(Catatan
Reflektif & Kritik Diri Guru dari Perspektif Dialektika Socrates)
Oleh
: Sipri Kantus
(Staf
Pengajar di SMK Swakarsa Ruteng, Co-Author untuk Buku Setapak Literasi; Antologi
Tulisan Para Guru SMK Swakarsa)
CAKRAWALANTT.COM - Tema HUT PGRI ke-77 dan HGN ke-28 pada
25 November tahun 2022 adalah “Guru Bangkit, Pulihkan Indonesia:
Indonesia Kuat, Indonesia Maju.” Untuk saya pribadi sebagai guru, tema ini
boleh dipahami sekalian sebagai ajakan juga sebagai sebuah introspeksi. Melihat
ke dalam diri secara jujur, yang membawa
seorang guru pada pengakuan akan kekurangannya. Tentu, sebagai manusia biasa,
seorang guru memiliki beberapa hambatan dalam diri, yang karenanya ajakan untuk
bangkit guna memulihkannya menjadi relevan. Ajakan untuk memulihkan diri
sendiri dari halangan-halangan yang membuatnya enggan terbuka terhadap
perspektif-perspektif baru.
Saya menyebutkan antara lain dua
sikap sebagai guru yang perlu dipulihkan,
yaitu sikap pura-pura tahu semuanya dan
tidak mau tahu lagi. Dua sikap ini
dalam perspektif
dialektika Socrates adalah halangan terbesar untuk menjadi guru yang
berkarakter ‘murid’,- guru pembelajar sepanjang hayat. Menurut Socrates dalam
metode dialektikanya, aktivitas belajar-mengajar pertama-tama harus mengantar
seseorang untuk secara jujur menerima diri seperti terungkap dalam ungkapan “Saya tahu, bahwa saya
tidak tahu”.
Pada momen peringatan hari guru ini, ada baiknya kita belajar bersama Socrates
untuk menemukan inspirasi baru juga api semangat baru untuk mengabdi bagi
generasi penerus bangsa.
Belajar
dari Dialektika Socrates
Socrates dilahirkan pada tahun 470
SM di Athena. Ibunya seorang bidan
dan ayahnya seorang pemahat (Kleden, 2002). Metode mengajar Socrates lahir dari
adopsi kreatifnya atas profesi ayah dan ibunya. Dalam menjalankan kedua tugas
profesi itu, keduanya sangat membutuhkan kesabaran, ketekunan dan ketelitian. Dari
ayahnya yang seorang pemahat, Socrates belajar tentang kesabaran dan
kehati-hatian. Memahat terlebih dahulu adalah menghancurkan bagian-bagian
tertentu sebuah batu, lalu dengan penuh kesabaran dan ketekunan membentuknya
kembali sesuai dengan bentuk estetik tertentu yang diinginkan.
Itulah kehancuran positif,
kehancuran yang membangun. Karenanya, proses pengajaran (dalam konteks
filsafat) menurut Socrates adalah seni
membongkar, menyangkal atau menyanggah dan menyusun kembali sebuah pendapat
sehingga menjadi sebuah gagasan yang bisa diterima. Pembicaraan dan diskusi
gagasan dilakukan terus-menerus. Inilah proses dialog-interaktif yang terus
berulang, sebuah proses pembicaraan yang berkesinambungan yang disebut dengan dialektika atau Metode Socrates.
Sebagai sebuah metode mengajar,
dialektika Socrates melalui dua tahap penting. Tahap pertama disebut Elenchos/elenchoi yang berarti sangkalan
atau sanggahan. Tujuan sanggahan dan sangkalan adalah untuk menyadari
ketidaktahuan. Metode ini sama sekali tidak berarti menolak pendapat orang. Sebuah
gagasan perlu disanggah dengan maksud agar apa yang menjadi ilusi, asumsi ataupun
dugaan dibersihkan, dan bila perlu pembicaraan itu menggiring orang sampai pada
kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa dia tidak tahu atau banyak hal yang tidak diketahuinya.
Tahap kedua dalam metode mengajar
Socrates disebut dengan Maieutika Tekhne atau
Teknik Kebidanan. Teknik ini berpijak
pada pengandaian bahwa manusia siapapun dia mengandung dalam dirinya apa yang
disebut dengan kebenaran dan kemampuan. Potensi itu bisa berupa kemampuan
berpendapat baik, tapi potensi itu belum diaktualkan atau masih sebatas pikiran.
Untuk sanggup mengemukakan
pendapatnya, dia membutuhkan kehadiran orang lain sebagai penuntun, agar apa
yang dipikirkannya sanggup dituangkannya dalam suatu bentuk ide, gagasan atau
pendapat. Menurut Socrates, metode dialektika bisa diandaikan seperti peran seorang
bidan yang dengan penuh kesabaran dan
kehati-hatian menolong seorang ibu agar sanggup melahirkan bayinya dengan
selamat. Dengan itu, metode Socrates hendak menyanggupkan seseorang untuk
menyampaikan pendapatnya secara baik dan benar.
Peran
Guru; Meyakinkan Siswa tentang Ketidaktahuannya
Dari pembedahan tentang metode dialektika
berikut tahap-tahapnya, ditemukan bahwa upaya dasar terkait pencarian akan
pengetahuan adalah membawa partner
bicara kita (baca: murid) sampai kepada kesadaran akan ketidaktahuannya.
Masalah ini tidak bisa dianggap sepele, karena berbagai alternatif solusi yang
hendak ditawarkan untuk pemecahan sebuah masalah mengandaikan kesadaran dan
kejujuran untuk mengakui ketidaktahuan. Ibarat seorang sakit yang membutuhkan
penyembuhan, dia harus menunjukkan luka atau rasa sakitnya kepada dokter untuk
didiagnosis, untuk kemudian diberikan obat.
Sejalan dengan pengobatan luka,
penyakit ketidaktahuan juga perlu dibongkar. Subyek yang membongkar
ketidaktahuan adalah guru dengan metode dialektika atau pembicaraan. Penekanan
pada metode dialektika bermaksud agar seorang guru keluar dari godaan
rutinitasnya sebagai petugas transfer ilmu, sebab guru sebenarnya bukan bank ilmu. Dialektika membebaskan
keduanya baik guru (tukang transfer) maupun murid (penerima pasif).
Dengan dialektika, seorang guru dibebaskan
dari sekedar menjalankan tugas mengajar yang terkesan rutinitas-formal menjadi komunikator
yang handal, teman dan partner
bicara. Sementara itu, dengan dialektika, seorang murid juga dibebaskan dari
pasifitas sebagai pendengar menjadi subyek yang aktif dan terlibat. Dengan
demikian, dialektika dengan rupa-rupa pertanyaan dan saling sanggah menjadikan
sebuah situasi pembelajaran menjadi lebih interaktif.
Siswa-siswa kita boleh jadi berada
dalam perangkap ketidaktahuan; “Seolah-olah tahu atau tidak menyadari
ketidaktahuannya.” Kepura-puraan seperti itu kerap menciptakan sebuah “kelas semu” dengan ‘litani setuju’
dan ‘seribu anggukan’ atas apa yang diajarkan guru. Situasi ini perlu
dijernihkan dengan sebuah dialektika. Sifat semu dan seolah-olah perlu dihadapkan pada sangkalan
atau sanggahan. Sanggahan diperlukan untuk menginterupsi salah kaprah yang
dianggap biasa dan mapan. Salah satu contoh kemapanan dan salah kaprah itu
berkaitan dengan penghayatan terhadap sebuah aturan.
Jamak fakta tentang aturan yang
sering tidak diindahkan menimbulkan anggapan atau asumsi bahwa “aturan memang untuk
dilanggar.” Asumsi ini bisa disanggah dengan beberapa pertanyaan, “Benarkah aturan untuk
dilanggar?” “Bukankah
aturan dibuat untuk menjamin sebuah keteraturan?” atau bisa juga sanggahannya
berupa sebuah bantahan tanpa tedeng aling-aling, “aturan bukan untuk dilanggar,
titik!” Lantas, aturan sebenarnya untuk apa?
Lihat bahwa pernyataan yang
dibantah, pun bantahan atas bantahan, berkelindan dalam suatu proses yang
dialektis. Dalam proses ini, selain diajak berpikir untuk menemukan jawaban
yang lebih hakiki, seorang peserta didik juga masuk dalam proses pemurnian atau
penjernihan atas asumsi-asumsi dan salah kaprah tentang sebuah aturan. Dengan
pengetahuannya, seorang guru lalu menegaskan beberapa hal terkait aturan
(sekedar menyebutkan beberapa).
Pertama,
manusia punya kecenderungan kodrati pada keteraturan. Kedua, manusia pada dasarnya hidup dalam batas-batas norma. Ketiga, manusia yang menolak hidup dalam
aturan sebenarnya hidup dalam kebohongan. Dengan ini, untuk sementara asumsi
tentang “aturan untuk dilanggar” terjawab. Namun, tetap saja menyisakan
kebingungan atau sekurang-kurangnya keraguan tentang keteraturan itu adalah
hakikat manusia bila dibenturkan dengan fakta “semakin banyak orang tidak taat
pada aturan.”
It’s
ok, sebab keraguan adalah salah satu
tujuan dialektika agar upaya mencari pengetahuan tidak terhenti. Dialektika
akan terus hidup jika guru dan murid tidak berhenti bertanya dan saling
membantah, karena sejatinya sebuah dialektika mengandung sebuah hakikat pencarian
yang tidak pernah selesai.
Dari perspektif dialektika
Socrates, tugas guru pada tempat pertama bukanlah pemberi jawaban, melainkan
sebagai pembantu atau rekan yang membuka dan menunjukkan jalan kepada
pengetahuan. Dengan dialektika, seorang guru meyakinkan muridnya untuk
menyadari ketidaktahuannya atas sesuatu. Bagi Socrates, pengetahuan dasar
manusia itu terutama adalah kesadaran akan ketidaktahuannya. Ungkapan terkenal
dari Socrates adalah “saya
tahu, bahwa saya tidak tahu.”
Pengetahuan serta pengakuan akan
ketidaktahuan merupakan karakter dari individu yang rendah hati, jujur,
menyadari dirinya telanjang atau kosong. Karakter demikian memungkinkan seorang
individu untuk selalu belajar dan bersedia membuka diri untuk menerima serta diisi
dengan pelbagai perspektif baru.
Bukan
Semata Kurikulum, Tetapi Guru juga Perlu Jujur!
Aplikasi dialektika Socrates pada
satu sisi tidak terbatas seputar geliat seorang murid. Pada sisi yang lain, hemat
penulis, ungkapan “saya tahu, bahwa saya tidak tahu” seharusnya berlaku juga
untuk seorang guru, sebab dialektika menempatkan guru pun muridnya sejajar
sebagai dua rekan dengan hakikat ‘pencari.’ Karenanya, melalui ungkapan itu, Socrates
sebenarnya juga menantang sekaligus menggugat sikap ilmiah dan akademik seorang
guru. Ungkapan itu mau mengatakan lebih jauh bahwa seorang guru juga hendaknya mengambil
posisi sebagai “murid.”
Tentu, agar dialektika tidak putus,
guru harus berkarakter murid. Guru berkarakter murid sekurang-kurangnya memperhatikan
dua hal ini. Pertama, hindari sikap
“pura-pura tahu” semuanya. Kepura-puraan adalah karakter semu yang
menyembunyikan kekurangan dan ketidaktahuan. Seorang guru dengan karakter
sekian akan menjadi halangan bagi sebuah proses dialektika sebab ia akan
mendominasi pembicaraan. Ia kemungkinan tidak peduli dan bahkan juga enggan terlibat
dalam pembicaraan apalagi dibantah atau disanggah dengan argumentasi tertentu
oleh muridnya.
Kedua,
hindari sikap “tidak mau tahu lagi”. Sikap “tidak mau tahu
lagi” adalah gambaran dari
karakter individu yang berhenti belajar. Baginya, puluhan tahun di sekolah sampai
memperoleh gelar akademiknya kini, telah cukup untuk menjawab semuanya. Guru
seperti ini sudah menutup diri terhadap dinamika yang terus berjalan. Dia
sedang mengingkari waktu yang mempunyai sifat khas yaitu perubahan. Dialah individu
yang hanya bertahan dan terpukau pada romantika masa lalu (status quo). Dengan itu, dia menghambat pencarian pengetahuan baru,
sebab dia tertutup untuk menerima bantahan atau sanggahan yang ditiupkan oleh
angin perubahan.
Di penghujung ulasan ini, sekali
lagi saya mau katakan bahwa dialektika Socrates sebenarnya juga menggugat guru
(saya) untuk melihat diri secara jujur. Meski kita membutuhkan bantuan tutor
yang hebat, tetapi percayalah seorang guru tidak sepenuhnya bisa dirubah oleh
sebuah trend pergantian kurikulum.
Guru perlu regulasi untuk sebuah ruang gerak yang merdeka, namun guru yang
inovatif, kreatif, kritis, inspiratif dan lain-lain seperti yang dikehendaki
kurikulum itu akan terpenuhi manakala seorang guru bersedia untuk terus belajar;
Belajar dan mencari, yang lahir dari kesadaran, kejujuran dan pengakuan: “saya
tahu, bahwa saya tidak tahu.” (red)
0 Comments