(Refleksi Hardiknas Tahun 2022)
Oleh : Fr. M. Yohanes Berchmans, Bhk, M. Pd
(Kepala SMPK Frateran Ndao)
CAKRAWALANTT.COM - “Kita
tidak dapat turun 2 kali ke sungai yang sama (Panta rhei kai uden
menei)” ~ Herakleitus.
“Tidak ada
peserta didik yang tidak mampu belajar, yang ada adalah guru yang tidak mampu
mengajar; tidak ada guru yang tidak mampu mengajar, yang ada adalah kepala
sekolah yang tidak mampu membina gurunya; tidak ada kepala sekolah yang tidak
mampu membina gurunya, yang ada adalah pengawas atau Ketua Yayasan yang tidak
mampu membina kepala sekolah; tidak ada pengawas atau ketua yayasan yang tidak
mampu membina kepala sekolah, yang ada adalah Kepala Dinas Pendidikan atau Pemimpin
Tarekat yang tidak mampu membina pengawas dan ketua yayasan, dstnya.”
Setiap tanggal 2 Mei,
masyarakat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang bertepatan
dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, seorang pahlawan
nasional yang dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia. Peringatan Hardiknas tersebut ditetapkan setelah adanya Surat
Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959.
Banyak pemikiran beliau yang telah
menginspirasi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek),
Nadiem Anwar Makariem terkait konsep pendidikan di Indonesia, salah satunya
adalah program Merdeka Belajar yang saat ini ramai diperbincangkan di ruang
publik. Merdeka belajar
adalah kemerdekaan berpikir dan esensi kemerdekaan
berpikir tersebut harus terlebih dahulu berada pada guru. Sistem pengajaran
yang diterapkan nantinya akan mengubah pola pembelajaran di dalam kelas menjadi
di luar kelas.
Merdeka Belajar merupakan tema besar dari kebijakan
pendidikan yang diusung Mendikbudristek. Di dalam konsep itu, terdapat 4
program, yakni (1) penyelenggaraan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
sebagai uji kompetensi peserta didik yang bisa dilakukan dengan cara ujian
tertulis maupun penilaian lain yang lebih komprehensif; (2) penghapusan Ujian
Nasional (UN) di tahun 2021 dan diganti dengan Asesmen Nasional (AN), yakni
melalui Asesmen Kompetensi Minimun (AKM) literasi dan numerasi serta Survei
Karakter; (3) menyederhanakan atau memangkas sejumlah komponen Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari 13 komponen menjadi 3 komponen; dan (4) Peraturan
PPDB Zonasi digunakan dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi
ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Bila dicermati dari isi pokok kebijakan Merdeka Belajar,
maka jelas lebih difokuskan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
meskipun pada perkembangan selanjutnya juga diterapkan pada jenjang Pendidikan
Tinggi (Dikti) melalui Program Kampus
Merdeka. Pastinya, Program Merdeka Belajar bukanlah sebuah kebijakan yang
secara tiba-tiba muncul, melainkan melalui serangkaian proses yang panjang dan
matang.
Itulah idealismenya. Namun,
faktanya tidak semudah yang diharapkan, sebab untuk mengubah sebuah kebiasaan (habits) para guru yang telah mendarah
daging dan telah berakar dibutuhkan waktu dan proses yang tidak singkat. Sebagai
agen perubahan (agent of change) dan
pemimpin pembelajaran (learning leader),
seorang guru memang harus memiliki komptensi demikian. Program Merdeka Belajar
yang diusung oleh Mendikbudristek sesungguhnya telah memberikan “ruang atau panggung”
yang seluas-luasnya kepada guru dan peserta didik untuk unjuk kreativitas dan
inovasi dalam pembelajaran.
Pertanyaannya adalah
apakah guru dapat memanfaatkan peluang yang diberikan itu? Mengingat bahwa guru
adalah orang kunci (key person)
perubahan dalam pembelajaran. Sebagai orang kunci, maka yang pertama - tama
dilakukan oleh seorang guru adalah mengubah mindset
seorang guru. Tanpa itu, tidak mungkin terjadi perubahan dalam pembelajaran,
sebab Merdeka Belajar adalah kemerdekaan berpikir para guru itu sendiri untuk
membuat pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik.
Untuk itu, tujuan dari Merdeka
Belajar adalah untuk mengubah nuansa pembelajaran agar menjadi lebih menarik,
asyik, menyenangkan, sehingga bisa menciptakan suasana interaksi yang kondusif
antara guru dan peserta didik. Tidak hanya itu saja, Program Merdeka Belajar juga
dapat membentuk karakter peserta didik menjadi lebih berani, menantang, mudah bergaul, cerdik, sopan, dan berkompeten.
Dengan kata lain, tujuan Merdeka Belajar adalah untuk menciptakan
suasana belajar yang lebih bahagia tanpa adanya beban dalam mencapai skor atau
nilai tertentu.
Kembali pada fakta bahwa masih
terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan dalam proses penerapan
Program Merdeka Belajar, maka pada momen Hardiknas Tahun 2022 ini, alangkah
baiknya semua pihak yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan bisa merenungkan
situasi terkini pendidikan sebagai gerakan bersama.
Sebagai gerakan
bersama, pendidikan harus berlaku untuk semua tanpa adanya disparitas,
infrastruktur pendidikan harus merata, pemetaaan Sumber Daya Manusia (SDM) guru
juga harus merata, mampu menghapus sistem zonasi, menghilangkan dikotomi negeri
dan swasta, dan berkompetisi secara sehat. Selain itu, guna mewujudkan
pendidikan yang bermutu, maka mindset dewasa
ini, baik bagi guru maupun pemerintah harus diubah sesuai visi, misi, dan
tujuan pendidikan itu sendiri.
Andaikata kita memiliki
spirit dan militansi yang sama untuk sebuah perubahan dalam dunia pendidikan di
Indonesia, maka pergerakan untuk mewujudkan Merdeka Belajar pasti bisa
terwujud. Guru, orang tua, dan masyarakat harus mampu bergerak bersama dalam
meningkatkan mentalitas dan kompetensi peserta didik dalam kegiatan belajar. Dengan
demikian, sekolah, keluarga dan masyarakat merupakan embrio yang melahirkan
peserta didik sebagai generasi emas yang cerdas dan berkarakter baik di atas
fondasi Merdeka Belajar.
Seiring berjalannya
waktu, dunia pendidikan Indonesia saat ini juga mengalami perubahan. Harapannya,
“Dunia pendidikan berubah, maka para guru, peserta didik, orang tua peserta
didik, dan pelaku serta pemerhati pendidikan juga harus turut berubah di
dalamnya (Tempora Mutantur Et Nos Mutamur
In Illis)”. Jika tidak berubah, maka Program Merdeka Belajar hanyalah
sebuah program tanpa makna.
Guna mewujudkan Merdeka Belajar,
maka Kemendikbudristek mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar yang merupakan
langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya SDM unggul Indonesia
yang memiliki Profil Pelajar Pancasila. Hingga saat ini, terdapat 19 episode Merdeka
Belajar yang diluncurkan oleh Mendikbudristek, yakni: (1) empat pokok kebijakan
merdeka belajar; (2) Kampus Merdeka; (3) Perubahan Penyaluran dan Penggunaan
Dana BOS; (4) Program Organisasi Penggerak; (5) Guru Penggerak; (6) Transformasi
Dana Pemerintah untuk Perguruan Tinggi; (7)
Program Sekolah Penggerak; (8)
SMK Pusat Keunggulan; (9) KIP Kuliah Merdeka;
(10) Perluasan Program Beasiswa LPDP; (11) Kampus Merdeka Vokasi; (12) Sekolah
Aman Berbelanja dengan SIPLah; (13) Merdeka Berbudaya dengan Kanal Indonesiana;
(14) Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual; (15) Kurikulum Merdeka dan Platform
Merdeka Mengajar; (16) Akselerasi dan Peningkatan Pendanaan PAUD dan Pendidikan
Kesetaraan; (17) Revitalisasi Bahasa Daerah; (18) Merdeka Berbudaya dengan Dana
Indonesiana; serta (19) Rapor pendidikan Indonesia.
Salah satu episode yang sedang booming terdengar adalah Program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Guru penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran (learning leader). Tugas Guru Penggerak adalah menggerakan komunitas belajar untuk rekan guru di satuan pendidikan dan sekitarnya; menjadi pengajar praktik bagi rekan sejawatnya terkait pengembangan pembelajaran di satuan pendidikan; serta mendorong meningkatkan kepemimpinan peserta didik di satuan pendidikan.
Dengan demikian, tujuan dari Guru
Penggerak adalah untuk memberikan bekal kepada
para guru berupa kemampuan
kepemimpinan pembelajaran dan pedagogik, sehingga harapannya mampu menggerakkan
komunitas belajar, baik di dalam maupun di luar sekolah. Sedangkan, Sekolah
Penggerak adalah sekolah yang
berfokus pada pengembangan hasil belajar peserta didik secara holistik (utuh) dengan
mewujudkan Profil Pelajar Pancasila yang mencakup kompetensi dan karakter yang
diawali dengan SDM yang unggul (kepala sekolah dan guru). Oleh karena itu, Sekolah Penggerak melekat
dengan seorang Kepala Sekolah Penggerak. Artinya, Sekolah Penggerak hanya akan
dilaksanakan ketika kepala sekolahnya lulus seleksi sebagai Kepala Sekolah
Penggerak.
Semua harapan di
atas terangkai dan terintegrasi dalam Kurikulum Merdeka yang dilaksanakan pada tahun
ajaran baru 2022/2023 pada sejumlah Sekolah Penggerak atau pada Sekolah Mandiri
Belajar, Mandiri Berubah dan Mandiri Berbagi. Namun, apa pun bentuk atau model
sekolahnya, yang paling penting adalah harus memiliki spirit atau militansi
untuk membawa perubahan pada satuan pendidikan.
Dan kiranya, tema
Hardiknas 2022 “Serentak Bergerak Mewujudkan Merdeka Belajar” harus dapat
menggugah nurani kita untuk terus belajar dan belajar terus, entah itu guru,
orang tua, peserta didik, pelaku dan
pemerhati pendidikan. Serentak Bergerak Mewujudkan Merdeka Belajar juga mau
mengatakan bahwa semua kita harus memiliki irama, nafas, semangat dan militansi
yang sama untuk sebuah perubahan dalam dunia pendidikan kita.
Kalau bukan kita
yang mengubahnya, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang saatnya, kapan lagi? Dan
saya akhiri dengan meminjam kata - kata John F. Keneddy, “Jangan tanyakan apa
yang dilakukan negara, dinas pendidikan, yayasan pendidikan, untukmu para guru,
tetapi tanyalah pada dirimu apa yang
bisa kamu (guru) lakukan untuk memajukan dunia pendidikan saat ini”. “Selamat Hardiknas 2022, Salam Merdeka
Belajar, Guru Penggerak” (red)
0 Comments