Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

SEKOLAH VS RUMAH

 


Oleh : Marselinus Lado, S.Sos.

(Guru Sosiologi MAS Muhammadiyah Riung)



CAKRAWALANTT.COM - Masa remaja merupakan rentang waktu yang sangat rentan dengan berbagai persoalan. Di usia yang tergolong belia, remaja harus mengalami suatu fase transisi menuju jenjang hidup yang lebih tinggi atau dewasa. Ia mulai mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Pada saat itu, remaja akan memasuki masa pembentukan sikap dan kepribadian.

 

Secara psikologis, kondisi di masa remaja masih terbilang labil, sewaktu-waktu dapat goyah, dan bahkan menimbulkan pemberontakan dari dalam diri. Hal itu pun dapat dilihat dalam diri para peserta didik di lingkungan sekolah. Mereka, secara usia, masih tergolong ke dalam kelompok remaja, sehingga selalu menjadi perhatian para orang tua dan tenaga pendidik.

 

Dalam beberapa kasus, peserta didik kerap terlibat dalam persoalan-persoalan menyangkut kenakalan remaja, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Tidak jarang, mereka disebut sebagai peserta didik bermasalah. Menurut Yonohadi (2012), peserta didik bermasalah adalah peserta didik yang kerap bersikap atau bertindak tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh guru, orang tua, atau masyarakat, sebab cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain.

 

Namun, persoalan di masa remaja tidak selamanya merujuk pada kenakalan. Konsep bermasalah tidak dibatasi pada penyimpangan-penyimpangan, tetapi juga terkait kesulitan dalam belajar, berkomunikasi, dan bahkan mengembangkan rasa percaya diri. Selain itu, peserta didik yang bermasalah juga kerap alpa atau bolos, tidak mampu meraih ketuntasan dalam nilai pelajaran, dan kerap menjadi korban kecanduan teknologi.  

 

Kondisi tersebut juga terjadi di lingkungan Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Muhammadiyah Riung, Kabupaten Ngada. Tidak dapat dipungkiri bahwa di samping banyaknya prestasi akademik dan nonakademik, masih terdapat beberapa peserta didik yang tergolong ke dalam kelompok “bermasalah” akibat rentannya masa remaja yang mereka alami.

 

Kenyataan tersebut turut disebabkan oleh beberapa faktor, baik secara internal maupun eksternal. Dari sisi internal, motivasi belajar dari dalam diri para peserta didik masih rendah. Mereka cenderung terpengaruh dengan teman sebaya dan bahkan tidak memiliki pendirian untuk mengambil keputusan. Ketika ditanya tentang rencana pendidikan selanjutnya, mereka akan ragu dan sulit menentukan pilihan.

 

Sedangkan, dari sisi eksternal, persoalan yang dialami para peserta didik merupakan gambaran kesalahan mereka terhadap guru dan orang tua (sekolah vs rumah). Penulis, selaku guru pengampu pelajaran Sosiologi, mulai mengintrospeksi diri dan melakukan refleksi terkait kondisi tersebut. Bukan tidak mungkin, pendekatan atau pola pembelajaran yang digunakan bisa menjadi faktor penyebab. Pendekatan yang kurang humanis dan strategis turut memperkeruh suasana hingga akhirnya guru dan orang tua akan saling menyalahkan.

 

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Penulis menggunakan model pembelajaran berbasis proyek. Model tersebut sesuai dengan keadaan dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekolah dan model yang tepat pasti akan membawa perubahan yang besar, baik dalam hubungannya dengan guru maupun orang tua.

 

Grant (2002) mendefinisikan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) sebagai model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik untuk melakukan suatu investasi yang mendalam terhadap suatu topik. Peserta didik secara konstruktif melakukan pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata, dan relevan.

 

Googman dan Stiver (2010) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis proyek bisa menciptakan lingkungan belajar yang konstruktif dimana peserta didik bisa membangun pengetahuannya sendiri dan pendidik menjadi fasilitator.

 

Peserta didik tidak hanya memahami konten, tetapi menumbuhkan keterampilan pada peserta didik bagaimana berperan di masyarakat, seperti berkomunikasi dan presentasi, manajemen organisasi dan waktu, penelitian dan penyelidikan, penilaian diri dan refleksi, partisipasi kelompok dan kepemimpinan, serta pemikiran kritis.

 

Dalam praktiknya, Penulis menerapkan model pembelajaran berbasis proyek dengan langkah-langkah berikut.

 

Pertama, membuka pelajaran dengan pertanyaan menantang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa berupa apa tujuan hidup Anda? Mengapa Anda harus belajar di sekolah? Aktivitas apa yang anda lakukan di rumah atau bersama orang tua?. Setelah itu, Penulis meminta mereka membaca jawabannya masing-masing secara bergiliran.

 

Kedua, merencanakan proyek. Setelah menarik kesimpulan dari jawaban yang telah diberikan, Penulis mulai merancang proyek yang akan dilakukan secara pribadi tentang kegiatan peserta didik di sekolah maupun di rumah. Kegiatan tersebut bisa berupa diskusi dengan orang tua, bermain bola, dan lain sebagainya.

 

Ketiga, menyusun jadwal aktivitas. Di sini, Penulis dan peserta didik secara kolavoratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Jadwal penyelesaikan harus jelas dan diberikan tenggat waktu selama 3 minggu. Pada minggu pertama dan kedua, para peserta didik mulai mengumpulkan data dan melakukan observasi terkait proyek tersebut. Sedangkan, pada minggu ketiga, para peserta didik mulai berdiskusi bersama Penulis terkait proyek yang dilakukan. Hal itu harus dibuat dalam bentuk tulisan tangan sesuai dengan arahan Penulis.

 

Keempat, mengawasi jalannya proyek. Pengawasan dilakukan oleh Penulis dengan terus mengingatkan peserta didik. Penulis juga membuka ruang diskusi kepada para peserta didik guna membantu penyelesaian proyek apabila menemui kendala.

 

Kelima, penilaian terhadap produk yang dihasilkan. Proses penilaian dilakukan oleh Penulis setelah waktu yang diberikan untuk pengerjaan proyek telah selesai. Penulis akan mengumpulkan hasil dari para peserta didik selama proses berlangsung. Para peserta didik kemudian mempresentasikan hasil proyeknya untuk dinilai, baik dari segi komunikasi, cara berbicara, dan isi materi yang disampaikan.

 

Setelah menerapkan langkah-langkah tersebut, Penulis menemukan adanya perubahan tingkah laku peserta didik dan orang tua terhadap sekolah. Peserta didik lebih fokus terhadap aktivitas di sekolah, baik intra maupun ekstra. Mereka pun akhirnya memiliki motivasi dan cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan masing-masing.

 

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesadaran diri guru sangat penting terhadap perkembangan motivasi belajar peserta didik. Keterbukaan yang dilakukan guru mampu meminimalisir jurang pemisah antara sekolah dan orang tua, sebab tujuan yang hendak dicapai bersama adalah mewujudkan perubahan sikap dan perilaku dalam diri anak. Untuk itu, perlu adanya kerja sama dan kolaborasi antara guru dan orang tua. (red)


Post a Comment

0 Comments