(Puisi-puisi Peserta Didik SMA Seminari St. Rafael Kupang)
(Foto: Ilustrasi Janji) |
MENGENANG JANJI
Puisi Pedro Henakin
Hai
janji,
masihkah
kau ingat kapan kau terucap?
Mungkin
usiamu sepanjang nafasku,
ataukah,
mungkin
setebal bibirku.
Aku
ingat memori tentangmu,
tentang
bagaimana kau terucap
di
atas genangan dara.
Dia
tas sumpah seribu nyawa,
tapi
apa yang akbar dari lautan mayat itu?
Berbaris
sparatis berburu susu dan madu,
berbingkai
komunis masih menjilat tanah negri ini.
Apakah
ini genangan dara itu?
Apakah
ini sumpah seribu nyawa itu?
Aku
tak tahu dimana letak dalangnya.
mungkin
di antara dasi ras berdasi,
ataukah
diri kita yang memetik perlahan helaian bulu garuda.
Untuk
kisah ini,
apa
gunanya blankon itu?
Apa
gunanya bhineka itu?
Seraya
Garuda tak berbulu,
lebih
bahagia dijajah si kulit putih,
daripada
membunuh sesama merah-putih.
SENJA SANG PELAUT
Puisi Yuda Giri
Aku.
. .
Pelaut
di senja hari.
Di
bibir pantai aku berdiri
berusaha
mengamati lautan.
Para
teman pelautku telah pulang,
dengungan
mesin perahu memacu kecepatan
berlomba-lomba
mengejar senja di ujung pelabuhan
yang
hampir ditelan kalbu malam.
Seketika
aku dikagumi
oleh
senggok tubuh yang cantik
yang
berusaha beradu dengan senja
dengan
hitam panjang rambutnya
dibelai
oleh angin senja
hingga
bergerak ke kiri dan ke kanan
bak
gelombang laut yang berarus.
Aku
mulai melangkah mendekati
meninggalkan
jejak di atas butiran pasir.
Berharap
mendapatinya di sana,
namun
tak kutemukan senja cantik itu.
Dia
pergi tanpa seberkas jejak.
Apakah
kau ditelan senja?
Nyatanya
aku yang bodoh.
Kerinduan
telah menempatkan aku
ke
atas ilusi yang tinggi akan kekasihku
yang
telah lama pergi ditelan waktu.
Kini
aku terperangkap dalam harapan.
Aku
merindukan kehadiranmu, kekasihku.
Kembalilah
kekasihku!
Kembalilah!
Sebelum
angin senja berhembus
dan
bayang-bayang menghilang,
kembalilah
kekasihku!
TENTANG CINTA
Puisi Hironimus T. Diaz
Tentang
cinta. . .
Engkau
bagai bintang
yang
bercahaya indah
menerangi
setiap hidupku.
Apakah
masih ada makna?
Pada
butiran-butiran kenangan
kini
engkau telah tiada.
Entahlah.
. .
Kini
kusadari
bahwa
cinta yang sesungguhnya
adalah
mengikhlaskan tanpa luka.
STUDI PERTAMA
Puisi Luksan Soera
Senja,
akhirnya lonceng terdiam usai berceramah.
Nampak
semua telah tiba dikelas.
Tugas
sekolah membanjiri list-ku.
Kubunuh
mulai dari yang waktu kumpulnya paling dekat.
Yang
lain? Mungkin Sibuk.
Sibuk
membantai tugas-tugas,
atau
juga sibuk memakan novel di bawah meja.
“Frater,
we... Frater, we,” seruan teman berbisik tegas.
Seketika
novelpun tak berbekas.
“Ternyata
semuanya rajin belajar, ya,” ujar Frater
sambil
memegang novel-novel hasil sitaan.
MISA PAGI
Puisi Santiago P. T. Huller
Dentungan
lonceng menggema di telingamu.
Kau
terbangun dari mimpi indah diatas ranjangmu.
Matamu
yang sayup-sayup, mengiringi langkahmu
yang
terburu-buru dengan berat.
Air
dingin menyadarkan matamu.
Pakaian
kuning biru terpampang rapi di badanmu.
Veni Creator
menjadi awal harimu.
Ketika
terduduk diam, pikiranmu melayang,
kelopak
matamu turun tak memberi isyarat.
Tiba-tiba,
terdengar bunyi di telingamu,
“Jangan
tidur!” kata temanmu.
Kau
terkesap, menatap altar yang masih sunyi.
Niatmu
ingin menutup mata lagi,
tapi
lonceng altar terdengar dari belakang
tanda
misa pagi akan dimulai.
“Andai
tidak misa pagi hari ini,” pikirmu.
RUANG HAMPA
Puisi Theodorus Charel Baz
Kesunyian
menggema meneteskan derai kesepian,
memusnahkan
nada yang kini tak berbunyi.
Kebahagiaan
sirna seakan ditelan sang penyamun
hingga
tak sedikitpun alunan melodi yang terdengar.
Hanyalah
kesunyian yang meredam menandakan kehampaan.
Sunyi
senyap kini terekam oleh reklama CCTV,
mengulas
akan kesunyian ruangan itu.
Seandainya
seutas tali-temali dapat dilemparkan,
maka
kehampaan ruang itu berlabuh ke pelataran keramaian.
Namun,
kini ruang itu tak lagi berpanorama.
Kesunyian
kian marak memanjatkan
seuntaian
kekosongan ruang itu.
Warna-warni
tembok ruang itu kini berbalur cat kehampaan,
Membawa
dalamnya ruang itu
menjadi
resah tak bertara
akan
kelamunan kehampaan ruang itu.
SEPATU
Puisi Paulus Milik
Kusisikan
kaki telanjangku
pada
penghalas telapak baru,
pelindung
surga kecilku,
dari
tanah dan debu
bekas
para pendosa tak tahu malu
yang
telah mencumbu negeriku
dengan
kerakusan dan keserakahan paling candu.
SENGSARA SANG KHALIK
Puisi Johanes P. N. Jemarut
Engkau
hanya bisa pasrah,
hanya
bisa berlutut dan berdoa.
Begitu
besar beban yang Engkau pikul,
Begitu
pahit cawan yang Engkau teguk,
Sedangkan,
kami hanya bisa duduk dan meringkuk.
Kami
hanya bisa melihat
saat
Kau dipukul pada palang penghinaan,
saat
Kau diludah dan dicela
bagai
insan yang paling hina.
0 Comments