Jakarta, CAKRAWALANTT.COM - Keputusan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek)
untuk membubarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) memicu polemik.
Kebijakan tersebut dinilai bisa berdampak pada kualitas pendidikan di
Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh mantan anggota BSNP, Doni Koesoema,
Rabu (01/09/2021). Menurutnya, objektivitas pada pengembangan dan evaluasi
keterlaksanaan standar pendidikan akan sulit terukur karena tidak adanya
independensi dari lembaga pengganti BSNP.
Ia
menambahkan bahwa bisa saja standar yang ditetapkan oleh lembaga pengganti
tersebut tidak sesuai dengan kelayakan standar pendidikan pada umumnya. Hal
itu, imbuhnya, bisa dianggap sebagai upaya pemenuhan terhadap target capaian
pendidikan nasional oleh pemerintah dengan menurunkan standarnya. Padahal,
ujarnya, pendidikan yang berkualitas adalah hak rakyat yang dijamin oleh
Undang-Undang.
“Ini
contohnya. Proses belajar mengajar adalah salah satu standar yang ditetapkan
BSNP. Sejauh ini standar tentang proses belajar mengajar yang ditetapkan BSNP
sudah baik. Namun yang menjadi masalah adalah penerapan proses belajar oleh guru
yang kompeten,” ungkapnya.
Lebih
lanjut, terang Doni, BSNP juga menetapkan standar tenaga kependidikan untuk
memastikan kualitas dan kompetensi para guru yang mengajar di dalam kelas.
Sementara itu, sambungnya, pihak yang berkewajiban untuk menyediakan guru-guru
yang berkualitas dan sejahtera adalah pemerintah. Selain itu, paparrnya, BSNP
dibentuk secara terpisah dari Kemendikbudristek secara mandiri untuk melakukan
pendekatan serta pengembangan guru secara menyeluruh dan independen.
“Jadi
BSNP membuat standar, pemerintah melaksanakannya, badan akreditasi menilai kualitasnya,”
jelasnya.
Tidak Menyalahi UU
Sisdiknas
Pembubaran
BSNP tersebut turut mengundang tudingan dari sejumlah pihak karena menyalahi UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal tersebut merujuk
pada bunyi Pasal 35 Ayat 3 UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa badan
standarisasi harus mandiri.
Menepis
hal tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Humas
Kemendikbusristek, Anang Ristanti menerangkan bahwa penggabungan badan
standarisasi pendidikan di bawah naungan Kemendikbudristek tidak menyalahi UU
Sisdiknas. Menurutnya, amanat kemandirian yang tertuang pada Pasal 35 Ayat 3 UU
Sisdiknas tersebut bukan dialamatkan pada badan standarisasi pendidikan,
melainkan badan akreditasi pendidikan.
“Pasal
35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) mengatur bahwa pemantauan dan pelaporan pencapaian standar nasional
pendidikan secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi,
penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Selanjutnya, penjelasan Pasal 35
menyebutkan bahwa badan tersebut bersifat mandiri. Selaras dengan penataan
tugas dan fungsi Kemdikbudristek, badan sebagaimana dimaksud pada UU Sisdiknas
tersebut adalah badan akreditasi,” pungkasnya.
Ia
juga menjelaskan bahwa terdapat tiga badan akreditasi yang membantu standar
nasional pendidikan
sekaligus memantau dan melaporkan setiap pencapaiannya secara nasional melalui akreditasi, yakni; Badan
Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal, Badan
Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, serta Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi.
Sumber
: Liputan6 / (https://www.liputan6.com/)
Editor
: Mario Djegho (red)
0 Comments