Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

PITP UNWIRA SELENGGARAKAN KULIAH UMUM BERTAJUK “BAHAYA LATEN DAN PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL”

 

(PITP Unwira menggelar Kuliah Umum bertajuk "Bahaya Laten dan Pencegahan Kekerasan Seksual")


Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Di awal Semester Genap Tahun Ajaran 2022/2023, Pusat Inovasi dan Teknologi Pembelajaran (PITP) Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “Bahaya Laten dan Pencegahan Kekerasan Seksual”, Senin (20/02/2023).


Kegiatan yang berlangsung di Aula St. Hendrikus, Gedung Rektorat Lantai IV, Kampus Unwira Penfui tersebut menghadirkan para Narasumber/Pembicara, yakni Dosen Psikologi Undana, Marleny Purnamasary Panis, S.Psi.,M.Si., dan Dosen Fakultas Hukum Unwira, Ernesta Uba Wohon, SH.,M.Hum. Kegiatan tersebut dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor I Unwira, Dr. Samuel Igo Leton, M.Pd.

 

Dalam sambutan pembukanya, Dr. Samuel mengatakan bahwa penyelenggaraan Kuliah Umum tersebut bertujuan agar seluruh Civitas Academica Unwira mengetahui dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual, seperti tindakan-tindakan yang terkategori dalam tindakan kekerasan seksual.

 

“Dengan demikian, Kuliah Umum ini bertujuan untuk menghindari kita dari kekerasan seksual, baik sebagai pelaku maupun korban kekerasan seksual,” ujar alumnus Doktoral Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat, tersebut.

 


Menurut Dr. Samuel, saat ini, kekerasan seksual menjadi isu atau pembahasan yang sangat penting di lingkungan Perguruan Tinggi (PT), sehingga Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah menerbitkan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi atau Permen PPKS.

 

“Kuliah Umum kali ini merupakan salah satu upaya Unwira untuk menjadi entitas yang aman dan nyaman bagi semua Civitas Academica Unwira. Apalagi, Unwira sedang membentuk Satuan Tugas (Satgas) anti kekerasan seksual di kampus. Sebab, kita harus mengakui bahwa Civitas Academica Unwira sangat rentan dengan kasus-kasus semacam ini dan memang sudah pernah terjadi di Unwira, meskipun belum tampak di permukaan karena mahasiswa/i belum berani dan takut untuk berbicara,” ungkapnya.

 

Salah satu hal yang dibuat Unwira untuk meminimalisasi atau mencegah kekerasan seksual, lanjutnya, ialah melarang dosen dan mahasiswa untuk melakukan bimbingan proposal, skripsi, dan tesis di rumah.

 

Sementara itu, selaku Pembicara Pertama, dengan mengutip definisi dalam Permendikbudristek pasal 1 ayat 1, Marleny Purnamasary Panis, S.Psi.,M.Si. mengatakan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan untuk melaksanakan Pendidikan Tinggi dengan aman dan optimal.




“Dampak psikologis kekerasan seksual ialah kecemasan, depresi, gangguan stres pasca trauma (PTSD), ketakutan, dan muncul keinginan untuk bunuh diri,” ujar Dosen Prodi Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Undana itu.

 

Menurut alumnus Universitas Indonesia itu, negara dan kampus terkait bertanggung jawab terhadap kekerasan seksual yang terjadi di kampus.

 

“Berdasarkan Behavioral Intervention Teams (BIT) Process, penanganan kekerasan seksual di kampus dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, yakni pertama, menerima ekspresi-ekspresi ungkapan keprihatinan, mengumpulkan informasi tentang mahasiswa/i, dan mendiskusikan perilaku yang menimbulkan kekhawatiran; kedua, menjaga kerahasiaan dan menangani semua masalah secara diam-diam; ketiga, memberikan konsultasi dan mendukung pihak fakultas dan para staf di kampus; keempat mengintervensi dan menghubungkan mahasiswa/i dengan sumber daya-sumber daya; kelima, mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah; keenam, membuat rekomendasi-rekomendasi tentang disposisi berdasarkan investigasi-investigasi yang mengikuti kebijakan perguruan tinggi; dan Mengoordinasikan tindak lanjut yang efektif,” tutur Marleny yang juga merupakan Pakar Psikologi Klinis.




Sementara itu, Ernesta Uba Wohon, SH., M.Hum., selaku Pembicara Kedua, mengatakan bahwa ada Undang-undang khusus yang mengatur masalah kekerasan seksual, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

 

“UU TPKS merupakan upaya pembaruan hukum untuk mencegah, menangani segala bentuk kekerasan seksual, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan seksual. Pembaruan hukum ini memiliki tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban,” ungkapnya.

 

Selain itu, lanjut Ernesta, dalam Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021, langkah pencegahan kekerasan seksual oleh kampus dilakukan melalui kegiatan pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.

 

“Langkah penanganan diwujudkan dalam empat langkah nyata berupa pendampingan terhadap korban, perlindungan korban, pemulihan korban secara fisik maupun psikis, dan pengenaan sanksi administratif kepada pelaku,” ujar alumnus Magister Hukum Undana itu.

 

Menurut Ketua Pusat Studi Hukum, HAM, dan Gender UNWIRA Periode 2012-2016 tersebut, Unwira dapat membangun gerakan menuju kampus bebas kekerasan seksual dengan cara melindungi dan meningkatkan martabat manusia dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran, dan berbagai pelayanan yang diberikan kepada komunitas setempat, nasional, dan internasional.

 

“Dalam Ex Cordae Ecclesiae, sebagai lembaga dengan identitas Katolik, tugas utama komunitas akademik adalah tugas kemanusiaan, yakni upaya untuk memperkuat kapasitas lembaga Perguruan Tinggi di bawah APTIK dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual adalah bagian dari tugas kemanusiaan: panggilan untuk melindungi dan meningkatkan martabat manusia,” pungkasnya.



Dalam sesi tanya jawab, David Lisu, mahasiswa Fakultas Ilmu Filsafat Semester VI, mengatakan bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan seksual. “Bagaimana cara kita mengantisipasi potensi kekerasan seksual?” tanya David Lisu.

 

Menanggapi pertanyaan David Lisu, Marleny mengatakan bahwa cara mengantisipasi potensi kekerasan seksual ialah dengan memperbanyak potensi pengembangan diri, seperti minat, bakat, dan kemampuan-kemampuan yang lainnya. (MDj/red)

 

(berita di atas juga dapat dibaca dan diakses di link https://unwira.ac.id/home/detail_berita/1579/pitp-unwira-selenggarakan-kuliah-umum--bertajuk-%E2%80%9Cbahaya-laten-dan-pencegahan-kekerasan-seksual%E2%80%9D


Post a Comment

0 Comments