(Catatan Awal Menjelang Hari Guru Nasional)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil.
CEO Media Pendidikan Cakrawala NTT
CAKRAWALANTT.COM - Aku terbiasa bangun pagi. Sejak di
bangku SMP. Untukku, pagi itu selalu bikin asyik. Tidak seperti sore yang hadir
hanya untuk menunggu gelap. Jika kemudian ayam senang berkokok (berkotek)
bersama burung yang suka bernyanyi, maka itulah bukti nyata kalau pagi itu
memang asyik. Renungan rohani “daily fresh juice” dari aplikasi e-Katolik menambah teduhnya suasana di setiap
pagiku. Tuhan dan semesta sealalu menyapaku. Saat ini, pagi adalah alasanku
untuk boleh terlelap di malam hari. Meyakini satu hal bahwa besok pagi nafasku
tetap berhembus dan memuji kebesaran-Nya.
November bersemi dan dengan lembut
meninggalkan Oktober yang manis, teduh dan kadang bikin geli. Menyalakan lilin
dan berdoa sembari membangkitkan kenangan bersama sanak keluarga yang telah
dipanggil Tuhan adalah caraku mengawali November ini. Di ini titik ada
kesadaran utuh dalam diri tentang kehidupan ini sebagai bentuk peziarahan kalau
enggan menyebut sebagai panggung sandiwara. Tugasku hanya satu. Meyakinkan diri
bahwa di jalan ini tidak ada yang abadi di bawah matahari. Semuanya bakal
menjadi kesia-siaan belaka. Dengan demikian, aku dan pagiku memiliki peluang yang
sama untuk ditelan sang malam. Maka, pagiku yang sekarang bakal menjadi pagi
yang lain di suatu titik nanti.
***
Jika Oktober itu “Bulan Bahasa”, maka November
adalah “Bulan Pahlawan”. Sepuluh November merupakan hari pahlawan yang
diperingati setiap tahunnya. Hal ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 316
Tahun 1959 Tentang Hari-Hari Nasional Yang Bukan Hari Libur Nasional dan
ditandatangani Presiden Soekarno. Diketahui pada tanggal 10 November 1945
tepatnya di Kota Surabaya terjadi pertempuran sengit antara Tentara Indonesia
dengan pasukan Inggris. Pertempuran ini menjadi pertempuran pertama pasukan
Indoensia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Diperkirakan 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban dan sebagian besar adalah
warga sipil. Kini, Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Cerita tentang peristiwa 10 November
1945 tentunya terasa biasa bila diceritakan kembali dalam konteks saat ini.
Gambaran tentang sosok pahlawan yang siap bertempur hanya dengan mengandalkan
bambu runcing dalam pekikkan kata “Merdeka!” bisa saja perlahan pudar dan
terasa biasa. Bahkan, di antara beberapa anak milenial, cerita itu semacam
legenda tua. Apakah itu benar-benar
terjadi atau semacam strategi yang “diciptakan” untuk memperkuat rasa
patriotisme?. Semuanya kembali dipertanyakan. Membayangkan kondisi ini,
maka Ir. Soekarno mewanti-wanti dalam pesan agar jangan sesekali melupakan
sejarah. Sesungguhnya, bangsa ini berdiri kokoh dari keringat dan darah para
pahlawan bangsa.
Entah secara kebetulan atau memang “didesain”
demikian, peristiwa hari pahlawan 10 November berada dalam bulan yang sama
dengan Hari Guru Nasional (HGN) di tanggal 25 November. Terpaut 15 hari dari
tanggal 10 menuju 25 Desember. Di lima belas hari ini, mari kita pakai untuk
berefleksi sekaligus membentangkan benang merah yang kokoh agar dua peristiwa
ini memiliki alur cerita yang searah dan seirama. Pahlawan itu mengorbankan
dirinya untuk sebuah kata “merdeka” dan atau bebas (mandiri). Lima belas hari
ini adalah jalan menuju satu defenisi yang tepat bahwa pahlawan itu berasal
dari satu sikap untuk berdiri di atas kaki sendiri. Pahlawan itu adalah dia
yang seperti matahari. Memberi dan tak mengharapkan kembali. Pahlawan itu
adalah kita yang ingin ada dan berarti untuk yang lain.
Jika kemudian guru disebut sebagai
pahlawan “tanpa tanda jasa” mendapat jawabannya dalam konteks ini, maka guru
adalah dia yang ingin seperti lilin. Menerangi orang lain dengan cara
meluluhkan diri hingga selesai dan tuntas. Situasi di 10 November 1945 begitu
genting dan menakutkan, adakah situasi itu terasa (dirasakan) dalam dunia
pendidikan kita saat ini? Mari kita identifikasi, refleksi dan bersama benahi.
Pada tulisan sebelumnya, saya menulis
“Rapor Pendidikan Kita Buram, Seharusnya Kita Resah” adalah bagian dari situasi
genting dan menakutkan itu. Di situasi ini, guru si pahlawan tanpa tanda jasa
itu bisa saja dituduh sebagai penyebab rendahnya mutu pendidikan walau lelah
dan keringat mereka kadang dilupakan. Masyarakat (orang tua murid) kadang
berlaku dan berpikir tidak adil untuk guru dengan menyerahkan tanggung jawabnya
mendidik anak ke tangan guru. Padahal mengajar dan mendidik itu adalah dua hal
yang harus beda.
Tugas mendidik seharusnya lebih banyak
menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua. Tahu kenapa? Karena sebagian waktu
seorang anak itu berada di luar sekolah. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Maka tidak heran, ketika anak itu berprestasi dan berkelakuan baik, maka akan
ditanya, “Itu anak siapa””. Sebaliknya, kalau ada anak yang lemah berpikir dan
berkarakter buruk, pasti bakal ditanya Anak itu sekolah dimana?”, “Siapa guru
dan atau Kepala Sekolahnya?”. Mungkinkah guru tabib yang terluka (dilukai) dan
selalu berjuang membalut luka-luka itu karena ada sekian banyak yang terluka
(dilukai) yang harus disembuhkan.
Sementara itu, si guru berjuang untuk
meningkatkan kompetensi di tengah usaha untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Guru yang adalah pahlawan tanpa tanda jasa itu memikul banyak tanggung jawab di
pundaknya. Maka tidak heran, banyak guru harus berjalan dua kaki. Mencari penghasilan
tambahan di luar jam sekolah dan kadang-kadang harus mengorbankan peserta
didik. Guru itu dituntut agar professional di tengah minimnya dukungan terhadap
upaya peningkatan profesionalisme guru.
Kondisi ini semakin runyam ketika si
guru enggan untuk keluar dari zona nyaman dan merasa lebih “senior”, sehingga
sulit mengikuti arus perubahan zaman. Semisal, dalam proses Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) masih asyik mengunakan metode ceramah. Peserta didik selalu
dianggap sebagai kertas kosong yang tidak tahu apa-apa. Selain itu, dikotomi
antara guru PNS dan honor masih sangat terasa. Belum lagi, posisi jabatan
kepala sekolah misalnya tidak dilihat dari sisi prestasi tetapi berdasarkan
pertimbangan politis semata. Oleh karena itu, ada beberapa catatan lepas yang
bisa dijadikan bahan refleksi di bulan pahlawan ini.
Pertama, bebaskan guru dari satu
anggapan bahwa mereka (guru) adalah tabib yang bisa menyembuhkan sekian banyak
jenis penyakit. Orang tua harus memiliki tanggung jawab penuh dalam hal mendidik
anak-anak. Tidak boleh serahkan sepenuhnya pada sekolah. Berbicara tentang tata
krama, sikap saling menghargai, dan sebagai harusnya dimulai dari rumah. Orang tua
harus memiliki kebiasaan positif di rumah, seperti doa bersama, saling
menghargai, peduli dan empati. Kesibukan bekerja hendaknya tidak bisa menjadi
alasan dalam hal tanggung jawab mendidik anak. Biarkan para guru fokus untuk
menanamkan pengetahun dan ragam keterampilan pada peserta belajarnya.
Kedua, guru harus merasa diri diri
sebagai “pahlawan”. Seorang yang mau dan siap melakukan apa saja untuk kebaikan
generasi bangsa. Motivasi menjadi guru harus dimurnikan sehingga berorientasi
tunggal, yakni dedikasi dan kompetensi. Siap untuk ditugaskan dimana saja dan
menanggung resiko sebagai konsekuensi praktis dari keputusannya menjadi guru.
Selain itu, usaha untuk terus meningkatkan kompetensi diri sebagai guru
profesional harus selalu diutamakan. Tunjangan sertifikasi guru saatnya perlu
dievaluasi kembali. Koin dan poin hendaknya berimbang. Hemat saya, tunjangan
sertifikasi seharusnya lebih banyak diperuntukan untuk meningkatkan komptensi
guru dalam ragam kegiatan atau pengadaan sarana penunjang, seperti pembelian
buku, laptop dan lain-lain.
Ketiga, bebaskan guru dari satu politik
praktis. Semisal, mengangkat kepala sekolah harus berdasarkan pertimbangan
rasional dan profesional. Bukan berdasarkan pertimbangan kedekatan, belas kasihan,
atau pertimbangan suka atau tidak suka. Kiranya program Guru Penggerak yang
sedang digalakkan pemerintah direspon Pemerintah Daerah (Pemda) dengan payung
hukum yang pasti semisal yang berhak menjadi kepala sekolah atau pengawas
adalah para Guru Penggerak. Dengan demikian, para manager sekolah bukan karena
dia “orangnya” Bupati atau Walikota. Selain itu, sanksi tegas diberikan kepada
para guru yang bermetamorfosis sebagai “tim sukses” dari calon pemimpin atau
partai tertentu.
Keempat, mengapresiasi prestasi dan
pengabdian guru dalam satu bentuk seperti hadiah atau bentuk penghargaan
lainnya. Jangan lagi menjadikan guru sebagai “kuda tunggangan”, “sapi perah”
atau “kambing hitam”. Guru adalah pembawa obor yang menerobos lorong-lorong
kebuntuan berpikir generasi. Ucapan terima kasih dan atau profisiat adalah
bagian dari sikap hormat terhadap jasa besar seorang guru.
***
November bersemi bersamaku yang ingin
terus berjalan. Menerobos jalan sunyi literasi di NTT. Di ini November,
tepatnya di tanggal 23, biduk kecil bernama “Cakrawala NTT” menemui usianya
ke-9. Aku (kami) berjuang mengalirkan serpihan makna dari kata pahlawan dan
guru. Ada keyakinan tunggal bahwa tidak ada cara yang paling cerdas dan
bijaksana untuk merubah garis nasib daerah ini selain melalui pendidikan.
Literasi adalah jalannya. Kami (kita) adalah sahabat para pahlawan tanpa tanda
jasa itu. Bersama pagi kita hadir agar tidak lekas menjadi petang untuk
menyiapkan barisan generasi muda yang cerdas-berkarakter.
Akhirnya, selamat datang November. Guru
itu memang bukan orang hebat, tetapi banyak orang hebat datang dan dibentuk
oleh seorang guru. Tugasku masih tunggal untuk tetap menjadi sahabat setiap
para penggerak literasi itu. Para guru harus bernafas dalam kata dan memekikkan
kata “merdeka” dalam satu cara kepada anak didiknya. Para guru harus hadir
sebagai pahlawan untuk membebaskan dirinya sendiri dan membawa peserta didiknya
ke satu titik kesadaran yang utuh bahwa masa depan bangsa ini ada di tangannya.
Tetaplah menjadi obor, guru-guruku. Mari kita sambut November ini dengan penuh
rasa bangga sembari menata pikiran agar tetap profesional sehingga layak untuk digugu dan ditiru. (MDj/red)
0 Comments