Cerpen Inocenty
Loe*
Ilustrasi |
Apa yang terberi, seperti angkasa yang rapuh oleh
bintang di malam hari. Jika pemberian itu adalah kerapuhan yang diisi di dalam
kebaikan, jiwa ini adalah bukti kekudusan yang dimengerti dunia sebagai
sepengal mozaik, cerita Tuhan di dalam penderitaan. Mozaik ini, oleh iman
dihayati sebagai bejana tanah liat yang bisa saja rapuh dan kita terperangkap
di dalam rasa yang sama yaitu perjuangan.
Aku diam. Mata menatap kosong dan hati merenung. Aku
hanya tak mengerti apa itu kata di dalam waktu. Apakah itu, dialog sepi? Yah,
bisa saja, waktu adalah nyanyian hari yang mengingatkanku akan kata yang kau
ucap. Jika pada samudera, ada keheningan yang tak terbatas, maka di tepian
lautan aku mendengar kisah cinta Tuhan bagi hidupku, yaitu di saat kata tak
sanggup mengucapkan doa, ciuman lautan pada pasir mengingatkanku akan jiwa yang
disapa roh, sang kudus.
Atau seperti lautan yang tak mengering bahkan
mempersempit daratan, aku menemukan keegoisan diri di dalam kerinduan akan
Tuhan. Misteri kata yang terucap di dalam waktu, mungkin hanyalah lumpur pada
tembok, tak menghancurkan tetapi memberi bekas. Dan untuk itulah aku
ditakdirkan. Untuk memahami kata dalam waktu bukan sebagai fakta duniawi tetapi
sebagai ekspresi terbatas dari yang takterbatas. Kata di dalam waktu adalah
ciuman tak tersentuh antara aku dan engkau.
Mungkin benar bahwa kau keliru memahami diriku,
tetapi setidaknya, kata yang telah terucap di dalam waktu mampu membuatmu
mengerti, seperti suara burung gereja menyadarkanmu dari buaian ketaksadaran.
Dan ketika kesadaranmu adalah tentang kegelisahan yang sempat mencuat di dalam
mimpi karena takut kehilangan diriku, izinkanlah aku mengukirnya bukan di dalam
lembaran berdebu tetapi di sini, di hatiku.
Sebab untuk itulah aku hadir bagi dirimu, bukan
untuk menyapamu dalam nama diri tetapi dalam nama keabadian waktu, yang oleh
udara disebut sebagai cinta tanpa berhenti berhembus. Aku adalah Tuhan yang
memelukmu di dalam keterbatasan dan kelemahan manusiawi. Dan lagi-lagi, oleh
cinta yang dititipkan Tuhan, aku hanya punya seulas senyum yang dapat kuberikan
untuk dirimu. Itulah cintaku, yang terbatas dari yang tak akan pernah terbatas.
Yang terbatas adalah diriku tetapi Tuhan adalah
ketakterbatasan. Padanya, aku mencintaimu dengan cara yang terbatas. Bukan lagi
dalam hidup yang pasti berakhir, tetapi di dalam kematian yang tak pernah
berujung. Jika cintaku padamu adalah dunia kematian yang tak ada kematian, maka
izikanlah kukecup dirimu di kehidupan ini dan biarkan membekas hingga tanganmu
kugenggam di dalam pelukan Tuhan.
Aku yang pernah menyakiti hatimu, itu karena aku
adalah pencinta ilahi yang terperangkap di dalam kemanusiaan. Memelukmu di
dalam kefanaan tubuh dan mencintaimu di dalam keterbatasan jiwa. Seandainya aku
adalah waktu, biarkan kuukir kata di dalam diriku dan ketika pagi
membangunkanmu, kau akan tetap mengingat diriku di setiap saat dalam hidupmu.
Seandainya engkau adalah kata di dalam waktu itu,
aku hanya punya telinga yang tidak sanggup mendengar dan mata yang tidak
sanggup menengok, tetapi aku punya hati yang akan tetap mencintaimu di dalam sekian
terbatasnya tubuh mengungkapkan ekspresi. Biar aku adalah rasa yang terbatas
tetapi aku akan selalu membisikan cinta di dalam cerita hidupmu dan mengukir di
hatimu dari lumpur hidupku. Kau adalah Tuhan yang menyapaku di dalam
kemanusiaanmu.
*Staf
pengajar SMAK Giovanni Kupang, Editor dan Formatur Media Pendidikan Cakrawala
(MPC) NTT.
(red)
1 Comments
Keren
ReplyDelete