Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Fenomena “Hantu” dan Upaya Menjadi “Garam Berkat” di Lembaga Pendidikan

 


Oleh : Egidius Riwu, S.Fil.

(Kepala SMPK St. Yoseph Noelbaki, Kab. Kupang)



CAKRAWALANTT.COM - Dewasa ini, pendidikan memegang kunci utama untuk membuka pintu gerbang kemajuan. Pendidikan berperan dalam memerangi kemiskinan, mengatasi kebodohan, dan mendorong transformasi sosial-ekonomi. Dengan pendidikan yang baik, sumber daya manusia suatu negara bisa berkembang menjadi generasi yang unggul dan berkarakter. Hal itu secara langsung berpengaruh pada pengelolaan sumber daya demi kelangsungan dan kemajuan negara.

 

Di Indonesia, pendidikan (nasional) berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Seluruh anggota masyarakat diarahkan untuk dapat mengenyam pendidikan agar bisa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, melalui pendidikan, seseorang atau peserta didik dapat mengembangkan potensinya menjadi generasi yang unggul dan berkarakter.

 

Dalam dunia pendidikan, peserta didik diharapkan mampu mengenal, menggali, dan mengekspresikan dirinya dengan baik. Hal itu bisa diwujudkan melalui proses pembelajaran yang mengutamakan terjadinya transfer ilmu antara guru dan peserta didik. Proses pembelajaran tersebut mengedepankan keseimbangan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku yang diikat dalam etika. Etika tersebut menjadi cerminan hati nurani yang kelak berpengaruh pada pendidikan karakter peserta didik.

 

Fenomena “Hantu” di Lembaga Pendidikan

 

Di sebuah lembaga pendidikan, termasuk sekolah, penanaman nilai dan norma menjadi hal ihwal yang tidak bisa dikesampingkan. Nilai dan norma merupakan pedoman untuk membentuk karakter warga sekolah, baik guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik, agar bisa berbuat dan bersikap sesuai cerminan hati nurani. Namun, pada kenyataannya, tidak semua warga sekolah dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan sehari-hari. Hal itu dibuktikan dengan maraknya fenomena “hantu”. Istilah “hantu” merupakan singkatan dari hati nurani tumpul yang terjadi di lembaga pendidikan.

 

Fenomena “hantu” ini sering dijumpai di kalangan peserta didik. Peserta didik sering melakukan hal-hal negatif yang tidak sesuai dengan regulasi sekolah. Meskipun diberikan nasihat dan pembinaan, mereka masih sering melakukan pelanggaran. Pengulangan persoalan yang sama tersebut menyiratkan ketumpulan hati nurani peserta didik yang berpengaruh pada pembentukan karakter.

 

Ketumpulan hati nurani tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti “pemaksaan” kehendak orang tua yang berlebihan kepada anak, pola asuh orang tua yang tidak maksimal terhadap anak, kurangnya perhatian dan komunikasi di dalam keluarga, serta lingkungan pertemanan yang bebas. Faktor-faktor tersebut bisa berdampak pada aspek kognitf, afektif, dan konatif peserta didik di lingkungan sekolah apabila tidak diperhatikan secara serius.

 

Di sisi lain, selain pada peserta didik, fenomena “hantu” juga terjadi di kalangan guru. Misalnya, mengabaikan kewajiban mengajar, tidak tepat waktu, bertindak kurang objektif, mengedepankan kepentingan pribadi, dan lain-lain. Ketumpulan hati nurani tersebut tentu berpengaruh pada proses transfer ilmu yang seyogianya harus terjadi di setiap kegiatan belajar dan mengajar. Jika guru sebagai pendidik turut terjebak dalam fenomena “hantu”, maka peserta didik juga akan turut terseret ke dalamnya.  

 

Menjadi “Garam Berkat”

 

Fenomena “hantu” dalam lembaga pendidikan kadang dianggap sebagai suatu kewajaran yang dilegitimasi. Ketumpulan hati nurani dipandang sebagai persoalan kedua setelah pemenuhan tuntutan akedemik. Padahal, untuk menjadi pribadi yang matang dan seimbang, dibutuhkan keseimbangan antara karakter dan potensi akademik. Oleh sebab itu, guna mengatasi fenomena “hantu” tersebut, dibutuhkan “garam berkat” yang bisa mengusir segala gangguan dan benturan di dalam dunia pendidikan.

 

Untuk menjadi “garam berkat”, dibutuhkan beberapa solusi yang perlu diimplementasikan. Pertama, membangun kolaborasi bersama orang tua. Kolaborasi antara pihak sekolah dan orang tua berperan penting untuk menjaga keberlanjutan proses belajar peserta didik. Sejatinya, keluarga adalah wadah pendidikan pertama bagi anak, sehingga sudah seharusnya orang tua berperan aktif sebagai pendidik di lingkungan keluarga.

 

Kolaborasi antara pihak sekolah dan orang tua harus diperkuat dengan partisipasi masyarakat di dalamnya. Dalam bukunya “My Home for Schooling”, Taufiqur Rohman menekankan pentingnya keterlibatan sekolah, keluarga, dan masyarakat sebagai trilogi pendidikan. Trilogi pendidikan harus dijalankan secara serentak dan bersama-sama, sehingga tidak boleh ada satupun domain yang tidak bekerja. Dengan begitu, penanaman nilai dan karakter beserta pengembangan potensi akademik anak dapat berjalan secara seimbang.       

 

Kedua, membangun kedisiplinan diri. Kedisiplinan merupakan aspek penting yang harus dibiasakan dan dikuatkan di kalangan guru dan peserta didik. Di lembaga pendidikan, guru harus menjadi agen dan model (teladan) kedisiplinan. Artinya, guru tidak bisa memaksa peserta didik untuk mewujudkan kedisiplinan apabila ia sendiri belum menjalankannya. Dengan membangun kedisiplinan diri yang baik, maka proses pendidikan dan pembentukan karakter dapat berjalan dengan maksimal.

 

Ketiga, bersikap objektif. Sikap objektif sangat penting dalam proses penilaian peserta didik di lingkungan pendidikan. Semua pencapaian yang dialami oleh masing-masing peserta didik harus disikapi secara baik, berimbang, dan menyentuh kebutuhan. Artinya, guru tidak boleh melakukan diskriminasi dalam proses penilaian. Dengan begitu, semua perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pembelajaran dapat dilakukan secara baik.

 

Pada akhirnya upaya menjadi “garam berkat” untuk menyikapi fenomena “hantu” di lembaga pendidikan adalah tugas semua pihak. Guru, tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua, dan bahkan masyarakat harus menjadi “garam berkat”. Semua itu bertujuan untuk mewujudkan dunia pendidikan yang diharapkan. Pendidikan menjadi dasar penting dalam usaha untuk membentuk manusia yang utuh. Dengan begitu, semua orang bisa bersama-sama membangun pendidikan yang berkualitas guna menghasilkan generasi yang unggul dan berkarakter. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments