Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Menanti Guru Penggerak Bergerak

 (Catatan Pinggir Menyongsong Hari Guru Nasional Tahun 2023)



Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil.

(Tuan Rumah Literasi Cakrawala)



CAKRAWALANTT.COM - “Mohon izin bertanya, saat berkesempatan mengunjungi sekolah, kira-kira dari sudut mana kita bisa membedakan guru penggerak dan bukan guru penggerak? Apakah dari kostum yang lazim dikenakannya atau dari sisi jam terbangnya, semisal guru penggerak sering diundang berkegiatan di ibukota provinsi dan atau meninggalkan peserta didik di sekolahnya untuk mendampingi para guru di sekolah lain?”.

 

Pertanyaan ini tiba-tiba nongol di layar handphone-ku. Nomor baru tanpa identitas jelas. Bisa saja si penanya adalah seorang guru, orang tua peserta didik, masyarakat umum atau justru peserta didik.

 

Sejujurnya saya ingin segera menjawab, “Ini siapa, dari mana, kira-kira sasaran pertanyaanmu tertuju pada pihak mana?”.

 

Entah kenapa, sejak saat itu saya memilih diam dan membiarkan pertanyaan itu mencambuk hati dan pikiranku. November di tahun ini masih seperti di tahun kemarin. Tidak ada yang berubah. Mendung dan gerimis hanya hadir untuk kemudian pergi. Banyak petani menunggu dalam ragu. Apakah harus segera menaburkan benih atau harus memastikan lagi hujan itu turun lebih lama dan stabil.

 

Sesungguhnya, November ini belum sepenuhnya bersemi. Labil, narsis dan sedikit infantil. Namun, satu hal yang antik dan menarik bahwa di November kali ini adalah bertaburnya aneka jenis dan benih narasi.  Banyak orang ingin berbicara banyak walau tidak mengatakan apa-apa.

 

Warung kopi ramai dikunjungi hanya untuk membunuh waktu dalam diskusi dan spekulasi. Para pakar datang dari berbagai sudut pandang dan berbicara sesukanya, semisal tentang dinamika politik di tanah air dan atau isu kemanusiaan di jalur Gaza, Palestina.

 

Lagi-lagi, pertanyaan itu terus mencambuk hati dan pikiranku saat membaca fakta dalam data tentang warna rapor pendidikan di ini provinsi. Belum lagi bentuk lain dari merahnya rapor pendidikan itu, semisal meningkatnya angka pengangguran terdidik dan banyak anak NTT yang adalah pekerja migran kembali dalam kondisi tak bernyawa.

 

Sebagai jurnalis dan pegiat literasi digital, saya adalah saksi sekaligus pengamat dari fenomena antik tersebut. Di banyak group whatsapp, hampir semua anggotanya tak ingin ketinggalan informasi dan berjuang sedapat mungkin untuk ikut memberikan pendapat (pikiran). Dari warna bahasa dan topik yang dibahas, semuanya hampir memiliki peran yang sama, yakni pembicara atau narasumber. Begini dan begitulah November tahun ini.

 

Namun, dari beragam topik diskusi yang ada, isu pendidikan seakan terlewatkan. Maaf saja, di kanal maya itu banyak guru (dosen) justru doyan berdiskusi tentang isu-isu di seputar politik praktis. Aroma narasi dan ragam kegiatan menyambut hari guru justru tidak terdengar dan terlihat.

 

Yah, sebenarnya secara sederhana, Program Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang dapat mendorong tumbuh-kembang murid secara holistik, aktif dan proaktif.

 

Selain itu, ia (guru penggerak) harus mampu membagikan praktik baiknya kepada rekan sejawatnya agar mereka (para guru) bisa mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila.

 

Maka dengan demikian, menjadi jelas bahwa seorang guru penggerak adalah dia (mereka) yang terseleksi dan teruji sebagai agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila yakni beriman, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong royong, bernalar kritis dan kreatif.

 

Maka, pertanyaan lanjut adalah sejauh mana para guru penggerak ini sudah bergerak dan membangun ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila secara konkrit di lembaga satuan pendidikan sebagai ladang pengabdiannya. Apa dan bagaimana sepak terjang para guru penggerak untuk mempengaruhi para rekan sejawatnya agar ikut mendukung transformasi ekosistem pendidikan?.

 

Memang sepintas pertanyaan-pertanyaan itu terlihat sederhana, mengada-ada dan sedikit tendensius. Namun, hemat saya, inilah inti sari pertanyaan di atas, yakni apa saja kualitas yang melekat pada diri seorang guru penggerak.

 

Fakta berbicara dengan jelas, valid dan terukur. Walau tidak semua tetapi sebagian besar para kepala sekolah yang ditemui mengeluh, bingung dan kehilangan strategi sebagai solusi.  Menurut mereka, seringkali peserta didik terlantar karena ditinggalkan oleh para guru penggerak yang harus tour ke sekolah lain untuk menggerakan para guru di sana.

 

Mereka (para kepala sekolah) awalnya bangga karena di sekolahnya memiliki beberapa orang guru penggerak. Ada sebuah rasa optimis tentang perubahan yang bakal terjadi di sekolahnya. Ekosistem pendidikan bakal tercipta untuk mewujudkan profil Pancasila. Para peserta didik dipastikan akan banyak mengalami kemajuan dalam pembelajaran. Mereka (peserta didik) akan lebih aktif, kreatif, kritis dan sebagainya karena langsung didampingi oleh guru-guru bermutu.

 

Namun, apakah faktanya demikian? Tanpa harus menyebut angka, tidak sedikit guru penggerak yang lebih banyak bergerak di kanal maya. Mereka sangat aktif meng-uploud foto menggunakan kostum bertuliskan Guru Penggerak di pesawat, bandara, tempat wisata dan mall.

 

Maaf, sangat sedikit yang menghiasi dinding mayanya terkait kegiatan di kelas bersama peserta didik dan atau kawan guru yang lain di sekolahnya. Mari cek di Platform Merdeka Mengajar. Berapa jumlah guru penggerak yang login dan meng-uploud video praktik baiknya? Bisa dihitung dengan jari.

 

Pertanyaan tersisa, benarkah guru penggerak itu sudah bergerak? Sekali lagi biarlah pertanyaan ini mencambuk hati dan pikiran kita semua. Rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pimpinan dan staf Balai Guru Penggerak (BGP) yang terus bergerak dari hotel ke hotel dan menggelar banyak program kegiatan dengan mendatang sejumlah guru dari daerah.

 

Para guru penggerak ini memang dipersiapkan untuk saatnya menjadi manajer sekolah (kepala sekolah) dan atau pengawas. Mari kita ke ruangan ber-ac di beberapa hotel, tempat para guru penggerak ini berproses. Apa yang mereka buat di sana? Melakukan cek-in, duduk mendengar ceramah, berdiskusi seperlunya dan bersiap untuk cek-out.

 

Apakah ada tagihan atau semacam pekerjaan rumah untuk mereka implementasikan atau diimbaskan saat kembali ke sekolahnya masing-masing? Saya berpikir, di sini salah satu titik soalnya. Hmm, ada rumor dan berharap ini tidak benar. Ada pihak lain, sesama guru penggerak, yang merasa kecewa karena yang diundang untuk bergiat di ibukota provinsi hampir orang yang sama saja.

 

Seorang pegawai hotel yang enggan menyebutkan namanya justru ikut berkomentar kalau dirinya selalu melihat sosok-sosok yang sama di setiap kali kegiatan yang diselenggarakan BGP.

 

Namun, terlepas dari hal-hal di atas, patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya bagi para guru yang telah bergerak untuk kemajuan pendidikan, baik dalam lingkup satuan pendidikan maupun dalam lingkup yang lebih besar.

 

Pergerakkan tersebut tentu tidak sekadar urusan administratif semata, tetapi menyangkut upaya perbaikan kultur belajar, pembentukan pola pikir kritis, dan penguatan ekosistem pendidikan yang lebih berkualitas. Mereka telah bergerak melampui profesi menuju pengabdian tanpa batas.

 

Beginilah November kali ini. Kebanyakan petani di ini bulan merindukan datangnya hujan agar benih segera ditaburkan, seperti halnya masyarakat (orang tua peserta didik) dan peserta didik itu menunggu para guru penggerak itu segera bergerak.

 

Bukankah tujuan hadirnya program guru penggerak adalah untuk memajukan pendidikan dengan menciptakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik agar mereka bisa mandiri, kritis, kreatif, kolaboratif, komunikatif, dan berkepribadian Pancasila.

 

Jika demikian, tujuannya maka guru penggerak seharusnya segera bergerak. Ada warna rapor pendidikan yang bikin resah dan butuh sebuah terobosan kreatif sebagai sebuah solusi. Oleh karena itu, ada beberapa catatan kritis yang bisa dijadikan rujukan untuk menjawab pertanyaan harusnya mencambuk hati dan pikiran kita semua.

 

Pertama, guru penggerak itu bukan soal kuantitas, tetapi kualitas. Beragam strategi untuk meningkatkan jumlah guru penggerak itu perlu diapresiasi. Semisal, di beberapa kabupaten ada target tertentu jumlah yang harus dicapai. Setiap penggerak wajib mendampingi tiga orang guru lainnya agar lolos menjadi guru penggerak.

 

Saya berpikir ini terobosan positif, tetapi ada hal yang jauh lebih penting, yaitu kualitas individual dari guru penggerak tersebut. Di beberapa pekan lalu, ada lomba apresiasi GTK yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek melalui BGP. Pertanyaannya, berapa banyak jumlah peserta yang terlibat? Boleh dibilang sangat minim. Maka dipandang perlu untuk lebih fokus memperhatikan kualitas guru penggerak dan mengevaluasi kembali sertifikat guru penggerak yang minus kreatifitas dan inovasi.

 

Kedua, BGP sebagai sebuah balai yang fokus membidangi beragam program peningkatan kompetensi guru harus memperhatikan kualitas staf, terutama dari sisi sumber daya manusia (SDM), tanggungjawab kerja, kemampuan merancang program yang jelas, kontektual dan terukur.

 

Oleh karena itu, BGP seharusnya membuka diri untuk berkolaborasi dengan pihak lain dalam banyak bentuk, semisal sharing SDM dengan BPMP, BPK, Kantor bahasa, para akademisi, praktisi pendidikan dan pihak lain yang profesional di bidangnya. Standar yang dipakai harusnya sama, yakni rasional dan profesional. Pemateri dan peserta kegiatan dihadirkan sesuai dengan sasaran program kegiatan yang dibutuhkan para guru. Bukan soal pertimbangan kedekatan semata.

 

Ketiga, pihak BGP secara berkala menyebarkan kuisioner kepada masyarakat (orang tua), peserta didik dan para pemerhati pendidikan untuk ikut mengevaluasi beragam program dari BGP agar prodak program kegiatan yang menelan biaya besar tersebut menyasar langsung pada peningkatan kualitas peserta didik.

 

Selain itu, perlu adanya sebuah assesment tambahan dalam proses seleksi guru penggerak, yaitu kemurnian motivasi dalam mengikuti seleksi guru penggerak agar tidak hanya soal peningkatan karier, kesejahteraan atau jabatan semata.

 

Uraian di atas perlu dipandang sebagai sebuah dorongan reflektif bagi semua pihak yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan. Imbas dari proses pendidikan tentu bermuara pada perkembangan dan kemajuan peserta didik di setiap kegiatan pembelajaran. Kondisi peserta didik harus mengalami perubahan, baik dari capaian output maupun outcome, sehingga dapat menunjang peningkatan rapor pendidikan.

 

Namun, harapan-harapan tersebut bisa terwujud apabila guru sebagai SDM penting dalam bidang pendidikan mampu menyesuaikan dan meningkatkan kualitas diri sesuai tuntutan realitas. Menjelang Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2023 ini, tentu beban dan peran guru menjadi perhatian serius. Masyarakat mengharapkan dan bahkan menuntut inovasi dan terobosan yang kreatif dari para guru bagi dunia pendidikan. Semua guru harus menjadi penggerak.

 

Guru harus bertindak secara nyata, bukan sekadar mengejar capaian praktis dan administratif. Guru yang berkualitas akan menciptakan pembelajaran yang berkualitas, menunjang proses pendidikan yang berorientasi pada peserta didik, serta mendorong terbentuknya ekosistem dan iklim pendidikan yang baik. (red)


Post a Comment

0 Comments