Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

PITP Unwira Gelar Kuliah Umum

 



Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Pusat Inovasi Teknologi Pembelajaran (PITP) Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira),  mengadakan kuliah umum dengan tema Pendidikan dalam Cengkraman Tirani Meritokrasi: Perspektif  Filosofis Michael Sandel di Aula St. Paulus, Lantai IV, Kampus Penfui, pada Jumat, (15/09/2023).


Seminar tersebut menghadirkan Pater Petrus Tan, SVD., S. Fil., M.Th., M.Fil., sebagai pemateri dan Didimus Dedi Dhosa, S.Fil., M.A., sebagai moderator. Dalam pemaparannya, Pater Peter menjelaskan bahwa  ada empat pokok ideologi meritokrasi dan kritik terhadapnya.


Pertama, meritokrasi mengajarkan bahwa nasib kita melukiskan prestasi dan kemampuan kita. Jika nasib kita buruk, itu karena kesalahan kita sendiri. Jika nasib kita baik, itu adalah prestasi kita. Bagi Sandel, keyakinan ini mendorong the winners menghirup dalam-dalam aroma kesuksesan mereka sebagai hadiah yang adil untuk kapasitas mereka sendiri sambil memandang rendah mereka yang gagal (the losers). Para pecundang yang gagal ini merasa tidak ada yang bisa dikutuk selain diri sendiri.



Kedua, meritokrasi menyebarkan keyakinan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. Sama seperti liberalisme menghargai otonomi diri, meritokrasi juga sangat menghargai konsep tanggung jawab individu.


Ketiga, meritokrasi melupakan “cultural capital” yang didapat karena orang terlahir dari kelas sosial tertentu. Ada privilese kelas yang juga merupakan faktor penentu kesuksesan seperti penguasaan bahasa, class manner, jaringan kerja, dan lain-lain. Tidak semua orang punya cultural capital yang mendukung kesuksesan mereka.


Keempat, Meritokrasi menciptakan pandangan keliru atas ketimpangan sosial. Meritokrasi menciptakan pandangan keliru atas ketimpangan sosial.



“Dalam konteks joki karya ilmiah, seorang akademisi rela mempertaruhkan integritas pribadinya demi mencapai gelar guru besar karena gelar itu dihargai terlalu tinggi dalam masyarakat kita dan telah menjadi simbol segala kemewahan, keagungan dan kemenangan. Kita perlu melihat sikap yang memicu kecurangan tersebut. Kecurangan itu sendiri bertentangan dengan meritokrasi. Akan tetapi, kecurangan itu dilakukan justru karena imperatif meritokrasi yaitu jika Anda mencapai gelar guru besar, Anda pantas memeroleh segala kemewahan dan harga diri yang amat tinggi dari publik." 


"Dari perspektif Sandel, bahkan bila gelar guru besar dicapai dengan cara-cara yang fair, gelar itu tetap menunjukkan keangkuhan meritokratis jika terdapat keyakinan bahwa gelar itu membuat seseorang pantas menjadi pemenang dan mendapatkan rasa hormat yang lebih tinggi ketimbang yang lain kita bisa marah terhadap kecurangan si calon guru besar, sebab kecurangan tersebut melanggar etika meritokrasi bahwa orang pantas mendapatkan sesuatu atau layak dihargai berdasarkan kapasitas individu, baik kapasitas moral maupun intelektual atau akademisnya. Namun, alasan itu tidak menjawab pertanyaan, mengapa kecurangan seperti itu semakin sering terjadi,” terang Alumnus Program Magister Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.


Kegiatan ini dihadiri oleh para dosen dan 250 mahasiswa/i yang berasal dari berbagai fakultas di Unwira. (Rio Ambasan/MDj/red)


Post a Comment

0 Comments