(Catatan Reflektif atas Peringatan Hari Literasi Internasional di SMPK Alvares Paga)
Sikka, CAKRAWALANTT.COM - Seorang penulis kebanggaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah berujar, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Bung Pram, demikian sapaannya, merupakan penulis paling produktif dalam sejarah kepenulisan Indonesia.
Uniknya, Pram memulai proses kreatifnya dari sebuah keterasingan. Dia menulis dalam sunyi. Kesunyian membawanya ke dalam lembaran-lembaran naratif atas refleksi perjalanan bangsa Indonesia. Ada begitu banyak momentum sejarah yang tersirat ke dalam catatan-catatannya.
Di dalam
aksara yang terlukis itulah dia hidup untuk keabadian. Dia terus hidup, walau
raganya perlahan redup. Dia hidup dalam sejarah karena karyanya selalu
dipelajari. Dia hidup di masa kini karena pikirannya selalu diulas. Dan dia
juga akan hidup di masa yang akan datang, sebab refleksi yang dibangunnya
menjadi pijakan generasi masa kini untuk melangkah di hari esok. Singkatnya,
Pram terus hidup dalam sejarah bangsa ini.
Kisah Pram
tersebut juga mulai terlukis indah dalam semangat para warga SMPK Alvares Paga.
Lembaga pendidikan menengah yang terletak di Kabupaten Sikka, Pulau Flores
tersebut kini gencar menguatkan budaya menulis sebagaimana yang dilakukan oleh
Bung Pram. Pada peringatan Hari Literasi Internasional, Rabu (09/08/2021), para
guru dan peserta didik didorong untuk menuangkan semua ide, gagasan, dan
imajinasi di atas lembaran kertas kosong.
Di bawah
naungan tema “Literacy for a
human-centered recovery: Narrowing the digital divide”, Kepala SMPK Alvares
Paga, RP. Octavianus T. Setu, O.Carm, S.Fil.,M.Th mengajak seluruh guru
(pendidik) dan peserta didik untuk mengawali hari tersebut dengan kegiatan
menulis selama tiga puluh menit. Baginya, tidak ada frasa “tidak bisa” apabila
belum pernah memulainya. Pada peringatan hari literasi tersebut, tuturnya,
seluruh kalangan masyarakat diingatkan akan pentingnya literasi sebagai masalah
martabat dan hak asasi manusia (HAM). Hal tersebut tentunya bisa memajukan
agenda literasi menuju masyarakat yang lebih melek huruf serta
berkelanjutan.
Pada kegiatan
tersebut, para guru dan peserta didik diberikan kesempatan selama tiga puluh
menit untuk menulis sejak Pukul 07:30-08:00 Wita. Para guru diberikan ruang
untuk menulis tulisan sejenis artikel ilmiah dan hal-hal lain menyangkut materi
pembelajaran menggunakan media laptop dan sebagainya.
Sedangkan,
para peserta didik diminta untuk menulis puisi dengan tema bebas dalam kertas
HVS polos. Semua tulisan tersebut akan dikumpulkan dan dikurasi sebaik mungkin
guna mewujudkan rencana penerbitan buku karya guru dan peserta didik jilid
kedua. Kegiatan tersebut juga menjadi kesempatan yang layak untuk mendukung
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan bagian-bagian substansialnya.
Lebih lanjut,
RP. Octavianus juga memberikan motivasi kepada para peserta didik dari kelas ke
kelas. Ia menegaskan bahwa untuk menulis sesuatu, tidak boleh terdapat jeda
yang lama. Dalam proses menulis, ujarnya, para peserta didik harus mampu menulis
apa yang ada dalam pikirannya, bukannya memikirkan apa yang hendak ditulis.
Baginya, apa yang telah ditulis memiliki arti dan maknanya sendiri. Oleh sebab
itu, sambungnya, jangan pernah ragu untuk memulai sebuah kegiatan menulis.
“Cobalah untuk
memulai tanpa harus membutuhkan jedah yang terlalu lama. Tulis saja apa yang
dipikirkan dan jangan memikirkan apa yang hendak ditulis. Semua yang kita tulis
pasti menyimpan maknanya tersendiri. Jadi jangan takut memulai, teruslah
menulis,” pungkasnya.
Pada dasarnya,
terdapat begitu banyak hal yang bisa dikembangkan oleh pihak sekolah guna
menunjang peningkatan budaya literasi di lingkungan sekolah, seperti; kegiatan
tahunan, semesteran, maupun kegiatan kelas. Majalah dinding (mading) merupakan
salah satu hal sederhana yang bisa mengatasi persoalan literatif.
Dewasa ini,
literasi menjadi salah satu hal urgen dalam ruang publik, termasuk dunia
pendidikan. Literasi kemudian bertransformasi menjadi kecakapan di abad 21 ini,
sehingga setiap lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal selalu
memberikan ruang bagi peserta didik dan pendidik untuk giat berliterasi.
Namun, di
tengah situasi pandemi Covid-19 ini, para peserta didik dan pendidik harus
terus berkarya, walaupun “terasingkan” dari kegiatan tatap muka. Seperti halnya
Pram yang bisa berkarya dari keterbatasan sunyi, para pendidik dan peserta
didik di lingkup SMPK Alvares Paga juga harus mampu berkarya, berekspresi, dan
berkreasi tanpa batas di antara lingkungan yang terbatas.
Di lain sisi,
pada era konvergensi media yang menuntut digitalisasi ini, aktivitas para
peserta didik harusnya diimbangi dengan kegiatan membaca dan menulis. Hal
tersebut harus terus dibiasakan agar pertumbuhan dan perkembangan peserta didik
bisa teraktualisasi secara matang serta seimbang.
Dengan proses
peningkatan literasi sekolah lewat kegiatan menulis selama tiga puluh menit,
para peserta didik dan guru bisa membudayakan semangat literasi secara terus
menerus. Kelak, ketika budaya menulis telah menjadi kebiasaan bahkan “candu”
positif, maka pola pikir kritis, kreatif, dan imajinatif bisa terbentuk.
Melalui pemikiran tersebut, semua inovasi dan perwujudan sumber daya manusia
(SDM) unggul bisa terpenuhi pada generasi emas 2045 mendatang.
Teks dan Foto
: Tim Humas SMPK Alvarez Paga
Editor : Mario
Djegho (red)
0 Comments