(Tenaga
Pengajar di SMAS Frater Don Bosco Lewoleba)
CAKRAWALANTT.COM - Memasuki era revolusi industri 4.0 yang
oleh Alvin Toffler disebut gelombang
ketiga atau yang oleh John Naisbitt disebut sebagai Zaman Pasca-Industri ini, perkembangan literasi mesti digadang
secara sungguh-sungguh dan terencana agar dalam upaya percepatan terobosan
literasi mendapat kemajuan.
Pemajuan budaya literasi harus dimulai
dari kesadaran untuk merefleksikan kebijakan-kebijakan macam apa yang bisa
dilakukan? Siapa sajakah yang berperan dalam pemajuan literasi? Alat-alat apa
saja yang digunakan untuk menyokong pertumbuhan literasi?
Beberapa pertanyaan di atas diajukan
terlebih dahulu sebagai tesis untuk mendeteksi sejauh mana keterlibatan agen
literasi dalam memberi doktrin dan atau program-program alternatif untuk
menumbuhkembangkan budaya literasi. Hal ini tentu saja tidak lepas dari proses
untuk mengubah pola pikir kebanyakan orang tentang literasi hanya sebatas baca
dan tulis.
Akibatnya, kegiatan literasi hanya
berpusat pada lembaga pendidikan formal saja. Akibat lainnya yang timbul adalah
yang menjadi agen literasi hanyalah pendidik dan siswa sebagai objeknya.
Padahal, siapa saja boleh mengambil bagian dalam menerobos jalan sunyi literasi
dengan meritokrasi keadaan dengan menyediakan fasilitas literasi (bahan bacaan
dan mengadakan diskusi).
Perkembangan dunia literasi tentu saja
tidak hanya sebatas membaca/menulis, menggelar pasar bacaan, dan atau
mendistribusikan bahan bacaan. Lebih jauh dari pada itu, David K Naugle, salah
seorang Penulis dan Profesor di Universitas Dallas Baptist mengemukakan,
literasi merupakan pembentukan wawasan dunia dengan cara memandang dan menilai
dunia serta memaknai segala kenyataan (realitas) di dunia ini. Pembentukan
wawasan dunia yang dimaksud adalah sikap manusia dan realitas yang terjadi di
dalamnya. Dengan lain perkataan, manusia memiliki kemampuan untuk membentuk
wawasan dunia.
Pembentukan wawasan dunia hanya dapat
dilakukan oleh mereka (manusia) dengan potensi adikodrati, yaitu akal. Dengan
akal serta kemampuan yang dimiliki, manusia dapat meliterasi dunia dengan
memanfaatkan sumber-sumber pengetahuan yang ada.
Pemanfaatan sumber pengetahuan tersebut
dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya: menggelar pelatihan menulis
di sekolah-sekolah bagi guru dan siswa; mengadakan diskusi bahan bacaan atau
sekedar berbagi pengalaman intelektual yang mampu meningkatkan kemampuan
berpikir kritis (critical thinking) seperti
yang sudah dilakukan di Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Cakrawala NTT yang
telah menembus batas gelap literasi di bumi Nusa Cendana, menempuh jalan sunyi
literasi dan menapaki jejak literasi terus membekas.
Upaya yang dilakukan Cakrawala NTT ini tentu saja membuka jalan gelap literasi dan memperindah gong literasi yang telah bergema di pelosok-pelosok tanah air beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, suluh peradaban di lorong-lorong sunyi literasi dapat tercapai sesuai dengan road map grand design menuju generasi emas NTT 2050. Pada akhirnya, kita akan menyaksikan generasi emas itu berkilau memancarkan semerbak literasi di seantero Nusantara.
Revolusi Budaya Literasi
Harus diakui, bahwa seiring perkembangan
zaman, perkembangan literasi di NTT justru semakin merosot. Hasil survei
memperlihatkan kemampuan literasi dasar di NTT sangat rendah. Dari jumlah siswa
yang tidak lulus tes literasi dasar, NTT menempati posisi 81% dari siswa yang
tidak lulus tes literasi dasar tersebut. Artinya, dalam soal literasi, kita
masih tertinggal jauh di bawah provinsi tetangga kita, NTB. Keadaan demikian
mengharuskan kita untuk melakukan revolusi literasi secara total dan habis-habisan
di tanah perdamaian, tanah tangis ibu, tanah tandus literasi, NTT.
Merevolusi artinya memberi perubahan
pada cara-cara, kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keadaan sosial
literasi. Literasi tidak hanya berpusat pada orang per orangan atau kelompok
tertentu, tetapi harus melibatkan konteks masyarakat yang partikular.
Dalam kaitannya dengan literasi, proses
merevolusi budaya literasi artinya, sebuah proses pembentukan kesadaran, visi
yang imajinatif, ide-ide dan solusi terhadap kemungkinan-kemungkinan untuk
menerobos jalan gelap literasi di NTT ini. Proses ini tidak terjadi secara alamiah,
tetapi mestinya dimulai dari akar-akar
permasalahannya, yaitu manusia.
Konsekuensi logis dari peran manusia
dalam merevolusi budaya literasi di NTT tidak selalu berarti mereka yang
bekerja sebagai pendidik, tetapi juga semua orang yang secara sadar memberi
diri dan menyumbangka ide untuk kegembiraan yang lebih besar_kegembiraan untuk
menghidupkan literasi di jalan gelap. Dengan cara itu, kita mampu mewujudkan
generasi emas NTT 2050.
Mengembalikan
Literasi yang Telah Membudaya
Sebagian besar masyarakat di NTT
barangkali tidak pernah lupa dengan kehadiran Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian. Konsistensi SKM Dian ketika itu
tidak hanya sekedar menjadi partner pemerintah dan Gereja dalam upaya
meningkatkan mutu hidup manusia, tetapi juga mengelolah majalah bulanan untuk
anak-anak, Kunang-Kunang. Setiap
bulan, anak-anak sekolah selalu menanti karyanya dimuat.
Ada kebahagiaan tersendiri bagi mereka
yang karyanya dimuat. Artinya, anak-anak ketika itu diharuskan melihat karya
temannya yang dimuat. Dan itu membutuhkan kemampuan untuk tidak hanya melihat,
tetapi juga membaca. Pada masa inilah, jejak literasi di NTT mulai tumbuh pada
anak-anak usia sekolah dasar. Ditambah lagi dengan pelajarang mengarang setiap
kali masuk liburan sekolah.
Aktivitas itu yang sekarang sudah
digantikan posisinya oleh smartphone.
Dengan hadirnya gadget tersebut
mestinya mampu menumbuhkan aktivitas literasi kita. Yang terjadi justru
sebaliknya. Oleh karena itu, pemerintah lewat dunia pendidikan mestinya
mencanangkan kegiatan membaca hening (sebelum/sesudah KBM) dan secara rutin
melakukan diskusi yang berkelanjutan. Ada juga program lain yang ditawarkan
adalah sehari bersama buku.
Program-program tersebut bisa berjalan
baik, bila pemerintah dalam hal ini pembuat kebijakan, sekolah-sekolah,
komunitas literasi, Taman Baca Masyarakat (TBM) dan masyarakat umum untuk
bergandeng tangan demi terwujudnya literasi yang berkelanjutan. Semua elemen
ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menjalin revolusi budaya
literasi yang spasial.
Oleh karena itu, untuk mendukung
peningkatan literasi di NTT, diperlukan adanya revolusi terhadap pembuat
kebijakan, cara-cara dengan kesadaran yang memberi efek pada pembebasan pikiran
untuk menyusun rancangan dalam peningkatan kuantitas dan kualitas kebijakan
melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) dengan mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan baru dengan kejutan yang kreatif dan inovatif. (MDj/red)
0 Comments