hanya
berperan sebagai alat yang digunakan untuk memenuhi beberapa fungsi kemanusiaan
yang (mungkin) sulit diaktualisasikan dalam durasi yang singkat.
Di sela-sela diskusi, salah satu peserta seminar,
Pater Peter Tan, SVD., menyentil beberapa gagasan yang seolah menolak
keberadaan kecerdasan buatan di era digital. Menurutnya, kecerdasan buatan
masih dibutuhkan selama manusia masih sering melakukan kesalahan-kesalahan
teknis. Namun, sambungnya, hal itu bukan berarti manusia menentukan tujuan
akhirnya berdasarkan pemaparan kecerdasan buatan.
“Selagi kita masih melakukan kesalahan teknis, maka
kita masih membutuhkannya. Jika memang tidak menginginkannya, maka kita harus
meningkatkan kapasitas diri kita untuk tidak dipermudah oleh kecerdasan buatan,”
ucapnya.
Namun, di titik ini, manusia sebenarnya harus
menyadari batas-batas relasinya dengan kecerdasan buatan. Manusia tidak bisa
salah kaprah dalam memaknai kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan adalah mutlak
dilakukan, sedangkan pemenuhan berbantuan mesin/kecerdasan buatan hanyalah
pilihan. Artinya, manusia tidak boleh melewati batas relasi tersebut, termasuk tergantung
seutuhnya (kecanduan) pada peran kecerdasan buatan.
“Sejatinya, tujuanlah yang menentukan alat, bukan
sebaliknya, alat yang menentukan tujuan. Manusia harus menentukan,” tutur
Norbert Jegalus, Dosen Fakultas Filsafat Unwira yang mempertanyakan posisi
kecerdasan buatan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
Kembali ke Titik Awal: Manusia sebagai
Penentu
Perbincangan panjang tentang kecerdasan buatan
sebenarnya ingin mempertanyakan kembali esensi manusia sebagai penentu atas
pikiran dan perilakunya di tengah masyarakat. Manusia harus berpikir secara
logis dan berperilaku secara etis sesuai batasan-batasan moral. Semua itu
adalah hal-hal otentik yang mutlak dimiliki oleh manusia sebagai mahkluk
berakal budi.
Hal itu senada dengan pernyataan Dosen Fakultas
Filsafat Unwira, RD. Leonardus Mali, L.Ph. “Manusia selalu menginginkan yang
tidak terbatas, tetapi manusia itu sendiri adalah yang terbatas. Keinginan yang
tidak terbatas harus dijawab dengan yang tidak terbatas, bukan dibatasi oleh
pola pikiran mesin,” ucapnya.
Pada kondisi ini, filsafat memegang peranan yang
sangat penting untuk kembali membela kebebasan, kreativitas, dan kekhasan
manusia. Filsafat mendorong manusia untuk menemukan dirinya melalui
pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menekankan kebijaksanaan dalam berpikir,
bersikap, dan berperilaku. Filsafat harus membuat manusia terus berpikir kritis
agar tidak terjebak di antara berbagai pengetahuan dan kebenaran yang
probabilistik.
“Filsafat punya masa depan di era kecerdasan buatan
(AI) jika mampu merumuskan etika digital, sebagaimana Rawl merumuskan etika
politis di era demokrasi,” tegas Prof. Hardiman.
Kehadiran kecerdasan buatan di tengah masyarakat
ibarat pisau bermata dua. Jika hanya digunakan pada pemenuhan kebutuhan
berbantuan mesin semata, maka ia akan berperan sesuai batas-batas fungsi yang
diberdayakan. Namun, bila digunakan tanpa daya kritis dan kebijaksanaan, maka
kecerdasan buatan dapat melukai sisi kemanusiaan manusia. Semua itu kembali
pada posisi manusia sebagai penentu.
Pada akhirnya, kecerdasan buatan bisa membawa manusia
pada peradaban yang lebih maju. Entah apa yang akan terjadi di masa depan,
tetapi yang pasti adalah imajinasi manusia selalu bertumbuh dan berkembang
sesuai keadaannya.
Mungkin, suatu saat nanti, manusia akan berada pada peradaban
berbasis komputer. Saat itu, (mungkin) konsep surga dan neraka dianggap sebagai
suatu dunia komputasi. Bahkan, moral dapat didefinisikan dalam angka-angka dan
etika bisa dikalkulasikan sesuai pertimbangan robotik.
Maka dari itu, sejak kini, kecerdasan dan
kebijaksanaan harus berjalan bersama demi menjaga jawaban esensial manusia atas
pertanyaan “Siapakah Aku” di kemudian hari. (MDj/red)
0 Comments