Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

DIALOG SEPI (2)

Cerpen Inocenty Loe*

Ilustrasi

 


Apa yang terberi, seperti angkasa yang rapuh oleh bintang di malam hari. Jika pemberian itu adalah kerapuhan yang diisi di dalam kebaikan, jiwa ini adalah bukti kekudusan yang dimengerti dunia sebagai sepengal mozaik, cerita Tuhan di dalam penderitaan. Mozaik ini, oleh iman dihayati sebagai bejana tanah liat yang bisa saja rapuh dan kita terperangkap di dalam rasa yang sama yaitu perjuangan.

 

Aku diam. Mata menatap kosong dan hati merenung. Aku hanya tak mengerti apa itu kata di dalam waktu. Apakah itu, dialog sepi? Yah, bisa saja, waktu adalah nyanyian hari yang mengingatkanku akan kata yang kau ucap. Jika pada samudera, ada keheningan yang tak terbatas, maka di tepian lautan aku mendengar kisah cinta Tuhan bagi hidupku, yaitu di saat kata tak sanggup mengucapkan doa, ciuman lautan pada pasir mengingatkanku akan jiwa yang disapa roh, sang kudus.

 

Atau seperti lautan yang tak mengering bahkan mempersempit daratan, aku menemukan keegoisan diri di dalam kerinduan akan Tuhan. Misteri kata yang terucap di dalam waktu, mungkin hanyalah lumpur pada tembok, tak menghancurkan tetapi memberi bekas. Dan untuk itulah aku ditakdirkan. Untuk memahami kata dalam waktu bukan sebagai fakta duniawi tetapi sebagai ekspresi terbatas dari yang takterbatas. Kata di dalam waktu adalah ciuman tak tersentuh antara aku dan engkau.

 

Mungkin benar bahwa kau keliru memahami diriku, tetapi setidaknya, kata yang telah terucap di dalam waktu mampu membuatmu mengerti, seperti suara burung gereja menyadarkanmu dari buaian ketaksadaran. Dan ketika kesadaranmu adalah tentang kegelisahan yang sempat mencuat di dalam mimpi karena takut kehilangan diriku, izinkanlah aku mengukirnya bukan di dalam lembaran berdebu tetapi di sini, di hatiku.

 

Sebab untuk itulah aku hadir bagi dirimu, bukan untuk menyapamu dalam nama diri tetapi dalam nama keabadian waktu, yang oleh udara disebut sebagai cinta tanpa berhenti berhembus. Aku adalah Tuhan yang memelukmu di dalam keterbatasan dan kelemahan manusiawi. Dan lagi-lagi, oleh cinta yang dititipkan Tuhan, aku hanya punya seulas senyum yang dapat kuberikan untuk dirimu. Itulah cintaku, yang terbatas dari yang tak akan pernah terbatas.

 

Yang terbatas adalah diriku tetapi Tuhan adalah ketakterbatasan. Padanya, aku mencintaimu dengan cara yang terbatas. Bukan lagi dalam hidup yang pasti berakhir, tetapi di dalam kematian yang tak pernah berujung. Jika cintaku padamu adalah dunia kematian yang tak ada kematian, maka izikanlah kukecup dirimu di kehidupan ini dan biarkan membekas hingga tanganmu kugenggam di dalam pelukan Tuhan.

 

Aku yang pernah menyakiti hatimu, itu karena aku adalah pencinta ilahi yang terperangkap di dalam kemanusiaan. Memelukmu di dalam kefanaan tubuh dan mencintaimu di dalam keterbatasan jiwa. Seandainya aku adalah waktu, biarkan kuukir kata di dalam diriku dan ketika pagi membangunkanmu, kau akan tetap mengingat diriku di setiap saat dalam hidupmu.

 

Seandainya engkau adalah kata di dalam waktu itu, aku hanya punya telinga yang tidak sanggup mendengar dan mata yang tidak sanggup menengok, tetapi aku punya hati yang akan tetap mencintaimu di dalam sekian terbatasnya tubuh mengungkapkan ekspresi. Biar aku adalah rasa yang terbatas tetapi aku akan selalu membisikan cinta di dalam cerita hidupmu dan mengukir di hatimu dari lumpur hidupku. Kau adalah Tuhan yang menyapaku di dalam kemanusiaanmu.


*Staf pengajar SMAK Giovanni Kupang, Editor dan Formatur Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT.


(red)


Post a Comment

1 Comments