Oleh : Egidius Riwu, S.Fil.
(Kepala SMPK St. Yoseph Noelbaki, Kab.
Kupang)
CAKRAWALANTT.COM - Dewasa ini, pendidikan memegang kunci utama untuk
membuka pintu gerbang kemajuan. Pendidikan berperan dalam memerangi kemiskinan,
mengatasi kebodohan, dan mendorong transformasi sosial-ekonomi. Dengan pendidikan
yang baik, sumber daya manusia suatu negara bisa berkembang menjadi generasi
yang unggul dan berkarakter. Hal itu secara langsung berpengaruh pada pengelolaan
sumber daya demi kelangsungan dan kemajuan negara.
Di Indonesia, pendidikan (nasional) berfungsi untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Seluruh anggota masyarakat diarahkan untuk dapat
mengenyam pendidikan agar bisa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa,
berakhlak mulia, berilmu, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. Dengan kata lain, melalui pendidikan, seseorang atau peserta
didik dapat mengembangkan potensinya menjadi generasi yang unggul dan
berkarakter.
Dalam dunia pendidikan, peserta didik diharapkan mampu
mengenal, menggali, dan mengekspresikan dirinya dengan baik. Hal itu bisa
diwujudkan melalui proses pembelajaran yang mengutamakan terjadinya transfer
ilmu antara guru dan peserta didik. Proses pembelajaran tersebut mengedepankan
keseimbangan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku yang diikat dalam etika. Etika
tersebut menjadi cerminan hati nurani yang kelak berpengaruh pada pendidikan
karakter peserta didik.
Fenomena “Hantu” di Lembaga Pendidikan
Di sebuah lembaga pendidikan, termasuk sekolah,
penanaman nilai dan norma menjadi hal ihwal yang tidak bisa dikesampingkan. Nilai
dan norma merupakan pedoman untuk membentuk karakter warga sekolah, baik guru,
tenaga kependidikan, dan peserta didik, agar bisa berbuat dan bersikap sesuai
cerminan hati nurani. Namun, pada kenyataannya, tidak semua warga sekolah dapat
mengaplikasikannya dalam kegiatan sehari-hari. Hal itu dibuktikan dengan
maraknya fenomena “hantu”. Istilah “hantu” merupakan singkatan dari hati nurani tumpul yang terjadi di
lembaga pendidikan.
Fenomena “hantu” ini sering dijumpai di kalangan
peserta didik. Peserta didik sering melakukan hal-hal negatif yang tidak sesuai
dengan regulasi sekolah. Meskipun diberikan nasihat dan pembinaan, mereka masih
sering melakukan pelanggaran. Pengulangan persoalan yang sama tersebut
menyiratkan ketumpulan hati nurani peserta didik yang berpengaruh pada
pembentukan karakter.
Ketumpulan hati nurani tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti “pemaksaan” kehendak orang tua yang berlebihan kepada
anak, pola asuh orang tua yang tidak maksimal terhadap anak, kurangnya
perhatian dan komunikasi di dalam keluarga, serta lingkungan pertemanan yang
bebas. Faktor-faktor tersebut bisa berdampak pada aspek kognitf, afektif, dan
konatif peserta didik di lingkungan sekolah apabila tidak diperhatikan secara
serius.
Di sisi lain, selain pada peserta didik, fenomena “hantu”
juga terjadi di kalangan guru. Misalnya, mengabaikan kewajiban mengajar, tidak
tepat waktu, bertindak kurang objektif, mengedepankan kepentingan pribadi, dan
lain-lain. Ketumpulan hati nurani tersebut tentu berpengaruh pada proses
transfer ilmu yang seyogianya harus terjadi di setiap kegiatan belajar dan
mengajar. Jika guru sebagai pendidik turut terjebak dalam fenomena “hantu”,
maka peserta didik juga akan turut terseret ke dalamnya.
Menjadi “Garam Berkat”
Fenomena “hantu” dalam lembaga pendidikan kadang
dianggap sebagai suatu kewajaran yang dilegitimasi. Ketumpulan hati nurani
dipandang sebagai persoalan kedua setelah pemenuhan tuntutan akedemik. Padahal,
untuk menjadi pribadi yang matang dan seimbang, dibutuhkan keseimbangan antara
karakter dan potensi akademik. Oleh sebab itu, guna mengatasi fenomena “hantu”
tersebut, dibutuhkan “garam berkat” yang bisa mengusir segala gangguan dan
benturan di dalam dunia pendidikan.
Untuk menjadi “garam berkat”, dibutuhkan beberapa
solusi yang perlu diimplementasikan. Pertama, membangun kolaborasi bersama
orang tua. Kolaborasi antara pihak sekolah dan orang tua berperan penting untuk
menjaga keberlanjutan proses belajar peserta didik. Sejatinya, keluarga adalah
wadah pendidikan pertama bagi anak, sehingga sudah seharusnya orang tua
berperan aktif sebagai pendidik di lingkungan keluarga.
Kolaborasi antara pihak sekolah dan orang tua harus
diperkuat dengan partisipasi masyarakat di dalamnya. Dalam bukunya “My Home for
Schooling”, Taufiqur Rohman menekankan pentingnya keterlibatan sekolah,
keluarga, dan masyarakat sebagai trilogi pendidikan. Trilogi pendidikan harus
dijalankan secara serentak dan bersama-sama, sehingga tidak boleh ada satupun
domain yang tidak bekerja. Dengan begitu, penanaman nilai dan karakter beserta
pengembangan potensi akademik anak dapat berjalan secara seimbang.
Kedua, membangun kedisiplinan diri. Kedisiplinan merupakan
aspek penting yang harus dibiasakan dan dikuatkan di kalangan guru dan peserta
didik. Di lembaga pendidikan, guru harus menjadi agen dan model (teladan)
kedisiplinan. Artinya, guru tidak bisa memaksa peserta didik untuk mewujudkan
kedisiplinan apabila ia sendiri belum menjalankannya. Dengan membangun
kedisiplinan diri yang baik, maka proses pendidikan dan pembentukan karakter
dapat berjalan dengan maksimal.
Ketiga, bersikap objektif. Sikap objektif sangat
penting dalam proses penilaian peserta didik di lingkungan pendidikan. Semua
pencapaian yang dialami oleh masing-masing peserta didik harus disikapi secara
baik, berimbang, dan menyentuh kebutuhan. Artinya, guru tidak boleh melakukan
diskriminasi dalam proses penilaian. Dengan begitu, semua perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pembelajaran dapat dilakukan
secara baik.
Pada akhirnya upaya menjadi “garam berkat” untuk
menyikapi fenomena “hantu” di lembaga pendidikan adalah tugas semua pihak. Guru,
tenaga kependidikan, peserta didik, orang tua, dan bahkan masyarakat harus
menjadi “garam berkat”. Semua itu bertujuan untuk mewujudkan dunia pendidikan
yang diharapkan. Pendidikan menjadi dasar penting dalam usaha untuk membentuk
manusia yang utuh. Dengan begitu, semua orang bisa bersama-sama membangun
pendidikan yang berkualitas guna menghasilkan generasi yang unggul dan
berkarakter. (MDj/red)
0 Comments