(Sebuah
Komitmen Semesta Agar
Api Literasi Itu
Tetap Berkobar)
Oleh
: Gusty Rikarno, S.Fil
(Jurnalis
Media Pendidikan Cakrawala NTT)
Rote Ndao, CAKRAWALANTT.COM - Angin bertiup kencang. Puluhan nyawa dalam lambung pesawat Wings Air tujuan Rote Ndao berharap
dalam cemas. Adakah perjalanan
ini bakal menjadi yang terakhir dalam hidup? Mungkinkah
sang dewa maut merebut dan membawamya berlari begitu saja? Beberapa orang
penumpang memanggil nama Tuhannya. Aku adalah salah satu di dalamnya. Mendaraskan
doa Bapa Kami dan Salam Maria berulang kali.
Awak pesawat sudah beberapa kali
mengingatkan agar tetap tenang. Semua akan baik-baik saja. Ah, hidup ini
terkadang memang harus begitu. Sadarlah kita akan kefanaannya. Sementara dan
kapan saja bisa menguap dan hilang. Jalan
ini adalah jalan yang selalu ada kata akhir. Tidak
ada yang abadi di bawah
matahari. Semuanya hanya ke-sia-siaan belaka.
Perjalanan dari Kupang menuju Rote Ndao
hanya ditempuh dalam waktu 30 menit. Waktu yang hampir sama kita pakai saat sedang
asyik menikmati secangkir kopi. Begitu cepat dan efektif. Beberapa kawan memang selalu menyarankan
agar aku menumpang kapal cepat. Walau memakan waktu hampir dua jam, perjalanan tetapi bakal terasa nikmat. Aku
terdiam untuk sesaat. Jika di udara anginnya kencang mungkin angin yang sama
yang akan menghempaskan samudera dan membawa perahu motor terseret dan hilang.
Laut, darat, dan udara memiliki peluang resiko yang sama. Aku memilih pesawat
terbang karena meskipun
melayang dan hilang, aku tahu bahwa aku akan tetap mendarat walau dalam bentuk lain.
Tuhan itu baik. Ia mengizinkan aku menginjakkan kaki
untuk kesekian kalinya di kota paling selatan NKRI ini. Aku adalah warna, tanda, dan simbol tentang
Pancasila dan jayanya merah-putih
yang tidak pernah lelah berkibar. Jangan selalu tanya apa yang negara beri
untukmu, sesekalilah bertanya apa yang sudah kamu sumbangkan untuk bengsa ini?
Di beberapa jeda waktu, bangsa ini dinarasikan
sebagai bangsa yang masih berkembang dan berpeluang besar untuk menjadi negara
maju di suatu titik nanti. Untuk
itu, mungkin bukan hanya tanah yang harus disuburkan dan diolah dengan baik.
Bukan hanya keindahan alam dan kekayaan di dalamnya yang harus dijaga dan
dipromosikan, tetapi juga tentang pikiran yang perlu dirawat dengan satu cara.
***
Mari kita bernarasi tentang apa dan
siapa saja. Itu baik dan
perlu di era digital ini. Namun, namaku
berkewajiban untuk menarasikan tentang apa dan siapa di sekitar kita agar nama
bukan lagi hanya sekadar membedakan kamu dan aku, tetapi sebagai simbol yang hidup dan
utuh. Narasi itu harus terkristal dalam satu cara. Hadir dan ingin bernyawa di
Pulau Rote untuk dua pekan adalah cara aku menjaga agar nama itu tetap utuh dan abadi dalam satu cara.
Rote itu adalah nama yang juga perlu dan
harus untuk dinarasikan. NKRI ini harus tetap mau utuh, bukan? Ceritakan
selalu tentang Rote, Miangas, Sabang, dan Merauke. Bahasa kita masih sama. Bahasa Indonesia
dan bahasa cinta. Indonesia
dan getaran cintamu tetaplah berdenyut. Mari
kita Indonesiakan diri walau tidak sempat berkeliling Indonesia.
Di Rote ada angin. Terkadang bertiup kencang, tetapi lebih sering bertiup lembut.
Halus tetapi bila
lengah sebentar akan hanyut dan hilang. Pernah ke pantai barat pulau Rote? Nah,
banyak orang berselancar di sana. Ada angin yang bertiup kencang, tetapi memiliki arah tembak yang jelas
sehingga ombak itu bergelombang
tinggi sembari
menghadirkan
keindahan.
Begitu Rote dan masyarakatnya. Adalah istilah yang hanya dilekatkan
untuk Rote,
yaitu “Otak Rote”. Di
Rote ini, masyarakat memfungsikan otaknya dengan baik dan sempurna. Otak untuk berpikir, menilai, dan mengamati. Mereka berbicara dengan pikirannya. Atau
dengan kata lain, pikiran yang membawa mereka menuju gerbang hatinya. Di
beberapa tempat, kita
tidak akan sampai ke pikirannya kalau hatinya belum dibuka dan merasa nyaman.
Karena itu,
berbicara dengan orang Rote sebenarnya kita sedang dituntut berbicara sambil
berpikir,
minimal melampui diri dan konteks. Jika tidak, kamu akan terseret dalam
logikanya yang terlihat datar tetapi sesungguhnya menghanyutkan.
Aku datang bersama angin dan membawakan obor literasi di tempat
ini. Bayangkan, ada api yang berkobar dalam angin.
Peluangnya sama. Api itu mati dan hilang tertiup angin atau justru semakin
berkobar serta
menyinari seluruh pelosok negeri. Aku ingin pastikan diri untuk hadir dan
menyala. Bukan datang dan mati kutu di tengah
tajamnya nalar masyarakat Rote Ndao. Karena
itu,
aku
butuh energi lebih dalam dengan tiupan napas yang besar. Maka, bersama Musyawarah Kerja Kepala Sekolah
(MKKS) Tingkat SMA,
SMK, dan SLB kami hadir. Merancang satu kegiatan besar yang bakal mengobarkan
api besar di pulau terselatan NKRI ini.
Semua bersatu
dalam kegiatan
yang mengusung satu tema besar,
yakni “Mengakarkan
Literasi, Memberdayakan Generasi”. Para guru dan anak-anak di tanah ini harus memiliki cara pandang dan aksi yang sama. Membaca dan
menulis. Akhirnya,
angin yang sama meniupkan itu di hati para kepala sekolah dan kami pun bernapas
dengan ritme yang sama. Menetapkan waktu
untuk kami mulai beraksi. Ada
sembilan titik kegiatan yang harus dikunjungi. Menghangatkan setiap pikiran
yang mungkin masih terlelap untuk bangun dan mengobarkan api yang sama.
Waktu terus berjalan dan tiba-tiba semesta
berbisik, “Apimu harus menyala dan
berkobar di sini. Tidak
cukup hanya guru dan peserta didik di tingkat SMA, SMK, dan SLB. Api itu hanya menyala dan berkobar
hingga jantung semesta”.
Maka, terjadilah
demikian. Angin yang sama
meniupkan energi dan meneguhkan hati Pemerintah Kabupeten Rote Ndao. Semua bergerak,
tergerak, dan menggerakkan.
Bunda Literasi Rote Ndao harus
dikukuhkan. Api ini akhirnya
harus menetap di hatinya.
Hati seorang ibu yang selalu memberi kehangatan untuk anak-anaknya. Hati yang
merindu agar anak-anaknya terbang tinggi menembus langit bersama doa ibu yang
selalu menyertai. Bunda Literasi ada di sini, di Kabupaten Rote Ndao. Ia telah menyalakan obor dan mengajak
semuanya bergerak. Ia ingin agar setiap obor
literasi itu tetap menyala sampai akhir. Ia ada di dapur, menanak nasi dengan
api yang sama. Ia adalah Lona Apdiana Saek Ngginak.
Api itu berkobar. Tegas dan tidak ingin
padam. Api besar yang membangunkan banyak orang
untuk menemukan diri dalam aneka potensi di dalamnya. Api yang bakal menyelinap
masuk ke ruang-ruang kelas, ke balai desa hingga ke rumah adat. Mencari dan
mengumpulkan yang tercecar agar kelak ketika saatnya tiba, sang bunda
mendongengkan lagi tentang indahnya pulau ini, tentang lontar sebagai pohon
kehidupan, tentang Bahorok yang
selalu meninggalkan rasa penasaran dan mungkin tentang syair adat yang selalu mempesona
dalam ritus adatnya. Begitu api, ibu dan angin, berada
pada tungku yang sama bernama Rote Ndao.
Aku ingin setia di sini. Seperti anak bungsu yang ingin selalu
ada dekat dengan bundanya. Menyaksikan
setiap kata yang terucap dan aksi yang selalu konsisten di jalannya. Itulah literasi. Literasi itu adalah jembatan antara
narasi dan aksi, teori dan praktik, kata dan perbuatan.
“Ketahuilah, jika di suatu titik kita
berpisah dan kamu harus pergi ke tempat lain, tetaplah setia menjaga dan
merawat api dalam hatimu. Aku masih di sini. Menunggumu
kembali. Ada angin yang selalu menemanimu. Tetapi
jangan pernah biarkan ia memadamkan
api semangatmu. Kamu terlampau muda untuk selalu ada di sini dan menemani menjaga
titik api ini. Pergilah ke tempat lain dan nyalakan api yang sama,” ujarnya.
Tiba-tiba air mataku jatuh. Aku memang tidak selalu ada di sini. Di pulau Rote ini. Namun, satu hal yang pasti, aku selalu
memiliki alasan untuk kembali. Ada bunda yang selalu menungguku dengan setia
bersama api yang selalu menyala.
Sepuluh hari kami di sini sejak tanggal 25 Mei hingga di 4 Juni
nanti. Berkeliling dan menaburkan api inspirasi di hati para guru dan generasi
bangsa. Sesekali aku memandang ke langit. Ada
cahaya cakrawala yang selalu hadir dan menerangi. Memberi
isyarat yang jelas.
“Tetaplah menyalakan api di saat malam
tiba. Hanya dengan cara demikian kamu tetap merasakan hangatku. Aku di sini
dengan segala rindu menantimu ketika saat itu tiba. Aku adalah kata, muasal segala yang ada. Diciptakan Surga untuk menerangi yang
ada. Aku adalah sumber api yang selalu ingin kau taburkan itu. Teruslah menyala
dan berkobar hingga sang angin membawamu berlari menuju Surga.”
Ah, mungkin begitulah hidup. Datang
untuk menjadi berarti. Dari
kejauhan aku mendengar bunda memanggil. Mengajakku
untuk kembali di tahun ajaran baru nanti. Kami akan bersama. Menemaninya lagi menuju ke
jantung generasi mulai dari yang terkecil. Ternyata, para guru TK-PAUD, SD dan SMP merindukan api yang sama.
Jembatan yang bakal menghubungkan dari ruang kelas hingga ke rumah adat, ke
teras rumah, ke spot-spot wisata dan sebagainya. Mereka, para guru, harus
berani hadir untuk ikut menyalakan api yang sama. Ada angin kemalasan, pesimis, dan merasa hebat yang selalu datang menghantui. Sekali kamu dan kita
lengah, ia akan merebut titik api itu. Memadamkannya dan kamu mati kedinginan sembari kehilangan harapan.
Para guru harus menjaga titik api itu,
karena hanya kepada merekalah generasi bangsa ini berharap. Guru sebagai
pengajar dan pendidik adalah dia yang mampu merawat api literasinya. Seleksi alam selalu berjalan. Seorang
guru yang tidak mampu merawat titik api literasi bakal
hilang tertelan zaman. Ini abad 21 dimana kecerdasan dan kebijaksanaan harus
duduk berdampingan. Otak dan hati harus berada pada tempat yang sama dan seimbang. Berharap saatnya
tiba dan orang
tidak hanya menyebut “Otak Rote”,
tetapi berkata lembut “Bergurulah
pada otak dan hatinya orang Rote. Kritis
dan cerdas,
tetapi tetap lembut dan merangkul”. Literasi
adalah jembatan antara otak dan hati.
***
Kami ada di pulau ini, bersama bunda
dengan api dan tungkunya.
Selalu siap menghangatkan kopimu dan kopiku. Di ini Rote, ada gula yang selalu
konsisten tetap manis. Bakal memberi rasa pada kopimu yang pahit. Kami di sini bersama denyutan hati para
guru dan generasi bangsa. Doa
kami tetap utuh dan satu. Merah-putih tetaplah berkibar hingga nanti.Di sini
ada berlian dan emas
yang selalu siap untuk diambil dan dibanggakan.
Tugasmu hanya satu, yakni jagalah titik api itu, hangatkan kopimu
dan mari kita nikmati. Indonesia kita terlampau besar untuk sekadar kita ada dan
tidak berarti. Lahan itu tidak
sedang tidur. Kamulah yang
sedang terlelap. Pesona
alam dan budayamu bakal menjadi pajangan dan kamu hanya menjadi ornamen hidup
yang hanya sekadar dilihat dan dinikmati orang.
Kamu dan kita adalah tuan di negeri ini.
Bercerita dalam kata dan tulisan adalah tugas kita agar bisa merawat dan menjaganya. Mulailah dari dalam. Dari pikiranmu dan hatimu. Ketahuilah
satu hal bahwa angin
itu selalu ada dan apimu harus lebih besar untuk mengalahkannya. Jika
kamu lelah dan jenuh, maka
ingatlah bahwa ada bunda dan cakrawala yang selalu setia hadir dan menjaga api
semangatmu. Di ini tanah, aku berjanji ingin hidup seribu tahun lagi dalam
karya dan doa.
Salam Cakrawala, Salam Literasi.
0 Comments