Oleh : RD. Drs. Leonardus Asuk, Pr.,MA
(Kepala SMAS Seminari Lalian)
CAKRAWALANTT.COM - Manusia
adalah mahluk sosial (homo ens sociale) yang saling
berkorelasi dan berhubungan erat satu sama lain. Interaksi sosial ini terjadi
apabila setiap orang mampu mempraktikan nilai moral sopan santun dalam sebuah komunitas,
persekutuan (communion) secara utuh,
sempurna dan komprehensif.
Nilai moral sopan santun merupakan salah satu unsur
hakiki dalam kehidupan manusia karena setiap pribadi manusia yang bermartabat,
bergerak menuju kepada kesempurnaan jati dirinya sehingga manusia mampu mempraktikan
nilai moral sopan santun. Hal tersebut merupakan bagian integral dalam kehidupan setiap pribadi.
Karena itu, nilai sopan santun merupakan kegiatan
individu-invidu dalam hubungan dengan sesama yang bisa dideteksi dan dipantau
sesuai kadar situasi tertentu, sejauh mana tindakan seseorang dalam menghargai,
menjujung tinggi serta berahklak mulia. Nilai sopan santun dianggap sebagai
nilai tak tertulis, tetapi turut mempengaruhi tata cara hidup, dan kebudayaan
bermasyarakat.
Namun, dalam dinamika kehidupan bermasyarakat sering
kali orang cenderung melalaikan “kebiasaan” mempraktikan nilai moral sopan
santun dan gampang meremehkan nilai moral tersebut, sehingga terkesan masa
bodoh dan meresahkan perkembangan dan kemajuan bersama serta menjungkirbalikan fakta
yang baik dan benar. Maka, masyarakat
pada umumnya, baik secara pribadi maupun bersama mempertentangkan atau
mencampuradukan nilai kesantunan dan ketaksantunan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Fakta yang terjadi di masyarakat ini, terjadi juga dalam
lingkungan sekolah, khususnya para seminaris. Sebagai bukti bahwa para
seminaris berasal dari keluarga-keluarga Katolik pada umumnya dan secara
istimewa pada keluarga seminaris yang kurang mempedulikan nilai-nilai sopan
santun dalam keluarga, sehingga masalah ini merembes masuk ke alam bawah sadar
para seminaris sebagai calon-calon pewarta Sabda Allah dan sejauh mana pembentukan
diri para seminaris di Lembaga Pendidikan
Seminari Lalian.
Nilai sopan santun harus melekat dalam diri para
seminaris dalam bentuk penghayatan nilai tersebut, sehingga dinilai sesuai
dengan maksud dan tujuan panggilannya untuk menjadi imam Allah. Sujiono (2009 :
126) merumuskan nilai sopan santun sebagai bagian dari budi pekerti yang dapat
membentuk sikap terhadap manusia, Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa dan alam sekitar. Pendapat senada juga dijelaskan oleh Teori Behaviors
bahwa perilaku seluruh umat manusia dapat diamati sebagai respons yang
terbentuk dari berbagai stimulus yang pernah diterimanya dari lingkungannya (Sujiono,
2009: 140).
Berdasarkan konsep di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa tindakan sopan santun merupakan bagian dari budi pekerti, yakni cerminan
dari kepribadian seseorang yang tampak dalam perbuatan dan interaksi terhadap
orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Dalam konteks peserta didik, tindakan tersebut
mencakup moral, disiplin, sikap beragama, sosial, emosi dan konsep diri.
Sedangkan, menurut Markhamah (2009 : 117), istilah
sopan santun terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu sopan yang berarti : 1) Hormat
dan takzim (akan, kepada) tertib menurut adat yang baik. 2) beradab tentang
tingkah laku, tutur kata, pakaian, dsb). 3) baik kelakuannya (tidak lacur,
tidak cabul); serta santun yang berarti : 1) halus dan baik (budi bahasanya,
tingkah lakunya), 2) penuh rasa belas kasihan, suka menolong.
Sementara itu, Harton (2007: 11) mengartikan sopan
santun sebagai kebiasaan yang baik dan disepakati dalam lingkungan pergaulan
antar manusia setempat. Sopan santun terdiri atas “sopan” yang berarti adat,
aturan, norma, peraturan, serta “santun” yang berarti norma, bahasa yang taklim
(amat hormat), kelakuan, tindakan, dan perbuatan.
Berdasarkan beberapa teori mengenai sopan santun di
atas dapat disimpulkan bahwa sopan santun berarti sikap atau perilaku yang
tertib sesuai dengan adat istiadat atau norma yang berlaku dalam pergaulan
antara manusia dalam perilaku setiap harinya memiliki sikap saling menghormati,
bertutur kata baik, bersikap rendah hati, serta suka menolong (Alam, 2004: 10).
Menurut Hartono, ukuran atau dasar perilaku,
tindakan sopan santun adalah memberikan perhatian terhadap perasaan orang lain
(consideration for others). Sedangkan.
Rusyan (2013: 212) berpendapat bahwa ukuran perilaku atau tindakan sopan santun
terletak pada ketaksombongan, kelancaran, selera baik, perpatutan, serta
menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat. Dengan patokan pada norma kita
mampu berelasi dengan semua orang dalam komunitas.
Oleh karena itu,
kualitas tindakan sopan santun
secara dasariah dipantau dari suatu sikap yang ramah kepada sesama, menaruh hormat, dan mengikuti suatu peraturan. Tindakan sopan santun lebih
mengedepankan pribadi yang unik serta menghargai semua orang tanpa kecuali.
Tentang forma tindakan dan sejauh mana
menaruh hormat serta mengamankan
norma seharusnya disesuaikan dengan adat
atau kebiasaan dari lokasi yang dihuninya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
masuk juga dalam komunitas para seminaris, sehingga sering kali nilai sopan
santun dikendorkan begitu saja tanpa menempatkan nilai-nilai unggul dan
nilai-nilai pendukung sebagai motivasi awal menjadi imam. Makanya, kami
menawarkan beberapa solusi untuk menjadi perhatian para seminaris guna meningkatkan
kesadaran dalam mengaplikasikan nilai sopan santun dalam sekolah maupun asrama
seminari.
Peningkatan “Pengawasan Sosial” terhadap para
seminaris, baik di sekolah dan asrama bisa dilakukan melalui kata-kata, sikap, dan
teladan hidup yang baik sebagai seorang seminaris. Membaca situasi, kondisi dan
lingkungan seminaris (the right man on
the right place) sebagai komunitas rohani dalam hal Kekudusan (Sanctitas), Intelektual (Scientia), Kesehatan (Sanitas),
Kemanusiaan (Humanitas),
Kebijaksanaan (Sapientia) adalah
hal-hal yang harus diperhatikan agar nilai sopan santun dapat terealisir.
Selain itu, peningkatan nilai-nilai utama sebagai
Kebajikan Kristiani, yakni iman, harap, kasih dan ditopang dengan nilai-nilai
lain, seperti kepercayaan, tanggung jawab, rela berkorban, kejujuran,
kesetiaan, kemandirian, kesusilaan dan sebagainya bisa menjadi landasan jiwa
dan semangat patriotik para seminaris. Terakhir, meningkatkan “kepekaan sosial”
dan “rasa memiliki” (easy going) terhadap
nilai sopan santun sangat membantu dalam proses panggilan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak
Usia Dini, (Jakarta:PT.Indeks,2009),126.
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak
Usia Dini, 140.
Markhamah, Analisis Kesalahan dan Kesantunan
Berbahasa, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2009), 117.
Hartono, Sopan Santun dalam Pergaulan, (Bandung: CV.
Armico, 2007), 11.
G Surya Alam, Etika dan Etiket Bergaul, (Semarang:
Aneka Ilmu, 2004), 10.
A. Tabrani Rusyan, Membangun disiplin Karakter Anak
Bangsa, (Jakarta: PT.Pustaka Dinamika, 2013), 212.
(red)
0 Comments