(Catatan Pinggir Untuk Buku “Sepasang Luka”)
Oleh : Gusty
Rikarno, S.Fil
(Jurnalis Media
Pendidikan Cakrawala NTT)
CAKRAWALANTT.COM - Mari kita mulai mengembara. Mengupas dan mengunyah
mulai bagian terluar hingga sisi terdalam isi buku kumpulan cerpen “Sepasang
Luka” karya Gol A Gong, dkk. Ada judul, ilustrasi dan warna sampul yang mampu
menggugah selera untuk segera membaca. Di bawah judul “Sepasang Luka”, terlihat
sepasang daun muda hijau yang berlubang. Daun dari sebuah pohon yang mungkin
sedang asyik- asyiknya bertumbuh dan atau sedang berbuah. Padahal selain
fotosintesis, fungsi utama sebuah daun adalah menjadi tempat menyimpan cadangan
air dan makanan.
Membayangkan saja situasi hidup dari sebuah pohon
yang daunnya banyak berlubang. Mungkinkah pohon itu berani pertaruhkan segala
kekuatan dalam dirinya untuk tumbuh dan mengabaikan luka yang ada atau ia
justru memilih menyerah, layu dan mati sebelum menjadi berarti? Luka itu begitu
dalam. Sepasang luka yang sempurna. Luka dalam yang terlalu dalam dan luka luar
yang terlihat tetapi terasa sulit disembuhkan.
Sepasang daun yang berlubang (terluka/dilukai) itu
dipadukan dengan latar warna kuning yang seakan memberi tanda dan simbol dari
sebuah hidup yang dipaksa untuk segera matang dan menerima takdir apa adanya.
Sepasang daun muda yang terluka itu memang ditakdirkan ada bersama seperti
kehadiran perempuan dan laki-laki yang diciptakan Tuhan untuk saling
melengkapi. Namun, bagaimana jika keduanya sama-sama terluka? Adakah mereka
masih bisa saling menerima dan melengkapi? Buku dengan ketebalan 200 halaman
ini didominasi oleh penulis remaja putri.
Apakah itu artinya, mereka (perempuan) adalah kaum
minoritas yang terlahir dengan banyak menerima dan mengalami situasi terluka?
Kaum lemah yang rentan menerima perlakuan atau situasi ketidakadilan?
Mungkinkah budaya patriarkat dapat dilihat sebagai salah satu faktor penyumbang
terbesar sehingga kaum perempuan banyak mengalami situasi terluka (dikukai)?.
Asyiknya, sosok "Walikota" dalam cerita
"Sepatu Baru Buat Sarip" karya Abang Gol A Gong seakan
menggarisbawahi sekaligus membantah situasi ini. “Dalam sebuah perlombaan,
bukan soal siapa yang menang dan yang kalah. Tetapi yang terpenting dalam hidup
ini terus berlatih dan meraih cita-cita". Dengan demikian, dalam hal
meraih cita-cita, semua memiliki peluang yang sama. Tidak ada dikotomi/perbedaan
laki-laki dan perempuan. Semua mendapat kesempatan yang sama untuk tiba di
garis finis. Kuncinya adalah terus berlatih dan membaca banyak buku, membaca
peluang dan membaca perubahan zaman dan menyesuaikan diri di dalamnya.
Membaca judul buku “Sepasang Luka” seperti membaca
pengalaman dari sebuah situasi yang nyata terjadi. Kumpulan cerita yang jujur,
lugu dan apa adanya. Terkadang saya berpikir, apakah saya sedang membaca karya
sastra yang kaya imajinatif atau saya sedang membaca sebuah kumpulan kisah
nyata. Tiga puluh orang penulis muda berbakat ini berhasil “membawa” saya
sebagai pembacanya pada ruang rangsang yang menggetarkan. Luka itu terasa ada
dan sempurna. Luka batin dan luka sosial. Luka yang sempurna.
Izinkan saya membagi “Sepasang Luka” itu dalam dua
bentuk. Luka Pertama adalah luka bathin. Luka ini memang tidak nyata terlihat
namun menusuk begitu dalam dan menembus. Jika tidak segera ditangani, luka ini
akan mempengaruhi perangkat lunak seseorang yakni mental atau kejiwaannya. Sr.
Maria Felicia (2010) menjelaskan masa-masa rawan mengalami luka bathin adalah
masa dalam kandungan, masa kelahiran, masa bayi, masa kanak-kanak dan masa
remaja/dewasa.
Dari pengalaman kami, Tim Cakrawala NTT ketika
mendampingi peserta didik menulis, kami awali dengan materi “Katarsis
Literasi”. Jika diarti sederhana, maka hal itu merupakan penyembuhan luka
bathin melalui aktivitas membaca-menulis. Peserta pelatihan diminta menonton
sebuah video kehidupan, semisal tentang perjuangan seorang ayah untuk menafkahi
anak-anaknnya. Kemudian mereka diajak perlahan untuk menghadirkan situasi dalam
video tersebut dalam ke dalam kehidupan riil yang mereka alami.
Betapa kami selalu terkejut, semua peserta itu
menulis dalam isak tangis bahkan ada yang berteriak penuh marah dan benci.
Kesimpulan sederhana selalu didapat, sebagian besar peserta yang hadir pernah
mengalami situasi sulit dan bathin mereka terluka oleh banyak faktor.
Nah dalam buku ini, situasi itu terlihat jelas.
Situasi bathin yang terluka. Izinkan saya membaginya ke dalam tiga faktor penyebab
luka bathin tersebut. Pertama, pengaruh/efek dari budaya patriarkat. Seperti
yang kita ketahui, hampir sebagian wilayah di Indonesia menganut budaya
patriarkat di mana dominasi kaum laki-laki sangat besar. Kaum perempuan
dimasukan ke dalam kelas minoritas dan hampir kehilangan kesempatan untuk
menjadi dirinya sendiri. Hal ini terlihat dari cerpen berjudul : Puan yang
mencari keadilan, Luka dan perjodohan dini.
Kedua, kurangnnya perhatian, empati dan rasa kasih
sayang dari orang-orang yang dicintai khususnya dari orangtua. Terlihat pada
cerpen berjudul : Mengapa Aku Tak Seperti Mereka, Sepasang Luka yang Tidak
Sebanding, Bukan hal yang dapat diambil, Harga sebuah nyawa dan Mama dan
bunda.
Ketiga, luka bathin sebagai efek lain dari
penggunaan Medsos. Terlihat pada cerpen : Ingin pulang, Cheating team,Hijrah,
Dalam gawaimu ada lukaku dan kebebasan berbuah penyesalan.
Luka kedua dan membuatnya menjadi sepasang luka
(sempurna) adalah luka sosial. Luka ini datang dari sebuah situasi yang nyata
terlihat. Luka ini seperti penyakit kanker yang terus menjalar dan jika tidak
segera ditangani, maka bisa menghancurkan masa depan generasi bangsa secara
masal. Luka sosial ini menyasar ke segala lini kehidupan dan tidak memandang
usia dan wilayah. Maka saya membaginya dalam tiga jenis.
Pertama, korupsi. Ternyata efek laten dari korupsi
merambat ke segala lini. Terlihat jelas dari cerpen berjudul : Sang anggota
dewan, Mencuri dari rakyat, Keadilan di atas perasaan dan Nyanyian alam yang
meninggalkan bayangan.
Kedua, ketidakadilan. Sikap atau perlakuan tidak
adil juga ikut menyumbang luka. Terlihat dalam cerpen: Jangan bully aku,
Selamat tinggal, Keadilan tak berujung, Ketika hidup tak sejalan, Nanar, Covid
itu Busslit, Jerih payah seorang anak miskin dan Jadi seperti itu.
Ketiga, penyumbang luka terakhir adalah konteks
lingkungan. Terlihat pada cerpen : Air jernih lingkungan bersih, Di mana,
Seperdua jalan, Wayang kulit dan Kegagalan yang berbuah.
Luka itu sepasang. Luka batin dan luka sosial.
Sebuah luka yang yang sempurna dan menembus jantung generasi yang masih remaja
(muda-belia). Budaya patriarkat, pengaruh Medsos, kurangnya perhatian dan kasih
sayang, efek korupsi, ketidakadilan dan lingkungan yang tidak kondusif adalah
akar yang menjadi penyebab sehingga luka itu menjadi sepasang dan terlihat
sempurna. Di titik ini, adalah lebih baik kita mengobati dan membalut luka itu
ketimbang meratapinya apalagi berjuang mencari “kambing hitam”. Ini adalah luka
kita bersama.
Luka itu harus segera dibalut dan disembuhkan karena
masih ada yang terluka butuh jamahan dan perhatian dari kita. Masa depan bangsa
ini ada dipundak para generasi yang sedang terluka (dilukai) ini. Maka ada
beberapa langkah yang bisa ditempuh agar energi generasi bangsa ini lebih fokus
pada upaya menemukan potensi diri untuk pembangunan bangsa ketimbang
menghabiskan waktu untuk meratapi luka tersebut.
Pertama, menyadari diri sebagai yang terluka
(dilukai) adalah pintu masuk untuk menemukan obat ampuh yang mujarab. Kita dan
bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Hadirnya covid 19 di tiga tahun
terakhir, membuat luka itu makin melebar dan bernanah. Bangkit dan tumbuh
bersama adalah ikhtiar yang harus menembus jantung semesta.
Sosok Walikota dalam cerita Mas Gol A Gong, “sepatu
batu untuk sarip” kembali mengingatkan kita khususnya kepada ketigapuluh orang
kawan muda saya untuk terus berlari, fokus dan padang ke depan. Ada mimpi yang
harus digantungkan setinggi langgit dan jadilah bintang. Kita semua terlahir
untuk luka dan Tuhan memberikan akal budi untuk kita mampu membalut dan
menyembuhkannya. Membaca dan menulis adakah cara hebat untuk membalut dan
menyembuhkan luka-luka itu.
Kedua, mengakarkan literasi, memberdayakan generasi.
Ketigapuluh karya hebat ini hadir dari satu kecerdasan abad 21, yakni melek
literasi khususnya literasi baca-tulis. Di NTT punya ikhtiar dalam satu gerakan,
yakni gerakan sejuta buku. Media Pendidikan Cakrawala NTT sebagai media yang berfokus
di bidang pendidikan terus bergerilya sejak tahun 2013 untuk terus mengakarkan
budaya literasi dalam bentuk penerbitan majalah pendidikan, pelatihan menulis
untuk para guru dan peserta didik serta penerbitan buku. Hingga saat ini, ada
63 buku karya guru dan anak-anak NTT yang diterbitkan dari hasil pendampingan
menulis dari Tim Cakrawala. Ke depannya tim cakrawala akan diperkuat lagi oleh
kawan-kawan dari rumah dunia, dampingan Mas Gol A gong Duta dan tentunya
dukungan dari Perpustakan Nasional, Kantor Bahasa NTT dan Pemerintah Provinsi
NTT melalui Bunda Literasi NTT.
Ketiga, apresiasi untuk Perpusnas yang telah memilih
Duta Baca Indonesia tahun 2021-2025 dari kalangan penulis, pegiat dan
petualang. Safari Literasi tahun 2022 ini memiliki efek besar terhadap semangat
para pegiat di daerah. Saya adalah saksi untuk semua itu khususnya wilayah
Provinsi NTT. Bersama meletakkan titik api di setiap titik dan saya yakini
saja, gelora api literasi itu bakal berkibar di tahun-tahun yang akan
datang.
Bersama kita sepakat kalau bangsa kita memiliki
minat baca yang besar. Saatnya kita memperbanyak bahan bacaan yang berkualitas.
Kegiatan pendampingan menulis kepada para guru dan peserta didik serta
menerbitkan buku bersama Duta Baca Indonesia adalah salah satu cara untuk
mewujudkan mimpi itu. Generasi Emas NTT 2045 (NTT 2050). Saya bangga untuk
pertama kalinya hadir di panggung nasional seperti ini setelah hampir sembilan
tahun menerobos jalan sunyi literasi di seluruh pelosok NTT. Salam Literasi. (MDj/red)
0 Comments