Oleh : Marselinus Lado, S.Sos.
(Guru Sosiologi MAS Muhammadiyah Riung)
CAKRAWALANTT.COM - Masa remaja merupakan rentang waktu yang sangat rentan
dengan berbagai persoalan. Di usia yang tergolong belia, remaja harus mengalami
suatu fase transisi menuju jenjang hidup yang lebih tinggi atau dewasa. Ia mulai
mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Pada saat itu, remaja
akan memasuki masa pembentukan sikap dan kepribadian.
Secara psikologis, kondisi di masa remaja masih
terbilang labil, sewaktu-waktu dapat goyah, dan bahkan menimbulkan
pemberontakan dari dalam diri. Hal itu pun dapat dilihat dalam diri para
peserta didik di lingkungan sekolah. Mereka, secara usia, masih tergolong ke
dalam kelompok remaja, sehingga selalu menjadi perhatian para orang tua dan
tenaga pendidik.
Dalam beberapa kasus, peserta didik kerap terlibat
dalam persoalan-persoalan menyangkut kenakalan remaja, baik di lingkungan keluarga
maupun sekolah. Tidak jarang, mereka disebut sebagai peserta didik bermasalah. Menurut
Yonohadi (2012), peserta didik bermasalah adalah peserta didik yang kerap
bersikap atau bertindak tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh guru,
orang tua, atau masyarakat, sebab cenderung merugikan diri sendiri dan orang
lain.
Namun, persoalan di masa remaja tidak selamanya
merujuk pada kenakalan. Konsep bermasalah tidak dibatasi pada
penyimpangan-penyimpangan, tetapi juga terkait kesulitan dalam belajar,
berkomunikasi, dan bahkan mengembangkan rasa percaya diri. Selain itu, peserta
didik yang bermasalah juga kerap alpa atau bolos, tidak mampu meraih ketuntasan
dalam nilai pelajaran, dan kerap menjadi korban kecanduan teknologi.
Kondisi tersebut juga terjadi di lingkungan Madrasah Aliyah
Swasta (MAS) Muhammadiyah Riung, Kabupaten Ngada. Tidak dapat dipungkiri bahwa
di samping banyaknya prestasi akademik dan nonakademik, masih terdapat beberapa
peserta didik yang tergolong ke dalam kelompok “bermasalah” akibat rentannya
masa remaja yang mereka alami.
Kenyataan tersebut turut disebabkan oleh beberapa
faktor, baik secara internal maupun eksternal. Dari sisi internal, motivasi
belajar dari dalam diri para peserta didik masih rendah. Mereka cenderung
terpengaruh dengan teman sebaya dan bahkan tidak memiliki pendirian untuk
mengambil keputusan. Ketika ditanya tentang rencana pendidikan selanjutnya,
mereka akan ragu dan sulit menentukan pilihan.
Sedangkan, dari sisi eksternal, persoalan yang dialami
para peserta didik merupakan gambaran kesalahan mereka terhadap guru dan orang
tua (sekolah vs rumah). Penulis, selaku guru pengampu pelajaran Sosiologi,
mulai mengintrospeksi diri dan melakukan refleksi terkait kondisi tersebut.
Bukan tidak mungkin, pendekatan atau pola pembelajaran yang digunakan bisa
menjadi faktor penyebab. Pendekatan yang kurang humanis dan strategis turut
memperkeruh suasana hingga akhirnya guru dan orang tua akan saling menyalahkan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Penulis
menggunakan model pembelajaran berbasis proyek. Model tersebut sesuai dengan
keadaan dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekolah dan model yang tepat
pasti akan membawa perubahan yang besar, baik dalam hubungannya dengan guru
maupun orang tua.
Grant (2002) mendefinisikan pembelajaran berbasis
proyek (project based learning)
sebagai model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik untuk melakukan
suatu investasi yang mendalam terhadap suatu topik. Peserta didik secara
konstruktif melakukan pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset
terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata, dan relevan.
Googman dan Stiver (2010) menegaskan bahwa
pembelajaran berbasis proyek bisa menciptakan lingkungan belajar yang
konstruktif dimana peserta didik bisa membangun pengetahuannya sendiri dan
pendidik menjadi fasilitator.
Peserta didik tidak hanya memahami konten, tetapi
menumbuhkan keterampilan pada peserta didik bagaimana berperan di masyarakat,
seperti berkomunikasi dan presentasi, manajemen organisasi dan waktu,
penelitian dan penyelidikan, penilaian diri dan refleksi, partisipasi kelompok
dan kepemimpinan, serta pemikiran kritis.
Dalam praktiknya, Penulis menerapkan model
pembelajaran berbasis proyek dengan langkah-langkah berikut.
Pertama, membuka
pelajaran dengan pertanyaan menantang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa
berupa apa tujuan hidup Anda? Mengapa Anda
harus belajar di sekolah? Aktivitas apa yang anda lakukan di rumah atau bersama
orang tua?. Setelah itu, Penulis meminta mereka membaca jawabannya
masing-masing secara bergiliran.
Kedua, merencanakan
proyek. Setelah menarik kesimpulan dari jawaban yang telah diberikan,
Penulis mulai merancang proyek yang akan dilakukan secara pribadi tentang
kegiatan peserta didik di sekolah maupun di rumah. Kegiatan tersebut bisa
berupa diskusi dengan orang tua, bermain bola, dan lain sebagainya.
Ketiga, menyusun
jadwal aktivitas. Di sini, Penulis dan peserta didik secara kolavoratif
menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Jadwal penyelesaikan
harus jelas dan diberikan tenggat waktu selama 3 minggu. Pada minggu pertama
dan kedua, para peserta didik mulai mengumpulkan data dan melakukan observasi
terkait proyek tersebut. Sedangkan, pada minggu ketiga, para peserta didik
mulai berdiskusi bersama Penulis terkait proyek yang dilakukan. Hal itu harus
dibuat dalam bentuk tulisan tangan sesuai dengan arahan Penulis.
Keempat, mengawasi
jalannya proyek. Pengawasan dilakukan oleh Penulis dengan terus
mengingatkan peserta didik. Penulis juga membuka ruang diskusi kepada para
peserta didik guna membantu penyelesaian proyek apabila menemui kendala.
Kelima, penilaian
terhadap produk yang dihasilkan. Proses penilaian dilakukan oleh Penulis
setelah waktu yang diberikan untuk pengerjaan proyek telah selesai. Penulis akan
mengumpulkan hasil dari para peserta didik selama proses berlangsung. Para peserta
didik kemudian mempresentasikan hasil proyeknya untuk dinilai, baik dari segi komunikasi,
cara berbicara, dan isi materi yang disampaikan.
Setelah menerapkan langkah-langkah tersebut, Penulis
menemukan adanya perubahan tingkah laku peserta didik dan orang tua terhadap
sekolah. Peserta didik lebih fokus terhadap aktivitas di sekolah, baik intra
maupun ekstra. Mereka pun akhirnya memiliki motivasi dan cita-cita untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan
masing-masing.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kesadaran diri guru sangat penting terhadap perkembangan motivasi belajar
peserta didik. Keterbukaan yang dilakukan guru mampu meminimalisir jurang
pemisah antara sekolah dan orang tua, sebab tujuan yang hendak dicapai bersama
adalah mewujudkan perubahan sikap dan perilaku dalam diri anak. Untuk itu,
perlu adanya kerja sama dan kolaborasi antara guru dan orang tua. (red)
0 Comments