Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

ROTE NDAO MENUJU KABUPATEN LITERASI

(Sebuah Komitmen Semesta Agar Api Literasi Itu Tetap Berkobar) 




Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil

(Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT)

 


Rote Ndao, CAKRAWALANTT.COM - Angin bertiup kencang. Puluhan nyawa dalam lambung pesawat Wings Air tujuan Rote Ndao berharap dalam cemas. Adakah perjalanan ini bakal menjadi yang terakhir dalam hidup? Mungkinkah sang dewa maut merebut dan membawamya berlari begitu saja? Beberapa orang penumpang memanggil nama Tuhannya. Aku adalah salah satu di dalamnya. Mendaraskan doa Bapa Kami dan Salam Maria berulang kali.

 

Awak pesawat sudah beberapa kali mengingatkan agar tetap tenang. Semua akan baik-baik saja. Ah, hidup ini terkadang memang harus begitu. Sadarlah kita akan kefanaannya. Sementara dan kapan saja bisa menguap dan hilang. Jalan ini adalah jalan yang selalu ada kata akhir. Tidak ada yang abadi di bawah matahari. Semuanya hanya ke-sia-siaan belaka.

 

Perjalanan dari Kupang menuju Rote Ndao hanya ditempuh dalam waktu 30 menit. Waktu yang hampir sama kita pakai saat sedang asyik menikmati secangkir kopi. Begitu cepat dan efektif. Beberapa kawan memang selalu menyarankan agar aku menumpang kapal cepat. Walau memakan waktu hampir dua jam, perjalanan tetapi bakal terasa nikmat. Aku terdiam untuk sesaat. Jika di udara anginnya kencang mungkin angin yang sama yang akan menghempaskan samudera dan membawa perahu motor terseret dan hilang. Laut, darat, dan udara memiliki peluang resiko yang sama. Aku memilih pesawat terbang karena meskipun melayang dan hilang, aku tahu bahwa aku akan tetap mendarat walau dalam bentuk lain.

 

Tuhan itu baik. Ia mengizinkan aku menginjakkan kaki untuk kesekian kalinya di kota paling selatan NKRI ini. Aku adalah warna, tanda, dan simbol tentang Pancasila dan jayanya merah-putih yang tidak pernah lelah berkibar. Jangan selalu tanya apa yang negara beri untukmu, sesekalilah bertanya apa yang sudah kamu sumbangkan untuk bengsa ini? Di beberapa jeda waktu, bangsa ini dinarasikan sebagai bangsa yang masih berkembang dan berpeluang besar untuk menjadi negara maju di suatu titik nanti. Untuk itu, mungkin bukan hanya tanah yang harus disuburkan dan diolah dengan baik. Bukan hanya keindahan alam dan kekayaan di dalamnya yang harus dijaga dan dipromosikan, tetapi juga tentang pikiran yang perlu dirawat dengan satu cara.

 

***

 

Mari kita bernarasi tentang apa dan siapa saja. Itu baik dan perlu di era digital ini. Namun, namaku berkewajiban untuk menarasikan tentang apa dan siapa di sekitar kita agar nama bukan lagi hanya sekadar membedakan kamu dan aku, tetapi sebagai simbol yang hidup dan utuh. Narasi itu harus terkristal dalam satu cara. Hadir dan ingin bernyawa di Pulau Rote untuk dua pekan adalah cara aku menjaga agar nama itu tetap utuh dan abadi dalam satu cara.

 

Rote itu adalah nama yang juga perlu dan harus untuk dinarasikan. NKRI ini harus tetap mau utuh, bukan? Ceritakan selalu tentang Rote, Miangas, Sabang, dan Merauke. Bahasa kita masih sama. Bahasa Indonesia dan bahasa cinta. Indonesia dan getaran cintamu tetaplah berdenyut. Mari kita Indonesiakan diri walau tidak sempat berkeliling Indonesia.

 

Di Rote ada angin. Terkadang bertiup kencang, tetapi lebih sering bertiup lembut. Halus tetapi bila lengah sebentar akan hanyut dan hilang. Pernah ke pantai barat pulau Rote? Nah, banyak orang berselancar di sana. Ada angin yang bertiup kencang, tetapi memiliki arah tembak yang jelas sehingga ombak itu bergelombang tinggi sembari menghadirkan keindahan.

 

Begitu Rote dan masyarakatnya. Adalah istilah yang hanya dilekatkan untuk Rote, yaitu “Otak Rote”. Di Rote ini, masyarakat memfungsikan otaknya dengan baik dan sempurna. Otak untuk berpikir, menilai, dan mengamati. Mereka berbicara dengan pikirannya. Atau dengan kata lain, pikiran yang membawa mereka menuju gerbang hatinya. Di beberapa tempat, kita tidak akan sampai ke pikirannya kalau hatinya belum dibuka dan merasa nyaman. Karena itu, berbicara dengan orang Rote sebenarnya kita sedang dituntut berbicara sambil berpikir, minimal melampui diri dan konteks. Jika tidak, kamu akan terseret dalam logikanya yang terlihat datar tetapi sesungguhnya menghanyutkan.

 

Aku datang bersama angin dan membawakan obor literasi di tempat ini. Bayangkan, ada api yang berkobar dalam angin. Peluangnya sama. Api itu mati dan hilang tertiup angin atau justru semakin berkobar serta menyinari seluruh pelosok negeri. Aku ingin pastikan diri untuk hadir dan menyala. Bukan datang dan mati kutu di tengah tajamnya nalar masyarakat Rote Ndao. Karena itu, aku butuh energi lebih dalam dengan tiupan napas yang besar. Maka, bersama Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Tingkat SMA, SMK, dan SLB kami hadir. Merancang satu kegiatan besar yang bakal mengobarkan api besar di pulau terselatan NKRI ini.

 

Semua bersatu dalam kegiatan yang mengusung satu tema besar, yakni “Mengakarkan Literasi, Memberdayakan Generasi. Para guru dan anak-anak di tanah ini harus memiliki cara pandang dan aksi yang sama. Membaca dan menulis. Akhirnya, angin yang sama meniupkan itu di hati para kepala sekolah dan kami pun bernapas dengan ritme yang sama. Menetapkan waktu untuk kami mulai beraksi. Ada sembilan titik kegiatan yang harus dikunjungi. Menghangatkan setiap pikiran yang mungkin masih terlelap untuk bangun dan mengobarkan api yang sama.

 

Waktu terus berjalan dan tiba-tiba semesta berbisik, “Apimu harus menyala dan berkobar di sini. Tidak cukup hanya guru dan peserta didik di tingkat SMA, SMK, dan SLB. Api itu hanya menyala dan berkobar hingga jantung semesta. Maka, terjadilah demikian. Angin yang sama meniupkan energi dan meneguhkan hati Pemerintah Kabupeten Rote Ndao. Semua bergerak, tergerak, dan menggerakkan.

 

Bunda Literasi Rote Ndao harus dikukuhkan. Api ini akhirnya harus menetap di hatinya. Hati seorang ibu yang selalu memberi kehangatan untuk anak-anaknya. Hati yang merindu agar anak-anaknya terbang tinggi menembus langit bersama doa ibu yang selalu menyertai. Bunda Literasi ada di sini, di Kabupaten Rote Ndao. Ia telah menyalakan obor dan mengajak semuanya bergerak. Ia ingin agar setiap obor literasi itu tetap menyala sampai akhir. Ia ada di dapur, menanak nasi dengan api yang sama. Ia adalah Lona Apdiana Saek Ngginak.

 

Api itu berkobar. Tegas dan tidak ingin padam. Api besar yang membangunkan banyak orang untuk menemukan diri dalam aneka potensi di dalamnya. Api yang bakal menyelinap masuk ke ruang-ruang kelas, ke balai desa hingga ke rumah adat. Mencari dan mengumpulkan yang tercecar agar kelak ketika saatnya tiba, sang bunda mendongengkan lagi tentang indahnya pulau ini, tentang lontar sebagai pohon kehidupan, tentang Bahorok yang selalu meninggalkan rasa penasaran dan mungkin tentang syair adat yang selalu mempesona dalam ritus adatnya. Begitu api, ibu dan angin, berada pada tungku yang sama bernama Rote Ndao.

 

Aku ingin setia di sini. Seperti anak bungsu yang ingin selalu ada dekat dengan bundanya. Menyaksikan setiap kata yang terucap dan aksi yang selalu konsisten di jalannya. Itulah literasi. Literasi itu adalah jembatan antara narasi dan aksi, teori dan praktik, kata dan perbuatan.

 

“Ketahuilah, jika di suatu titik kita berpisah dan kamu harus pergi ke tempat lain, tetaplah setia menjaga dan merawat api dalam hatimu. Aku masih di sini. Menunggumu kembali. Ada angin yang selalu menemanimu. Tetapi jangan pernah biarkan ia memadamkan api semangatmu. Kamu terlampau muda untuk selalu ada di sini dan menemani menjaga titik api ini. Pergilah ke tempat lain dan nyalakan api yang sama,” ujarnya.

 

Tiba-tiba air mataku jatuh. Aku memang tidak selalu ada di sini. Di pulau Rote ini. Namun, satu hal yang pasti, aku selalu memiliki alasan untuk kembali. Ada bunda yang selalu menungguku dengan setia bersama api yang selalu menyala.

 

Sepuluh hari kami di sini sejak tanggal 25 Mei hingga di 4 Juni nanti. Berkeliling dan menaburkan api inspirasi di hati para guru dan generasi bangsa. Sesekali aku memandang ke langit. Ada cahaya cakrawala yang selalu hadir dan menerangi. Memberi isyarat yang jelas.

 

“Tetaplah menyalakan api di saat malam tiba. Hanya dengan cara demikian kamu tetap merasakan hangatku. Aku di sini dengan segala rindu menantimu ketika saat itu tiba. Aku adalah kata, muasal segala yang ada. Diciptakan Surga untuk menerangi yang ada. Aku adalah sumber api yang selalu ingin kau taburkan itu. Teruslah menyala dan berkobar hingga sang angin membawamu berlari menuju Surga.

 

Ah, mungkin begitulah hidup. Datang untuk menjadi berarti. Dari kejauhan aku mendengar bunda memanggil. Mengajakku untuk kembali di tahun ajaran baru nanti. Kami akan bersama. Menemaninya lagi menuju ke jantung generasi mulai dari yang terkecil. Ternyata, para guru TK-PAUD, SD dan SMP merindukan api yang sama. Jembatan yang bakal menghubungkan dari ruang kelas hingga ke rumah adat, ke teras rumah, ke spot-spot wisata dan sebagainya. Mereka, para guru, harus berani hadir untuk ikut menyalakan api yang sama. Ada angin kemalasan, pesimis, dan merasa hebat yang selalu datang menghantui. Sekali kamu dan kita lengah, ia akan merebut titik api itu. Memadamkannya dan kamu mati kedinginan sembari kehilangan harapan.

 

Para guru harus menjaga titik api itu, karena hanya kepada merekalah generasi bangsa ini berharap. Guru sebagai pengajar dan pendidik adalah dia yang mampu merawat api literasinya. Seleksi alam selalu berjalan. Seorang guru yang tidak mampu merawat titik api literasi bakal hilang tertelan zaman. Ini abad 21 dimana kecerdasan dan kebijaksanaan harus duduk berdampingan. Otak dan hati harus berada pada tempat yang sama dan seimbang. Berharap saatnya tiba dan orang tidak hanya menyebut “Otak Rote”, tetapi berkata lembut “Bergurulah pada otak dan hatinya orang Rote. Kritis dan cerdas, tetapi tetap lembut dan merangkul”. Literasi adalah jembatan antara otak dan hati.

 

***

 

Kami ada di pulau ini, bersama bunda dengan api dan tungkunya. Selalu siap menghangatkan kopimu dan kopiku. Di ini Rote, ada gula yang selalu konsisten tetap manis. Bakal memberi rasa pada kopimu yang pahit. Kami di sini bersama denyutan hati para guru dan generasi bangsa. Doa kami tetap utuh dan satu. Merah-putih tetaplah berkibar hingga nanti.Di sini ada berlian dan emas yang selalu siap untuk diambil dan dibanggakan.

 

Tugasmu hanya satu, yakni jagalah titik api itu, hangatkan kopimu dan mari kita nikmati. Indonesia kita terlampau besar untuk sekadar kita ada dan tidak berarti. Lahan itu tidak sedang tidur. Kamulah yang sedang terlelap. Pesona alam dan budayamu bakal menjadi pajangan dan kamu hanya menjadi ornamen hidup yang hanya sekadar dilihat dan dinikmati orang.

 

Kamu dan kita adalah tuan di negeri ini. Bercerita dalam kata dan tulisan adalah tugas kita agar bisa merawat dan menjaganya. Mulailah dari dalam. Dari pikiranmu dan hatimu. Ketahuilah satu hal bahwa angin itu selalu ada dan apimu harus lebih besar untuk mengalahkannya. Jika kamu lelah dan jenuh, maka ingatlah bahwa ada bunda dan cakrawala yang selalu setia hadir dan menjaga api semangatmu. Di ini tanah, aku berjanji ingin hidup seribu tahun lagi dalam karya dan doa.

 

Salam Cakrawala, Salam Literasi.

           

(red)


Post a Comment

0 Comments