Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MEMBANGUN LITERASI DARI DESA

 

(Foto: Ilustrasi konsep literasi)


CAKRAWALANTT.COM - Konsep tentang literasi memang selalu hangat untuk diperbincangkan. Literasi selalu dipandang sebagai jembatan utama dalam membangun peradaban bangsa melalui pengetahuan, keterampilan, serta penanaman karakter. Ketiga hal tersebut mampu mendorong proses pembangunan manusia di tengah peningkatan kapasitas infrastruktur dan sarana fisik lainnya. Keterkaitan antara literasi dan pembangunan manusia tentunya berpijak pada visi terciptanya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan mampu bersaing di tengah kemajuan global.

 

Di Indonesia, literasi telah menjelma menjadi gerakan nasional yang dimotori oleh pemerintah sejak tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Gerakan tersebut menjadi cahaya baru bagi proses pembangunan manusia di tengah hiruk pikuk seruan “Revolusi Mental”. Pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membentuk Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang bertujuan untuk memayungi, mewadahi, dan memfasilitasi semua gerakan (literasi), baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

 

Perwujudan budaya literasi merupakan hak dan kewajiban bagi semua pihak. Literasi pun kini dianggap sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus diimplementasikan dalam kerangka keadilan sosial. Dengan kata lain, literasi bersifat universal dan harus menyasar semua anak bangsa tanpa memandang latar belakang dan wilayah domisili. Untuk itu, gerakan literasi pun dianggap sebagai tugas kolektif yang dilaksanakan dalam semangat sinergisitas dan kolaboratif guna menjamah semua wilayah secara merata.


Salah satu kelompok masyarakat yang harus memperoleh asupan literasi secara seimbang adalah masyarakat pedesaan atau yang bermukim di daerah pelosok. Masyarakat pedesaan sering dipandang sebagai kelompok individu yang sering mengalami lambannya laju pembangunan. Padahal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah menerangkan bahwa proses pembangunan desa adalah hal yang wajib guna meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan demi kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri.

 

Upaya peningkatan literasi di daerah pedesaan juga pernah menjadi fokus diskusi dalam Simposium Nasional Gerakan Desa Membaca yang diselenggarakan oleh Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi) dan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada September 2021. 

Di dalam diskusi tersebut, terdapat sejumlah gagasan penting yang perlu ditindaklanjuti melalui kebijakan dan langkah nyata, antara lain : (1) perlunya sosialisasi kebijakan sebagaimana yang dimuat dalam Panduan Teknis  Pengembangan Kapasitas Literasi ke semua Kepala Dinas PMD kabaupaten/kota se-Indonesia; dan (2) memasilitasi pengembangan kapasitas literasi desa. Kedua hal tersebut penting perlu dilakukan sesegera mungkin agar masyarakat desa semakin menyadari pentingnya peningkatan kemampuan literasi sebagai upaya membangun masyarakat yang tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan (https://www.republika.co.id/).  

 

Bicara tentang konsep literasi tentunya tidak bisa terlepas dari aspek keaksaraan. Elizabeth Sulzby, seorang profesor pendidikan dari University of Michigan mendefinisikan literasi secara sederhana sebagai kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut, jelasnya, terdiri atas kegiatan membaca, berbicara, menyimak dan menulis. Singkatnya, Elizabeth memandang literasi sebagai sesuatu yang berhubungan erat kemampuan membaca dan menulis.

 

Namun, konsep dasar tersebut juga terbentur dengan realitas buta aksara di Indonesia. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, presentase dan jumlah penduduk buta aksara memang telah mengalami penurunan. Pada tahun 2019, presentase buta aksara di Indonesia adalah sebanyak 1.78% atau setara dengan 3 juta penduduk Indonesia. Sedangkan, pada tahun 2020, terjadi penurunan menjadi 1.71% atau sekitar 2.9 juta penduduk Indonesia. Penurunan tersebut tentunya harus dipertahankan demi mengentaskan jumlah buta aksara di Indonesia.

 

Dari data tersebut, bukan tidak mungkin bila masyarakat pedesaan juga termasuk di dalamnya. Untuk itu, penguatan literasi beserta pengentasan buta aksara harus diwujudkan dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Proses peningkatan dan penguatan literasi baca-tulis harus dimulai dari sisi internal masyarakat. Inisiasi untuk membudayakan kebiasaan membaca dan menulis harus dijadikan program kolektif dengan perencanaan yang visioner serta berpijak pada upaya pengentasan buta aksara.

 

Sebagai sebuah gerakan kolektif, peningkatan budaya literasi sebenarnya adalah tugas semua pihak, termasuk bagaimana mengentaskan angka buta aksara di tengah masyarakat. Masyarakat pedesaan juga harus merasakan implementasi nyata dari Gerakan Literasi Nasional, baik di dalam keluarga maupun lembaga pendidikan. Dalam hal ini, ada tiga elemen penting yang harus turut berpartisipasi di dalam gerakan tersebut, yakni figur aktor lokal, komunitas produktif, dan Pemerintah Daerah (Pemda).



Eksistensi aktor lokal adalah domain utama yang diperlukan dalam proses pengembangan dan peningkatan literasi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Aktor lokal adalah anggota masyarakat setempat yang dianggap memiliki kapasitas dan aksesibilitas yang mumpuni sebagai influencer (pendorong). Kehadiran aktor lokal sangat penting karena pengaruh kedekatan (proximity) yang ditimbulkan mampu mempersuasi masyarakat lokal dalam mengembangkan dan meningkatkan budaya literasi.

 

Kemudian, pihak berikutnya adalah komunitas. Menurut Sosiolog Jerman, Max Weber, komunitas secara sosiologis merupakan wadah penyaluran tindakan sosial individu yang bersifat subyektif untuk dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain melalui aksi sosial. Semua upaya yang dilakukan oleh komunitas bertujuan untuk mengadakan perubahan melalui pendidikan, propaganda, persuasi atau tekanan untuk mencapai tujuan yang dianggap baik oleh perencanaan sosial.

 

Terakhir adalah peran nyata dari Pemda. Sesuai dengan Undang-Undang Desa, masyarakat harus diberdayakan dan tentunya Pemda selaku pemangku kebijakan harus peka terhadap kebutuhan dan kondisi masyarakat desa sebagaimana tertulis, “Pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.” (Mario/Sorot Majalah Pendidikan Cakrawala NTT Thn IX/Edisi 98/2022)


Post a Comment

0 Comments