Komisioner Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara saat membawakan materi tentang “Potret dan Mekanisme Pengaduan Dugaan Pelanggaran HAM di Indonesia” di Unimor, Kamis (19/5/2022). |
TTU, CAKRAWALANTT.COM - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Timor (Fisipol Unimor) menggelar Kuliah Umum dalam kerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas
HAM RI) di bawah tema “Sinergi
dengan Stakeholders dalam Rangka Peningkatan dan Percepatan Layanan Pengaduan
HAM”, Kamis (19/5/2022). Kegiatan Kuliah Umum yang dibuka
secara langsung oleh Dekan Fisipol Unimor, Dr. Elpius
Kalembang, S.Sos.,M.Si tersebut
berlangsung di Aula Lantai 3 Fakultas Ilmu
Pertanian (Faperta) Unimor serta
diikuti oleh Civitas Academica Unimor, Penggiat
dan Lembaga HAM, jurnalis, serta masyarakat umum yang berada di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Dalam sambutannya, Dr. Elpius
mengatakan bahwa penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM merupakan bukti
keberpihakan manusia kepada manusia yang paling mendasar. Oleh karena itu, tegasnya, Lembaga Pendidikan Tinggi
perlu mengambil bagian secara intens untuk mendukung upaya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan HAM melalui Tri Dharma Pendidikan Tinggi.
“Kegiatan hari ini menjadi bukti,
komitmen, dan gerak awal Fisipol Unimor untuk mengintegrasikan HAM dalam Tri
Dharma Pendidikan Tinggi melalui kerja sama dengan Komnas HAM RI. Secara konkrit,
Fisipol akan memasukkan kajian HAM dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran,
mendorong dosen dan mahasiswa untuk secara aktif melakukan penelitian tentang
isu HAM, serta melakukan sosialisasi dan pendampingan masyarakat untuk
menyebarkan informasi tentang HAM dan mekanisme pengaduan pelanggaran HAM.
Aktivitas Tri Dharma untuk penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ini
akan difokuskan pada kawasan perbatasan negara antara RI dan RDTL,” tutur Dr.
Elpius.
Kegiatan Kuliah Umum tersebut turut menghadirkan dua
narasumber, yakni Komisioner Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara yang membawakan
materi tentang “Potret
dan Mekanisme Pengaduan Dugaan Pelanggaran HAM di Indonesia” dan Direktur Eksekutif IRGSC,
Dominggus Elcid Li, Ph.D yang membawakan materi tentang “Dekolonisasi Pengetahuan
untuk Menguarai Kekerasan Struktural di Perbatasan RI-RDTL” serta dimoderatori oleh
Dosen Fisipol Unimor, Mariano Sengkoen, S.Fil.,M.Sos.
Dalam pemaparan materinya, Beka Ulung
menyampaikan bahwa berdasarkan data yang ada, pengaduan dugaan pelanggaran HAM
di Indonesia kepada Komnas HAM RI pada tahun 2021 berjumlah 2.729 aduan. Dari
jumlah tersebut, ujarnya, hanya
terdapat 52 aduan dari NTT dengan
jumlah paling banyak berasal dari Kota Kupang, yakni sebanyak 13 aduan. Di
kluster Pulau Timor, sambungnya,
jumlah aduan dari setiap kabupaten lain relatif kecil, yakni Kabupaten Kupang
sebanyak 2 aduan, Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS)
sebanyak 5 aduan, Kabupaten TTU sebanyak 2 aduan, dan Kabupaten Belu sebanyak 2
aduan.
“Kami meyakini bahwa data-data
tersebut adalah gambaran fenomena gunung es. Jadi meskipun jumlah aduannya
sedikit, namun kejadian pelanggaran HAM di lapangan bisa jauh lebih banyak. Hal
ini terjadi karena sebagian besar masyarakat tidak tahu bahwa tindakan yang
dialaminya termasuk bentuk pelanggaran terhadap HAM, sehingga lebih banyak
kasus hanya diselesaikan dengan hukum acara pidana dan perdata semata. Selain
itu, sebagian masyarakat juga belum tahu mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran
HAM ke Komnas HAM RI, sehingga pelanggaran HAM yang dialami tidak dapat
diadvokasi secara intensif,” ungkap Beka Ulung.
Terkait mekanisme pengaduan, Beka Ulung
menyampaikan bahwa Komnas HAM RI telah menyiapkan kanal pengaduan yang dapat
diakses oleh masyarakat melalui email (pengaduan@komasham.go.id) serta layanan
konsultasi melalu WA dan SMS (0812 2679 8880) selama jam kerja. Dalam pengaduan
tersebut, tambahnya, hal
yang harus dipenuhi adalah kejelasan identitas pengadu dan menyampaikan rincian
kronologi secara jelas, sehingga dapat dipahami untuk ditindaklanjuti oleh Komnas
HAM RI.
Sementara itu, Elcid Li, Ph.D dalam
pemaparan materinya menyampaikan bahwa beberapa isu pelanggaran HAM yang
terjadi di perbatasan RI-RDTL antara lain keputusan tentang penetapan garis
batas negara yang melangkahi hak ulayat masyarakat adat, pelanggaran HAM akibat
adanya aktivitas militer yang dilakukan oleh aparat negara, keterbatasan akses
dan tingkat pendidikan, serta kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat di
daerah perbatasan. Berbagai bentuk pelanggaran HAM tersebut, sambung Elcid, disebabkan oleh
ketimpangan struktural yang menyebabkan negara melalui aparatnya merasa lebih
berwewenang untuk mengatur segala hal di perbatasan negara dan mengabaikan
pengetahuan, sejarah, budaya, dan kearifan-kearifan sosial masyarakat.
“Di hadapan berbagai masalah
tersebut, Civitas Academica Unimor mesti terlibat dalam riset dan aksi untuk
mencegah potensi dan mengawal dugaan pelanggaran HAM yang terjadi, baik melalui
kekerasan langsung, kekerasan struktural, maupun kekerasan simbolik. Untuk itu,
Unimor dapat memanfaatkan spesifikasi bidang pengetahuan dan fokus dari
masing-masing fakultas yang ada untuk bersinergi menyelesaikan masalah-masalah
di perbatasan, terutama masalah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM,” jelas
Elcid.
Pada sesi diskusi, tampak antusiasme
peserta Kuliah Umum untuk memberikan pertanyaan dan tanggapan terhadap materi
yang disampaikan oleh para narasumber, baik berkaitan dengan substansi HAM
maupun kasus-kasus yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang terjadi di
tingkat nasional dan lokal.
Lebih lanjut,
dalam sambutan penutupnya, Ketua Panitia Kuliah
Umum, Yakobus Fahik, M.Phil menyampaikan terima kasih kepada Komnas HAM RI yang
menyempatkan diri untuk hadir dan memberikan pencerahan tentang permasalah HAM
kepada Civitas Academica Unimor. Sebagai bentuk tindak lanjut, tambahnya, Civitas Academica Unimor
akan bekerja sama
dengan Komnas HAM RI dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang
berkaitan dengan isu-isu HAM, khususnya yang dialami oleh masyarakat di wilayah
perbatasan RI-RDTL. (Ino/MDj/red)
0 Comments