Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MENGENANG JANJI

(Puisi-puisi Peserta Didik SMA Seminari St. Rafael Kupang) 


(Foto: Ilustrasi Janji)



MENGENANG JANJI

Puisi Pedro Henakin

 

Hai janji,

masihkah kau ingat kapan kau terucap?

Mungkin usiamu sepanjang nafasku,

ataukah,

mungkin setebal bibirku.

Aku ingat memori tentangmu,

tentang bagaimana kau terucap

di atas genangan dara.

Dia tas sumpah seribu nyawa,

tapi apa yang akbar dari lautan mayat itu?

Berbaris sparatis berburu susu dan madu,

berbingkai komunis masih menjilat tanah negri ini.

Apakah ini genangan dara itu?

Apakah ini sumpah seribu nyawa itu?

Aku tak tahu dimana letak dalangnya.

mungkin di antara dasi ras berdasi,

ataukah diri kita yang memetik perlahan helaian bulu garuda.

Untuk kisah ini,

apa gunanya blankon itu?

Apa gunanya bhineka itu?

Seraya Garuda tak berbulu,

lebih bahagia dijajah si kulit putih,

daripada membunuh sesama merah-putih.

 

SENJA SANG PELAUT

Puisi Yuda Giri

 

Aku. . .

Pelaut di senja hari.

Di bibir pantai aku berdiri

berusaha mengamati lautan.

Para teman pelautku telah pulang,

dengungan mesin perahu memacu kecepatan

berlomba-lomba mengejar senja di ujung pelabuhan

yang hampir ditelan kalbu malam.

 

Seketika aku dikagumi

oleh senggok tubuh yang cantik

yang berusaha beradu dengan senja

dengan hitam panjang rambutnya

dibelai oleh angin senja

hingga bergerak ke kiri dan ke kanan

bak gelombang laut yang berarus.

 

Aku mulai melangkah mendekati

meninggalkan jejak di atas butiran pasir.

Berharap mendapatinya di sana,

namun tak kutemukan senja cantik itu.

Dia pergi tanpa seberkas jejak.

Apakah kau ditelan senja?

 

Nyatanya aku yang bodoh.

Kerinduan telah menempatkan aku

ke atas ilusi yang tinggi akan kekasihku

yang telah lama pergi ditelan waktu.

 

Kini aku terperangkap dalam harapan.

Aku merindukan kehadiranmu, kekasihku.

Kembalilah kekasihku!

Kembalilah!

 

Sebelum angin senja berhembus

dan bayang-bayang menghilang,

kembalilah kekasihku!

 

TENTANG CINTA

Puisi Hironimus T. Diaz

 

Tentang cinta. . .

Engkau bagai bintang

yang bercahaya indah

menerangi setiap hidupku.

Apakah masih ada makna?

Pada butiran-butiran kenangan

kini engkau telah tiada.

 

Entahlah. . .

Kini kusadari

bahwa cinta yang sesungguhnya

adalah mengikhlaskan tanpa luka.

 

STUDI PERTAMA

Puisi Luksan Soera

 

Senja, akhirnya lonceng terdiam usai berceramah.

Nampak semua telah tiba dikelas.

 

Tugas sekolah membanjiri list-ku.

Kubunuh mulai dari yang waktu kumpulnya paling dekat.

 

Yang lain? Mungkin Sibuk.

Sibuk membantai tugas-tugas,

atau juga sibuk memakan novel di bawah meja.

 

“Frater, we... Frater, we,” seruan teman berbisik tegas.

Seketika novelpun tak berbekas.

“Ternyata semuanya rajin belajar, ya,” ujar Frater

sambil memegang novel-novel hasil sitaan.

 

MISA PAGI

Puisi Santiago P. T. Huller

 

Dentungan lonceng menggema di telingamu.

Kau terbangun dari mimpi indah diatas ranjangmu.

Matamu yang sayup-sayup, mengiringi langkahmu

yang terburu-buru dengan berat.

Air dingin menyadarkan matamu.

Pakaian kuning biru terpampang rapi di badanmu.

Veni Creator menjadi awal harimu.

Ketika terduduk diam, pikiranmu melayang,

kelopak matamu turun tak memberi isyarat.

Tiba-tiba, terdengar bunyi di telingamu,

“Jangan tidur!” kata temanmu.

Kau terkesap, menatap altar yang masih sunyi.

Niatmu ingin menutup mata lagi,

tapi lonceng altar terdengar dari belakang

tanda misa pagi akan dimulai.

“Andai tidak misa pagi hari ini,” pikirmu.

 

RUANG HAMPA

Puisi Theodorus Charel Baz

 

Kesunyian menggema meneteskan derai kesepian,

memusnahkan nada yang kini tak berbunyi.

Kebahagiaan sirna seakan ditelan sang penyamun

hingga tak sedikitpun alunan melodi yang terdengar.

Hanyalah kesunyian yang meredam menandakan kehampaan.

 

Sunyi senyap kini terekam oleh reklama CCTV,

mengulas akan kesunyian ruangan itu.

Seandainya seutas tali-temali dapat dilemparkan,

maka kehampaan ruang itu berlabuh ke pelataran keramaian.

 

Namun, kini ruang itu tak lagi berpanorama.

Kesunyian kian marak memanjatkan

seuntaian kekosongan ruang itu.

Warna-warni tembok ruang itu kini berbalur cat kehampaan,

Membawa dalamnya ruang itu

menjadi resah tak bertara

akan kelamunan kehampaan ruang itu.

 

SEPATU

Puisi Paulus Milik

 

Kusisikan kaki telanjangku

pada penghalas telapak baru,

pelindung surga kecilku,

dari tanah dan debu

bekas para pendosa tak tahu malu

yang telah mencumbu negeriku

dengan kerakusan dan keserakahan paling candu.

 

SENGSARA SANG KHALIK

Puisi Johanes P. N. Jemarut

 

Engkau hanya bisa pasrah,

hanya bisa berlutut dan berdoa.

Begitu besar beban yang Engkau pikul,

Begitu pahit cawan yang Engkau teguk,

Sedangkan, kami hanya bisa duduk dan meringkuk.

 

Kami hanya bisa melihat

saat Kau dipukul pada palang penghinaan,

saat Kau diludah dan dicela

bagai insan yang paling hina.


Post a Comment

0 Comments