(Pater Franz Lackner bersama Pimpinan Umum Cakrawala NTT dan anak-anak di Pulau Sabu. Foto: Dokumentasi pribadi Gusty Rikarno) |
Oleh : Jonny Liwu
(Guru dan Penggiat Literasi)
CAKRAWALANTT.COM - Cerita
ini berawal saat saya bertugas sebagai abdi negara di Negeri Nusama, Kecamatan
Rote Barat Daya. Tak pernah terlintas bahwa saya akan memijakkan kaki di
wilayah paling selatan Indonesia, yakni Pulau Rote. Sejak tahun 1995, saya mulai
mengenal figur seorang rohaniwan Katolik bernama Pater Franz Lackner, SVD. Pastor
berkebangsaan Wina-Austria tersebut beberapa kali memimpin ibadat bersama di
Kapela Nembedale, Oesali, dan tentunya, saya turut hadir dalam kesempatan
tersebut.
Beberapa
umat Katolik di Desa Oesali, Kecamatan Rote Barat Daya, banyak berkisah tentang
Pastor tersebut. Pater Franz memiliki jadwal kunjungan yang menjadi agendanya
sendiri. Ia harus melayani umat di tiga pulau yang berbeda, yakni Pulau Rote,
Pulau Sabu, dan Pulau Raijua. Jujur, perjumpaan saya bersama Pater Franz hanya
berlangsung sekali selama kurun waktu lima tahun. Namun, meski cuman sesaat,
panggilan imamat dan seruan kegembalaannya sangat menginspirasi banyak orang,
termasuk saya.
Pater
Franz merupakan figur rohaniwan yang terbuka untuk semua umat dan kalangan. Ia tidak
pernah memilah atau memilih dengan siapa dia ingin bertemu. Pernah suatu
ketika, beberapa rekan guru, baik yang beragam Katolik, Islam, maupun
Protestan, sedang menunggunya memimpin misa. Mereka nampak tenang dan setia
menyambutnya di halaman sembari menyalami dan menyampaikan rasa terima kasih.
Pater Franz pun dengan rasa haru memeluk mereka meskipun masih mengenakan jubah
putihnya.
“Teruma
kasih, Pater. Anak saya sudah sembuh,” ucap salah seorang Ibu.
Saat
itu, saya dan beberapa rekan guru baru mengetahui bahwa Pater Franz selalu
membawa obat-obatan kemana pun ia pergi melakukan kunjungan. Menurut pengakuan
umat setempat, obat yang dibawanya terbilang mujarab karena manjur menyembuhkan
orang sakit. Untuk itu, banyak umat yang ingin menemui Pater Franz bila
mengetahui keberadaannya di Oeseli.
Andreas
Lela, seorang Guru SD Hurulai Oeseli, mengisahkan bahwa Pater Franz adalah
seorang pastor yang sangat dekat dengan kaum jelata. Ia tidak pernah melihat
latar belakang agama. Pernah suatu saat, ujar Andreas, dirinya sedang berjalan
kaki dari Batu Tua, Ibu Kota Kecamatan Roote Barat Daya, yang berjarak 5-10 Km
menuju Hurulai. Ia hendak pergi mengajar. Tiba-tiba, Pater Franz menjumpainya di
tengah jalan. Pater Franz, sambungnya, meminta laporan kondisi umat di Kapela
Nembedale, Oesali. Sesaat setelah itu, lewatlah seorang nenek yang hendak ke
Oeseli, dan tanpa menunggu lama, Pater Franz menawarkan tumpangan kepada nenek
tersebut.
“Padahal
saya beharap akan bersama Pater, tetapi Pater memilih mengantarkan nenek
tersebut,” kata Andreas.
Namun,
demikianlah sosok Pater Franz. Ia lebih mengutamakan mereka yang membutuhkan
bantuan tanpa pandang bulu. Ia kerap membantu kaum terpinggirkan dan anak-anak
yatim piatu. Anak-anak tersebut tidak pernah luput dari perhatiannya. Bagi Pater
Franz, anak-anak itu harus mendapatkan kehidupan yang layak agar bisa tumbuh dan
berkembang dengan baik. Hal itu pun dibuktikannya. Ia memilih Pulau Sabu dan
Raijua sebagai tempat berbagi kasih dalam pelayanannya.
Kisah
lain tentang Pater Franz juga bisa ditemui dalam dunia bisnis. Ia juga
berbisnis dengan membuka usaha genteng. Ia sangat mengutamakan kepuasan
konsumen dalam kegiatan bisnis. Misalnya, seberapa banyak genteng yang dipesan
oleh pelanggan harus diterima dengan utuh, tanpa kekurangan satu pun. Jika terdapat
genteng yang rusak, maka pengantar harus menggantikannya dengan yang baru.
“Caranya,
pengemudi dan pengantar harus mengantarkan lagi genteng yang baru kepada para
pelanggan. Keuntungan berwujud uang, tetapi tidak boleh mengabaikan kepuasan
pelanggan,” demikian terang Andreas.
Membangun Iman Umat Adalah Hal yang
Utama
Pada
tahun 2000, setelah kepindahan saya ke Kota Kupang, cerita tentang Pater Franz
tidak terdengar lagi. Namun, ingatan tentang Pater Franz mendadak terngiang setelah
melihat postingan Pimpinan Umum Cakrawala NTT, Gusty Rikarno, bersama Pater
Franz di kolom media sosialnya. Saat itu, Pater Franz sedang bersama dengan
anak-anak di Pulau Sabu.
Saya
kemudian teringat secuil kisah tentang Pater Franz ketika sedang berkotbah. Ia mampu
menyampaikan kotbah dalam bahasa setempat, meskipun kadang bercampur antara
Bahasa Rote, Bahasa Sabu, dan Bahasa Indonesia. Hal itu terkesan unik dan
tentunya sangat bersahaja dengan umat.
Selain
berkotbah, Pater Franz juga mendorong pembangunan gedung gereja. Bersama dengan
kekuatan umat, Pater Franz berhasil memimpin pembangunan sebuah Gereja Paroki
di pusat Ibu Kota Kabupaten Rote Ndao dan Sabu Raijua. Ia selalu membangun
semangat kemandirian umat. Namun, baginya, hal utama bukanlah gereja secara
fisik, tetapi iman umat kepada Yang Ilahi adalah yang menjadi tujuan utama.
Pater
Franz juga selalu menghimbau umat untuk belajar dan berlatih berdoa serta
bernyanyi. Ia tetap membangun komunikasi bersama umat setempat agar pendalaman
dan penghayatan akan iman tetap terjaga.
“Kamu
mesti belajar dulu doa secara Katolik,” tutur seorang warga bermarga Nalle sambil
menirukan gaya bicara Pater Franz.
Cerita
tentang sosok Pater Franz ini tentunya bukan sekedar ingatan, tetapi telah
melekat dalam sanubari. Banyak hal yang saya pelajari dari Pater Franz. Ia adalah
pastor semua umat. Ia selalu berusaha mewujudkan cinta Tuhan melalui pelayanan
pastoral. Ia adalah bukti betapa cinta dan kasih Tuhan selalu nyata di tengah
umat-Nya.
Pater
Franz Lackner, karya dan pelayananmu mengajarkan kami untuk berhenti mengeluh
dan selalu memperbanyak syukur. Kiranya berkat Tuhan selalu menyertai setiap
langkah dan karya pelayananmu. (MDj/red)
1 Comments
Terimakasih untuk artikel yg luar biasa kk. Saya juga alumni dari asrama sabu yg Pater punya kk. Semoga Ba'i Pater selalu dalam lindungan Tuhan Yesus 🥰😍🙏😘
ReplyDelete