(Menyoal Rapor Mutu Pendidikan)
Oleh : Alexandra Taum,
S.Pd
(Guru
SMA Seminari St. Rafael Kupang)
CAKRAWALANTT.COM - Perkembangan teknologi semakin
pesat. Penduduk dunia seharusnya ikut beradaptasi dari generasi ke generasi. Menyongsong
generasi emas 2050, generasi kita,
terutama yang akan menempati posisi strategis untuk memimpin bangsa pada masa itu, hendaknya
mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tak pelak persiapan itu harus disemai sejak
dini. Tahukah
Anda, seorang teman pernah berkelakar,
“Sekarang baru 2022,
mengapa kita harus repot-repot
memikirkan tahun yang mungkin kitapun tidak sampai pada masa itu?”. Hal
itu pun menjadi tamparan keras bagi kita bila menganggap remeh
hal ini. Bagi sebagian
orang, mungkin tidak begitu
penting, tetapi
ini menjadi cambuk bagi dunia pendidikan, khususnya para guru.
Pada tahun 2050 mendatang atau
sekitar 28 tahun lagi, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu 70% penduduk
Indonesia dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan
penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun)
pada periode tahun 2020-2050. Jika tidak dipersiapkan secara baik, maka
generasi yang merupakan bagian dari
bonus demografi akan ketinggalan. Mengapa demikian? Saat ini
krisis ekonomi tengah melanda negara-negara di seluruh belahan dunia dan menyebabkan banyak
penduduk mengalami kesulitan ekonomi.
Inilah titik krusial yang harus
diantisipasi oleh semua
negara, termasuk Indonesia. Dampak dari
tidak diperhatikannya aspek pendidikan bisa menurunkan hasrat berliterasi.
Masalah yang terjadi saat ini adalah minimnya budaya membaca sejak dini, sehingga menjadi keprihatinan
bagi dunia pendidikan. Hal itu juga
terjadi pada lembaga pendidikan calon imam, SMA
Seminari St. Rafael Kupang, yang sudah
berdiri selama 38 tahun dan sekurangnya hampir
ratusan imam telah ditetaskan
dari lembaga tersebut.
Pada kenyataannya,
lembaga pendidikan calon imam tersebut justru
masih mengalami dehidrasi literasi. Tahun (2022)
ini,
rapor mutu sekolah yang tercatat terakreditasi A pada tahun 2019 tersebut justru mengalami
kemerosotan. Tersorot, dapur literasi menjadi titik lemahnya sekolah ini. Banyak
hal yang perlu dibenahi, baik
dari pendidik, tenaga pendidik, dan peserta didik. Kecenderungan akan
memprioritaskan setumpuk administrasi ketimbang memperbaiki kinerja adalah
kesalahan fatal yang merusak mutu sekolah. Pendidik dan peserta didik perlu
memikirkan tindak lanjut jangka panjang untuk masalah ini.
Selain kurangnya minat baca siswa,
kurangnya sumber bacaan di perpustakaan dapat menjadi pemicu gagap literasi di
sekolah. Para stakeholder
perlu memikirkan ketersediaan sumber
bacaan yang baru setiap hari bagi para
siswa. Perpustakaan yang seharusnya menjadi sumber
inspirasi justru menjadi tempat kontemplasi tak berarti. Kurangnya sarana akses
internet menjadi pemicu ketertinggalan informasi bagi anak. Mading sekolah seolah
hanya tempat sampah kata-kata
hasil plagiat yang entah dari mana.
Bagaimana
Cara Menyemai Benih Literasi Agar Tak Mati?
Pertarungan dalam dunia pekerjaan
pada tahun emas bonus demografi 2050 (28
tahun mendatang)
tentu menjadi tanggung jawab negara untuk meletakkan berbagai kebijakan yang
mengantisipasi perkembangan yang sangat pesat tersebut. Lembaga pendidikan berdiri sebagai
mitra pemerintah untuk mewujudkan cita-cita demi
menjadikan insan Indonesia yang berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Lalu mengapa masih ada sederet pernyataan sinis “Masih 28 tahun lagi kok”. Padahal, penyemaian benih literasi tersebut harus dilakukan sejak
dini, sebab kalau bukan kita siapa
lagi? Kalau bukan sekarang
kapan lagi?
Kurangnya bahan bacaan dan praktik
literasi dinilai sebagai faktor rendahnya literasi di sekolah. Menanggapi
persoalan-persoalan
di atas, ditawarkan beberapa solusi yang sekiranya dapat memantik hasrat
persemaian benih literasi di sekolah. Banyak orang yang bisa membaca, tetapi tidak semua orang
terbiasa membaca. Hal pertama yang dapat dilakukan terkait masalah tersebut
adalah sekolah perlu menerapkan
kebijakan pemerintah,
yaitu membiasakan membaca selama 15 menit setiap hari. Hal ini dapat merangsang
perkembangan minat baca anak.
Tidak hanya itu, membiasakan diri untuk
membaca kurang lebih 15 menit perhari dapat memperpanjang umur seseorang. Bukan
seberapa banyak buku yang dibaca, melainkan seberapa banyak buku yang dipahami.
Semua orang bisa membaca, tetapi
tidak semua orang dapat memahami isi bacaan tersebut.
Kedua,
perbaikan mutu sekolah juga dapat dilakukan dengan cara membuat pengelompokan
terhadap kualitas guru dan siswa. Siswa yang berprestasi diberikan penghargaan, dan
demikian juga guru. Guru harus menjadi contoh bagi
siswa, bila guru dapat menulis, maka siswa akan
terinspirasi untuk menulis. Bagaimana
bila siswa lebih pintar
menulis dari pada guru? Sehebat apapun guru, kalau tidak dapat menulis, akan terhambat pada
prestasinya.
Ketiga, membuat pojok bacaan di
setiap kelas dan mewajibkan
siswa membuat resensi terhadap hasil bacaan yang dipahami sekurangnya 3 sampai
5 buku perminggu. Melakukan kegiatan literasi paling dasar adalah dengan membaca
kemudian meringkas isi bacaan.
Hal ini tentu dapat memancing kreativitas siswa dalam
berliterasi.
Selain itu,
terdapat pula kecenderungan siswa
terlalu nyaman dengan bacaan fiksi,
seperti cerpen, novel, dan bahkan
novel dewasa. Untuk itu, cobalah
dengan membaca tulisan ilmiah yang sekiranya dapat menambah informasi.
Keempat, menanggapi isu terkait
kurangnya ketersediaan bahan bacaan dapat dilakukan dengan menggalang buku dari setiap alumni. Berbagi
tidak melulu soal uang atau barang baru. Tidak harus berpunya untuk bisa
berdonasi. Para alumni sekolah dapat mendonasikan buku minimal 3 bagi para siswa. Bayangkan, bila setiap alumni
menyumbang 3 buku, perkara miskin sumber bacaan tidak akan dialami oleh
sekolah.
Kelima, mengunjungi Sekolah
Penggerak. Kesadaran akan minimnya minat baca dapat ditempa dengan cara
mengunjungi Sekolah Penggerak.
Hal ini dapat memotivasi sekolah untuk mengubah sistematika
pendidikan.
Keenam, daya tarik akan
minat baca dipengaruhi oleh kenyamanan perpustakaan itu sendiri. Pengelola
perpustakaan perlu memerhatikan aspirasi siswa sehubungan dengan hal itu.
Perpustakaan adalah gudang ilmu pengetahuan, dengan demikian penataan ruang menjadi
titik krusial tempat bertumbuhnya ilmu pengetahuan.
Ketujuh, permasalahan mengenai mading
sekolah. Dalam
hal ini, perlu adanya agenda pertukaran mading
setiap sebulan sekali dengan memerhatikan kritik dan saran dari para pembaca. Pembina
OSIS perlu memerhatikan proses penerbitan mading yang kemudian ditukar kepada
sekolah lain untuk dinilai.
Sebelum diterbitkan, lakukan revisi secara berkala, bedah
tulisan siswa, dan bila tidak memenuhi
syarat, kembalikan. Tulis lagi. Lakukan hal yang sama setiap kali penulisan buletin.
Jika hal ini rutin dilakukan, siswa akan cakap literasi.
Sebagai bentuk aktualisasi
persemaian benih literasi di sekolah, dibutuhkan komitmen dan kerja sama yang
baik dari semua pihak. Dengan demikian,
kesadaran akan pentingnya berliterasi tidak harus menunggu tahun 2050. Menyemai
benih literasi pada anak sejak usia dini, khususnya bagi
generasi Gen Y dan Gen Z, yang
pada tahun 2050 memasuki usia produktif, semestinya menjadikan literasi sebagai sebuah kebiasaan
sehingga membentuk budaya sejak kecil. Oleh
karena itu,
sangat penting diperkenalkan sejak dini agar bertumbuh dan berkembang, serta beradaptasi
sesuai perkembangan jamannya. Inilah tugas yang seharusnya melekat pada
lembaga-lembaga pendidikan untuk memulai tugas menyemai budaya literasi. (MDj/red)
1 Comments
Mantap tulisannya sangat menarik🙏
ReplyDelete