Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

STIGMATISASI RUANG KOLEKTIF DAN ‘AKAR’ EPISTEMOLOGIS KEKERASAN MASSA

 


Oleh : Mariano Puken


CAKRAWALANTT.COM - Kekerasan massa yang terjadi di Indonesia menimbulkan sejumlah pertanyaan yang perlu dikaji dengan serius. Sebut saja pembantaian PKI tahun 1965, kerusuhan Mei 1998, perang saudara di Maluku, perseteruan etnis dayak dan Madura, tawuran pelajaran dan juga mahasiswa. Mengapa kekerasan senantiasa menjadi bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia? Mengapa kelompok tertentu dapat menjadikan tindakan kekerasan sebagai upaya untuk survive seperti hewan di hutan yang saling membunuh demi bertahan hidup? Apa sesungguhnya yang menjadi alasan dasar tindakan kekerasan yang begitu keji dilakukan oleh manusia-manusia yang berhati nurani?

 

Beberapa pakar dari berbagai bidang ilmu seperti sosiologi, psikologi, ekonomi bahkan juga teologi telah mencoba mencari alasan-alasan dasariah dari permasalahan ini. Pencarian itu berujung pada penemuan faktor-faktor empiris yang menjadi alasan mengapa tindakan kekerasan massa dapat terjadi. Faktor-faktor itu antara lain adalah kondisi sosio-politik, sistem ekonomi yang menindas kelompok tertentu, kebencian dan dendam yang diwariskan secara sistemik dari satu generasi ke generasi berikut dari suatu kelompok tertentu atau juga krisis iman yang dipengaruhi trend sekularisasi yang memisahkan secara tegas kehidupan profan dan religius. Semua faktor ini, berasal dari luar individu.

 

Selain itu, faktor-faktor tersebut pada kondisi-kondisi lain ternyata tidak menyebabkan tindakan kekerasan. Dengan demikian, faktor-faktor empiris ini tidak memadai lagi untuk menjelaskan fenomena tindakan kekerasan massa yang terjadi. Hal yang mesti dikaji lebih jauh adalah kondisi-kondisi macam manakah, yang terutama berasal dari diri individu, dapat menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan massa.

 

Budi Hardiman mencoba mencari akar terdalam dari persoalan ini. Fokus utamanya bukan lagi pada faktor-faktor empiris yang menyebabkan kekerasan terjadi, tetapi lebih pada “akar-akar” yang lebih mengacu pada the conditions of possibility tindakan kekerasan. Kondisi-kondisi yang dimaksud tidak sekedar kondisi-kondisi di luar individu, melainkan juga di dalam diri individu. Ada tiga akar kekerasan terkait dengan conditio humana yang dikemukankan Budi Hardiman, yaitu: yang bersifat epistemologis, antropologis, dan sosiologis. Dalam tulisan ini saya akan memfokuskan seluruh komentar pada akar tindakan kekerasan yang bersifat epistemologis.

 

Tesis utama yang dikemukakan oleh Hardiman berkaitan dengan akar epistemologis tindakan kekerasan adalah kemampuan mengenal pada subjek mengenal (manusia) dalam kondisi ancaman menyebabkan dehumanisasi dan depersonalisasi sehingga manusia lain diobjektivikasi dengan mudah. Maka, kekerasan objek tertentu menjadi hal yang sah-sah saja, karena kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama, melainkan yang lain. Dalam kondisi normal proses pengenalan, Ego mengenali alter pertama-tama sebagai anggota suatu kelompok, misalnya, “Dia orang Kristen”, “Dia pendukung si A”, “Dia anggota partai ini”.

 

Jika hubungan menjadi kian personal, maka sebagaimana diungkapkan Simmel, sang “kamu” akan tampil sebagai individu tertentu. Pada fase individualisasi ini, lama-kelamaan perbedaan menjadi kabur dan sang “Kamu” menjadi “sesama”. Dengan demikian, tindakan kekerasan mungkin karena proses pengenalan tidak berkembang dan tertambat pada fase kolektivisasi. Akibatnya, manusia dilihat sebagai eleman massa, bukan sebagai person. Kondisi ini, memungkinkan adanya stigmasisasi sebagai bentuk degradasi yang terjadi pada pengenalan objektif.

 

Kesimpulan yang dikemukakan Budi Hardiman adalah bahwa tindakan kekerasan sudah terkondisi di dalam struktur pikiran manusia sendiri. Di dalam rasio kita sudah melekat kemampuan abstraksi yang dalam situasi ancaman menjadi dehumanisasi dan depersonalisasi manusia lain. Kita perlu mencermati ulang tesis yang dikemukakan oleh Budi Hardiman ini, sebab jangan sampai kemampuan mengenal dengan serta merta dijadikan semacam potensi yang pada situasi ancaman terealisir menjadi dehumanisasi dan depersonalisasi lain.

 

Pertama-tama, kiranya kita mesti menyelidiki lebih jauh “mengenal” seperti apa atau mengenal yang bagaimana yang dimaksud oleh Hardiman. Titik tolaknya adalah kesimpulan akhir Hardiman bahwa “akar epistemologis kekerasan kita temukan dalam fakta bahwa di dalam rasio kita sudah melekat kemampuan abstraksi yang dalam situasi ancaman menjadi dehumanisasi dan depersonalisasi manusia lain. Dari akar epistemologis ini lahir ideologi-ideologi atau sistem-sistem yang mendisosiasikan manusia ke dalam ‘kawan’ dan ‘lawan’. Dalam dokotomi ini korban dipersepsi sebagai ancaman kelompok.

 

Dengan demikian, ‘mengenal’ yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan rasio melakukan abstraksi terhadap realitas tertentu. Mengenal pada taraf ini mengandaikan penampakkan objek di dalam realitas tertentu sebagai apa. Namun, apakah identifikasi objek pada subjek adalah murni sebagai aktivitas objek ataukah subjek yang mengenal objek sebagai sesuatu tertentu?

 

Untuk menjawabi persoalan ini, kita mesti melihat prinsip kerja rasio dalam mengenal. Yang dikenal pertama oleh rasio adalah esse. Rasio pertama-tama mengetahui bahwa bahwa ada sesuatu. Lalu barulah di tahap selanjutnya rasio mengidentifikasi ada sesuatu “sebagai orang Madura”, ”sebagai orang Kristen”, “sebagai anggota PKI”. Ini berarti, mengenal, pada tahap identifikasi, adalah aktivitas subjek mengenal yang mengaktualisasi potensi abstraksinya.

 

Pada tahap ini, subjek mulai menyadari adanya perbedaan antara dirinya dengan objek yang dikenal sebab setiap objek memiliki modus essendi yang khas. Namun, perlu ditegaskan lagi bahwa dalam aktus mengenal itu, objek tidak kehilangan apa-apa melainkan memperoleh cara berada yang baru (forma accidentalis), yakni cara berada intensional dalam intelek subjek mengenal.

 

Kalau demikian, timbul pertanyaan lain. Bagaimana mungkin kondisi ini dapat dijelaskan sebagai akar epistemologis, dalam arti kondisi di dalam diri individu pelaku tindakan kekerasan? Apakah kemampuan abstraksi subjek mengenal dalam kondisi ancaman senantiasa melahirkan dehumanisasi dan depersonalisasi sebagai cara berada intensional dalam diri subjek mengenal?  Di sini kita menemukan indikasi adanya bahaya generalisasi.

 

Jika Hardiman mengakui eksistensi “ruang kolektif” maka harus juga diakui adanya karakter kolektif yang khas dari setiap kolektivitas. Setiap kolektivitas memiliki cara berada mereka masing-masing. Latar belakang atau motivasi terbentuknyanya kolektivitas tertentu memiliki sumbangan yang penting bagi pembentukan karater kolektif yang menegaskan cara berada yang unik dari sebuah kolektivitas.

 

Maka, dehumanisasi dan depersonalisasi bukanlah konsekuensi logis dari kemampuan subjek membuat abstraksi dalam kondisi ancaman. Setiap kolektivitas akan menegaskan cara berada mereka masing-masing yang khas dan tentu saja penegasan ini tidak dapat diidentikkan dengan dehumanisasi dan depersonalisasi, karena masing-masing memiliki bentuk penegasannya yang tidak mungkin sama persis dengan yang lain. Jika Hardiman melakukan generalisasi terhadap semua bentuk kolektivitas, maka ia mengabaikan cara berada dari setiap kolektivitas yang distink dengan yang lain.

 

Keberadaan ruang kolektif di sini dianggap sebagai semacam potentia yang terarah kepada tujuan dehumanisasi dan depersonalisasi. Adanya ruang kolektif seolah untuk diaktualisasi pada tujuan yang sesuai dengannya, yaitu dehumanisasi dan depersonalisasi. Dengan demikian, kita lihat bahwa di sini terjadi stereotipifikasi negatif ruang kolektif karena ruang kolektif ini diidentikkan dengan potensi dehumanisasi dan depersonalisasi. Apakah ruang kolektif pada kondisi ancaman identik dengan kolektivisme mutlak?

 

Kalau demikian, akar epistemologis dari tindakan kekerasan tidak lagi ditentukan oleh kemampuan abstraksi  subjek mengenal dalam kondisi ancaman,  tetapi ditentukan oleh cara berada subjek  mengenal yang khas sebagai kolektivitas tertentu. Mengenal itu sendiri secara epistemologis adalah sebuah aktus. Aktus ini menyebabkan sebuah kolektivitas dalam ancaman diaktualisasi dengan segala kekhasan yang ada padanya. Maka, kemampuan abstraksi di sini akan berada secara berbeda pada setiap kolektivitas dalam keadaan ancaman.


Pengenalan yang terhambat pada taraf kolektivitas menurut Hardiman dapat menjadi bibit dari berbagai bentuk tindakan kekerasan massa. Maka pengenalan sesungguhnya harus bermuara pada pengenalan personal. Individu dikenal secara personal bukan bagian dari kolektivitas tertentu. Maka, pengenalan terhadap satu bentuk kolektivitas juga semestinya bermuara pada pengenalan persona kolektif. Hardiman tidak bisa begitu saja melakukan generalisasi terhadap semua bentuk kolektivitas sebagai identik. Dengan demikian, akar epistemologis dari kekerasan tidak bisa dilepaspisahkan dari kekhasan individu dan juga tidak bisa mengabaikan keberadaan persona kolektif. (aspek metafisis).

 

 REFERENSI

Daven, Mathias. EPISTEMOLOGI (manuskrip). Maumere: Ledalero, 2013.

Daven, Mathias. METAFISIKA (manuskrip). Maumere: Ledalero, 2015.

Hardiman, F. Budi. Massa, Teror, dan Trauma. Yogyakarta: Lamalera dan Ledalero, 2010.


Editor : Mario Djegho (red)


Post a Comment

0 Comments