Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Suluh Peradaban: Merevolusi Literasi dari Jejak yang Paling Gelap

 



Oleh: Ama Kewaman

(Tenaga Pengajar di SMAS Frater Don Bosco Lewoleba)



CAKRAWALANTT.COM - Memasuki era revolusi industri 4.0 yang oleh Alvin Toffler disebut gelombang ketiga atau yang oleh John Naisbitt disebut sebagai Zaman Pasca-Industri ini, perkembangan literasi mesti digadang secara sungguh-sungguh dan terencana agar dalam upaya percepatan terobosan literasi mendapat kemajuan.

 

Pemajuan budaya literasi harus dimulai dari kesadaran untuk merefleksikan kebijakan-kebijakan macam apa yang bisa dilakukan? Siapa sajakah yang berperan dalam pemajuan literasi? Alat-alat apa saja yang digunakan untuk menyokong pertumbuhan literasi?

 

Beberapa pertanyaan di atas diajukan terlebih dahulu sebagai tesis untuk mendeteksi sejauh mana keterlibatan agen literasi dalam memberi doktrin dan atau program-program alternatif untuk menumbuhkembangkan budaya literasi. Hal ini tentu saja tidak lepas dari proses untuk mengubah pola pikir kebanyakan orang tentang literasi hanya sebatas baca dan tulis.

 

Akibatnya, kegiatan literasi hanya berpusat pada lembaga pendidikan formal saja. Akibat lainnya yang timbul adalah yang menjadi agen literasi hanyalah pendidik dan siswa sebagai objeknya. Padahal, siapa saja boleh mengambil bagian dalam menerobos jalan sunyi literasi dengan meritokrasi keadaan dengan menyediakan fasilitas literasi (bahan bacaan dan mengadakan diskusi).

 

Perkembangan dunia literasi tentu saja tidak hanya sebatas membaca/menulis, menggelar pasar bacaan, dan atau mendistribusikan bahan bacaan. Lebih jauh dari pada itu, David K Naugle, salah seorang Penulis dan Profesor di Universitas Dallas Baptist mengemukakan, literasi merupakan pembentukan wawasan dunia dengan cara memandang dan menilai dunia serta memaknai segala kenyataan (realitas) di dunia ini. Pembentukan wawasan dunia yang dimaksud adalah sikap manusia dan realitas yang terjadi di dalamnya. Dengan lain perkataan, manusia memiliki kemampuan untuk membentuk wawasan dunia.

 

Pembentukan wawasan dunia hanya dapat dilakukan oleh mereka (manusia) dengan potensi adikodrati, yaitu akal. Dengan akal serta kemampuan yang dimiliki, manusia dapat meliterasi dunia dengan memanfaatkan sumber-sumber pengetahuan yang ada.

 

Pemanfaatan sumber pengetahuan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya: menggelar pelatihan menulis di sekolah-sekolah bagi guru dan siswa; mengadakan diskusi bahan bacaan atau sekedar berbagi pengalaman intelektual yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) seperti yang sudah dilakukan di Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Cakrawala NTT yang telah menembus batas gelap literasi di bumi Nusa Cendana, menempuh jalan sunyi literasi dan menapaki jejak literasi terus membekas.

 

Upaya yang dilakukan Cakrawala NTT ini tentu saja membuka jalan gelap literasi dan memperindah gong literasi yang telah bergema di pelosok-pelosok tanah air beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, suluh peradaban di lorong-lorong sunyi literasi dapat tercapai sesuai dengan road map grand design menuju generasi emas NTT 2050. Pada akhirnya, kita akan menyaksikan generasi emas itu berkilau memancarkan semerbak literasi di seantero Nusantara.           


Revolusi Budaya Literasi

 

Harus diakui, bahwa seiring perkembangan zaman, perkembangan literasi di NTT justru semakin merosot. Hasil survei memperlihatkan kemampuan literasi dasar di NTT sangat rendah. Dari jumlah siswa yang tidak lulus tes literasi dasar, NTT menempati posisi 81% dari siswa yang tidak lulus tes literasi dasar tersebut. Artinya, dalam soal literasi, kita masih tertinggal jauh di bawah provinsi tetangga kita, NTB. Keadaan demikian mengharuskan kita untuk melakukan revolusi literasi secara total dan habis-habisan di tanah perdamaian, tanah tangis ibu, tanah tandus literasi, NTT.

 

Merevolusi artinya memberi perubahan pada cara-cara, kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keadaan sosial literasi. Literasi tidak hanya berpusat pada orang per orangan atau kelompok tertentu, tetapi harus melibatkan konteks masyarakat yang partikular.

 

Dalam kaitannya dengan literasi, proses merevolusi budaya literasi artinya, sebuah proses pembentukan kesadaran, visi yang imajinatif, ide-ide dan solusi terhadap kemungkinan-kemungkinan untuk menerobos jalan gelap literasi di NTT ini. Proses ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi  mestinya dimulai dari akar-akar permasalahannya, yaitu manusia.

 

Konsekuensi logis dari peran manusia dalam merevolusi budaya literasi di NTT tidak selalu berarti mereka yang bekerja sebagai pendidik, tetapi juga semua orang yang secara sadar memberi diri dan menyumbangka ide untuk kegembiraan yang lebih besar_kegembiraan untuk menghidupkan literasi di jalan gelap. Dengan cara itu, kita mampu mewujudkan generasi emas NTT 2050.

 

Mengembalikan Literasi yang Telah Membudaya

 

Sebagian besar masyarakat di NTT barangkali tidak pernah lupa dengan kehadiran Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian. Konsistensi SKM Dian ketika itu tidak hanya sekedar menjadi partner pemerintah dan Gereja dalam upaya meningkatkan mutu hidup manusia, tetapi juga mengelolah majalah bulanan untuk anak-anak, Kunang-Kunang. Setiap bulan, anak-anak sekolah selalu menanti karyanya dimuat.

 

Ada kebahagiaan tersendiri bagi mereka yang karyanya dimuat. Artinya, anak-anak ketika itu diharuskan melihat karya temannya yang dimuat. Dan itu membutuhkan kemampuan untuk tidak hanya melihat, tetapi juga membaca. Pada masa inilah, jejak literasi di NTT mulai tumbuh pada anak-anak usia sekolah dasar. Ditambah lagi dengan pelajarang mengarang setiap kali masuk liburan sekolah.

 

Aktivitas itu yang sekarang sudah digantikan posisinya oleh smartphone. Dengan hadirnya gadget tersebut mestinya mampu menumbuhkan aktivitas literasi kita. Yang terjadi justru sebaliknya. Oleh karena itu, pemerintah lewat dunia pendidikan mestinya mencanangkan kegiatan membaca hening (sebelum/sesudah KBM) dan secara rutin melakukan diskusi yang berkelanjutan. Ada juga program lain yang ditawarkan adalah sehari bersama buku.

 

Program-program tersebut bisa berjalan baik, bila pemerintah dalam hal ini pembuat kebijakan, sekolah-sekolah, komunitas literasi, Taman Baca Masyarakat (TBM) dan masyarakat umum untuk bergandeng tangan demi terwujudnya literasi yang berkelanjutan. Semua elemen ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menjalin revolusi budaya literasi yang spasial.

 

Oleh karena itu, untuk mendukung peningkatan literasi di NTT, diperlukan adanya revolusi terhadap pembuat kebijakan, cara-cara dengan kesadaran yang memberi efek pada pembebasan pikiran untuk menyusun rancangan dalam peningkatan kuantitas dan kualitas kebijakan melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan baru dengan kejutan yang kreatif dan inovatif. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments