Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MEMBALUT LUKA DEMI MEREKA YANG TERLUKA (DILUKAI)

 (Catatan Pinggir Untuk Buku “Sepasang Luka”)




Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil

(Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT)

 


CAKRAWALANTT.COM - Mari kita mulai mengembara. Mengupas dan mengunyah mulai bagian terluar hingga sisi terdalam isi buku kumpulan cerpen “Sepasang Luka” karya Gol A Gong, dkk. Ada judul, ilustrasi dan warna sampul yang mampu menggugah selera untuk segera membaca. Di bawah judul “Sepasang Luka”, terlihat sepasang daun muda hijau yang berlubang. Daun dari sebuah pohon yang mungkin sedang asyik- asyiknya bertumbuh dan atau sedang berbuah. Padahal selain fotosintesis, fungsi utama sebuah daun adalah menjadi tempat menyimpan cadangan air dan makanan.

 

Membayangkan saja situasi hidup dari sebuah pohon yang daunnya banyak berlubang. Mungkinkah pohon itu berani pertaruhkan segala kekuatan dalam dirinya untuk tumbuh dan mengabaikan luka yang ada atau ia justru memilih menyerah, layu dan mati sebelum menjadi berarti? Luka itu begitu dalam. Sepasang luka yang sempurna. Luka dalam yang terlalu dalam dan luka luar yang terlihat tetapi terasa sulit disembuhkan.

 

Sepasang daun yang berlubang (terluka/dilukai) itu dipadukan dengan latar warna kuning yang seakan memberi tanda dan simbol dari sebuah hidup yang dipaksa untuk segera matang dan menerima takdir apa adanya. Sepasang daun muda yang terluka itu memang ditakdirkan ada bersama seperti kehadiran perempuan dan laki-laki yang diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi. Namun, bagaimana jika keduanya sama-sama terluka? Adakah mereka masih bisa saling menerima dan melengkapi? Buku dengan ketebalan 200 halaman ini didominasi oleh penulis remaja putri.

 

Apakah itu artinya, mereka (perempuan) adalah kaum minoritas yang terlahir dengan banyak menerima dan mengalami situasi terluka? Kaum lemah yang rentan menerima perlakuan atau situasi ketidakadilan? Mungkinkah budaya patriarkat dapat dilihat sebagai salah satu faktor penyumbang terbesar sehingga kaum perempuan banyak mengalami situasi terluka (dikukai)?.

 

Asyiknya, sosok "Walikota" dalam cerita "Sepatu Baru Buat Sarip" karya Abang Gol A Gong seakan menggarisbawahi sekaligus membantah situasi ini. “Dalam sebuah perlombaan, bukan soal siapa yang menang dan yang kalah. Tetapi yang terpenting dalam hidup ini terus berlatih dan meraih cita-cita". Dengan demikian, dalam hal meraih cita-cita, semua memiliki peluang yang sama. Tidak ada dikotomi/perbedaan laki-laki dan perempuan. Semua mendapat kesempatan yang sama untuk tiba di garis finis. Kuncinya adalah terus berlatih dan membaca banyak buku, membaca peluang dan membaca perubahan zaman dan menyesuaikan diri di dalamnya.

 

Membaca judul buku “Sepasang Luka” seperti membaca pengalaman dari sebuah situasi yang nyata terjadi. Kumpulan cerita yang jujur, lugu dan apa adanya. Terkadang saya berpikir, apakah saya sedang membaca karya sastra yang kaya imajinatif atau saya sedang membaca sebuah kumpulan kisah nyata. Tiga puluh orang penulis muda berbakat ini berhasil “membawa” saya sebagai pembacanya pada ruang rangsang yang menggetarkan. Luka itu terasa ada dan sempurna. Luka batin dan luka sosial. Luka yang sempurna.

 

Izinkan saya membagi “Sepasang Luka” itu dalam dua bentuk. Luka Pertama adalah luka bathin. Luka ini memang tidak nyata terlihat namun menusuk begitu dalam dan menembus. Jika tidak segera ditangani, luka ini akan mempengaruhi perangkat lunak seseorang yakni mental atau kejiwaannya. Sr. Maria Felicia (2010) menjelaskan masa-masa rawan mengalami luka bathin adalah masa dalam kandungan, masa kelahiran, masa bayi, masa kanak-kanak dan masa remaja/dewasa.

 

Dari pengalaman kami, Tim Cakrawala NTT ketika mendampingi peserta didik menulis, kami awali dengan materi “Katarsis Literasi”. Jika diarti sederhana, maka hal itu merupakan penyembuhan luka bathin melalui aktivitas membaca-menulis. Peserta pelatihan diminta menonton sebuah video kehidupan, semisal tentang perjuangan seorang ayah untuk menafkahi anak-anaknnya. Kemudian mereka diajak perlahan untuk menghadirkan situasi dalam video tersebut dalam ke dalam kehidupan riil yang mereka alami.

 

Betapa kami selalu terkejut, semua peserta itu menulis dalam isak tangis bahkan ada yang berteriak penuh marah dan benci. Kesimpulan sederhana selalu didapat, sebagian besar peserta yang hadir pernah mengalami situasi sulit dan bathin mereka terluka oleh banyak faktor.

 

Nah dalam buku ini, situasi itu terlihat jelas. Situasi bathin yang terluka. Izinkan saya membaginya ke dalam tiga faktor penyebab luka bathin tersebut. Pertama, pengaruh/efek dari budaya patriarkat. Seperti yang kita ketahui, hampir sebagian wilayah di Indonesia menganut budaya patriarkat di mana dominasi kaum laki-laki sangat besar. Kaum perempuan dimasukan ke dalam kelas minoritas dan hampir kehilangan kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Hal ini terlihat dari cerpen berjudul : Puan yang mencari keadilan, Luka dan perjodohan dini.

 

Kedua, kurangnnya perhatian, empati dan rasa kasih sayang dari orang-orang yang dicintai khususnya dari orangtua. Terlihat pada cerpen berjudul : Mengapa Aku Tak Seperti Mereka, Sepasang Luka yang Tidak Sebanding, Bukan hal yang dapat diambil, Harga sebuah nyawa dan Mama dan bunda. 

 

Ketiga, luka bathin sebagai efek lain dari penggunaan Medsos. Terlihat pada cerpen : Ingin pulang, Cheating team,Hijrah, Dalam gawaimu ada lukaku dan kebebasan berbuah penyesalan.

 

Luka kedua dan membuatnya menjadi sepasang luka (sempurna) adalah luka sosial. Luka ini datang dari sebuah situasi yang nyata terlihat. Luka ini seperti penyakit kanker yang terus menjalar dan jika tidak segera ditangani, maka bisa menghancurkan masa depan generasi bangsa secara masal. Luka sosial ini menyasar ke segala lini kehidupan dan tidak memandang usia dan wilayah. Maka saya membaginya dalam tiga jenis.

 

Pertama, korupsi. Ternyata efek laten dari korupsi merambat ke segala lini. Terlihat jelas dari cerpen berjudul : Sang anggota dewan, Mencuri dari rakyat, Keadilan di atas perasaan dan Nyanyian alam yang meninggalkan bayangan.

 

Kedua, ketidakadilan. Sikap atau perlakuan tidak adil juga ikut menyumbang luka. Terlihat dalam cerpen: Jangan bully aku, Selamat tinggal, Keadilan tak berujung, Ketika hidup tak sejalan, Nanar, Covid itu Busslit, Jerih payah seorang anak miskin dan Jadi seperti itu.

 

Ketiga, penyumbang luka terakhir adalah konteks lingkungan. Terlihat pada cerpen : Air jernih lingkungan bersih, Di mana, Seperdua jalan, Wayang kulit dan Kegagalan yang berbuah.

 

Luka itu sepasang. Luka batin dan luka sosial. Sebuah luka yang yang sempurna dan menembus jantung generasi yang masih remaja (muda-belia). Budaya patriarkat, pengaruh Medsos, kurangnya perhatian dan kasih sayang, efek korupsi, ketidakadilan dan lingkungan yang tidak kondusif adalah akar yang menjadi penyebab sehingga luka itu menjadi sepasang dan terlihat sempurna. Di titik ini, adalah lebih baik kita mengobati dan membalut luka itu ketimbang meratapinya apalagi berjuang mencari “kambing hitam”. Ini adalah luka kita bersama.

 

Luka itu harus segera dibalut dan disembuhkan karena masih ada yang terluka butuh jamahan dan perhatian dari kita. Masa depan bangsa ini ada dipundak para generasi yang sedang terluka (dilukai) ini. Maka ada beberapa langkah yang bisa ditempuh agar energi generasi bangsa ini lebih fokus pada upaya menemukan potensi diri untuk pembangunan bangsa ketimbang menghabiskan waktu untuk meratapi luka tersebut. 

 

Pertama, menyadari diri sebagai yang terluka (dilukai) adalah pintu masuk untuk menemukan obat ampuh yang mujarab. Kita dan bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Hadirnya covid 19 di tiga tahun terakhir, membuat luka itu makin melebar dan bernanah. Bangkit dan tumbuh bersama adalah ikhtiar yang harus menembus jantung semesta.

 

Sosok Walikota dalam cerita Mas Gol A Gong, “sepatu batu untuk sarip” kembali mengingatkan kita khususnya kepada ketigapuluh orang kawan muda saya untuk terus berlari, fokus dan padang ke depan. Ada mimpi yang harus digantungkan setinggi langgit dan jadilah bintang. Kita semua terlahir untuk luka dan Tuhan memberikan akal budi untuk kita mampu membalut dan menyembuhkannya. Membaca dan menulis adakah cara hebat untuk membalut dan menyembuhkan luka-luka itu.

 

Kedua, mengakarkan literasi, memberdayakan generasi. Ketigapuluh karya hebat ini hadir dari satu kecerdasan abad 21, yakni melek literasi khususnya literasi baca-tulis. Di NTT punya ikhtiar dalam satu gerakan, yakni gerakan sejuta buku. Media Pendidikan Cakrawala NTT sebagai media yang berfokus di bidang pendidikan terus bergerilya sejak tahun 2013 untuk terus mengakarkan budaya literasi dalam bentuk penerbitan majalah pendidikan, pelatihan menulis untuk para guru dan peserta didik serta penerbitan buku. Hingga saat ini, ada 63 buku karya guru dan anak-anak NTT yang diterbitkan dari hasil pendampingan menulis dari Tim Cakrawala. Ke depannya tim cakrawala akan diperkuat lagi oleh kawan-kawan dari rumah dunia, dampingan Mas Gol A gong Duta dan tentunya dukungan dari Perpustakan Nasional, Kantor Bahasa NTT dan Pemerintah Provinsi NTT melalui Bunda Literasi NTT.

 

Ketiga, apresiasi untuk Perpusnas yang telah memilih Duta Baca Indonesia tahun 2021-2025 dari kalangan penulis, pegiat dan petualang. Safari Literasi tahun 2022 ini memiliki efek besar terhadap semangat para pegiat di daerah. Saya adalah saksi untuk semua itu khususnya wilayah Provinsi NTT. Bersama meletakkan titik api di setiap titik dan saya yakini saja, gelora api literasi itu bakal berkibar di tahun-tahun yang akan datang. 

 

Bersama kita sepakat kalau bangsa kita memiliki minat baca yang besar. Saatnya kita memperbanyak bahan bacaan yang berkualitas. Kegiatan pendampingan menulis kepada para guru dan peserta didik serta menerbitkan buku bersama Duta Baca Indonesia adalah salah satu cara untuk mewujudkan mimpi itu. Generasi Emas NTT 2045 (NTT 2050). Saya bangga untuk pertama kalinya hadir di panggung nasional seperti ini setelah hampir sembilan tahun menerobos jalan sunyi literasi di seluruh pelosok NTT. Salam Literasi. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments