Suasana diskusi dalam seminar yang diadakan oleh BEM Ilmu Pemerintahan Unwira. |
Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Pergerakan perempuan di ruang-ruang publik selalu
menjadi topik diskusi yang santer diperbincangkan. Kehadiran perempuan di
setiap bidang kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, keamanan, dan bahkan
politik, kerap memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Hal itu tidak
terjadi begitu saja, tetapi telah berlangsung sejak lama, bahkan sudah menjadi
sebuah pandangan bahwa perempuan seharusnya berada di belakang dominasi
laki-laki.
Baca juga: Peringati Hari Kartini, BEM Program Studi Ilmu Pemerintahan Gelar Seminar
Kondisi tersebut menjadi perhatian R. A. Kartini yang
tegas memperjuangkan hak-hak perempuan. Perempuan harus mendapatkan porsi yang
setara di setiap lini/bidang kehidupan. Senada dengan itu, perempuan juga harus
mengenyam pendidikan, sebab dari rahimnya lahir generasi-generasi penerus
bangsa. Semua itu bertujuan untuk menghapus segala pelemahan, penindasan, dan
diskriminasi terhadap perempuan.
Membaca pergerakan perempuan di ruang-ruang publik
dewasa ini juga menjadi topik diksusi yang diperbincangkan dalam seminar
bertajuk “Mewujudkan Mimpi-mimpi Kartini dengan Menjaga Semangat Kesetaraan,
Pendidikan, dan Emansipasi Perempuan di Masa Kini,” Selasa (23/4/2024). Seminar
yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Program Studi (Prodi) Ilmu
Pemerintahan, Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira), tersebut berlangsung
di Aula St. Hendrikus, Gedung Rektorat, Kampus Penfui.
Theodora Ewalde Taek. |
Seminar tersebut dibuat untuk memperingati Hari Kartini
yang jatuh pada beberapa hari yang lalu. Di dalamnya, hadir beberapa Pembicara,
yakni Anggota DPRD Kota Kupang, Theodora Ewalde Taek, Aktivis Perempuan, Gres
Gracelia, dan Dosen Filsafat Unwira, Pater Petrus Tan, SVD. Pemaparan materi
oleh para Pembicara tersebut dipandu oleh Emanuel Kosat.
Baca juga: Mahasiswa UNWIRA Raih Pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Eksakta Tahun 2024
Theodora Ewalde Taek mengatakan bahwa keterwakilan
perempuan di ruang publik saban hari semakin menunjukkan penurunan. Hal itu,
menurutnya, juga terjadi dalam dunia politik. “Jumlah Anggota DPRD di Kota Kupang
dari kalangan perempuan juga mengalami hal yang sama,” ujarnya.
Theodora menerangkan, kondisi tersebut kerap disebabkan
oleh budaya politik yang tidak sehat, seperti adanya money politic yang belakangan ini masif terjadi di tengah
masyarakat. Untuk itu, baginya, menjadi politisi perempuan di era sekarang
tidaklah mudah karena harus berhadapan dengan aneka kepentingan dan sikap
pragmatisme para pemilih.
Pater Petrus Tan, SVD. |
“Saya tetap berpegang teguh pada idealisme. Saya sudah
berbuat secara maksimal kepada masyarakat,” ungkap Alumnus Unwira ini.
Lebih lanjut, Pater Petrus Tan, SVD. menjelaskan
tentang bagaimana seorang Kartini pada masa tersebut dapat mengakses ruang
publik. Ia berpendapat bahwa persoalan yang mendera kaum perempuan dewasa ini
tidak lagi berkutat pada persoalan, apakah perempuan boleh masuk ke ruang
publik atau tidak. Di era reformasi, tuturnya, perempuan-perempuan Indonesia
tampil di berbagai organisasi, baik dalam dunia bisnis, seni, politik, dan
sebagainya.
“Dengan kata lain, masalah kita bukan lagi pada
pembagian yang ketat ruang publik. Batas-batas itu sesungguhnya sudah diterobos
kaum perempuan,” ungkapnya.
Baca juga: Mahasiswa FISIP UNWIRA Sosialisasikan Posyandu Lansia di Desa Oringbele
Persoalan dan kondisi yang dibahas tersebut tentu membutuhkan
penyelesaian yang optimal dengan durasi yang tidak singkat. Membuka partisipasi
perempuan di ruang-ruang publik, apalagi politik, harus melewati berbagai
rintangan kepentingan. Namun, bukan berarti keterwakilan perempuan di ruang
publik harus dibiarkan kosong tanpa adanya aspirasi. Semua itu harus
diperjuangkan dengan terus memberikan masukan dan dukungan yang berkualitas
bagi setiap pergerakan perempuan. (MDj/red)
0 Comments