Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

KISAH PARA PELUKIS WAJAH BANGSA


 


(Catatan Reflektif dari Kegiatan Bincang “Peduli Nasib Guru Honorer”)


Kota Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Catatan reflektif ini diawali dari sebuah kisah sederhana. Di suatu siang di hari Sabtu, seorang wanita paruh bayah duduk di tepi pasar sembari menawarkan barang dagangannya. Sebut saja Ibu Wati. Dia nampak lesuh, lusuh, dan lelah di tengah hari. “Bu, berapa harga bingkai ini?” tawar seorang pria yang kagum dengan hasil karya Ibu Wati. “15 ribu, Pak!” jawabnya dengan semangat yang perlahan timbul. 


“Ibu, bukannya kemarin kita pernah bertemu di sekolah, yah?” tanya si pria lagi. “Iya, Pak. Saya guru di sana,” ujar Ibu Wati sambil mengemas bingkai yang telah dibeli. “Salut yah, Ibu. Masih sempat berjualan selepas mengajar,” sambung si pria. “Saya hanya guru honor, Pak. Kalau tidak berjualan seusai mengajar, saya tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Suami sudah lama berpulang. Masih ada tanggungan anak,” tutur Ibu Wati. “Saya sudah lama mengabdi. Namun belum ada kepastian,” lanjutnya dengan senyum ketulusan.   

 

Peduli Nasib Guru Honorer

 

Kegiatan rutin yang dilakukan oleh Ibu Wati seusai mengajar tersebut merupakan rutinitas yang (mungkin) juga diterapkan oleh semua guru honorer. Mereka (baca : guru honorer) harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di luar profesionalitasnya sebagai seorang pendidik. Jujur saja, pendapatan seorang guru atau pegawai honorer tidak sebanding dengan beban kerja yang diterimanya. Mirisnya, profesi mulia tersebut sangat dibutuhkan oleh negara ini sebagai bagian integral dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Bila merujuk pada konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, maka guru harus mampu memberikan teladan yang baik di depan para peserta didik (ing ngarso sung tulada), guru harus terus memberikan semangat literatif dan motivasi di tengah para peserta didik (ing madya mangun karsa), serta selalu mendorong para peserta didik untuk tetap bertahan dan berjuang dalam proses pendidikan (tut wuri handayani). Namun, visi besar negara ini (kadang) tidak mampu menyeimbangkan teks dan konteks. Regulasi dan formasi yang diselenggarakan tidak mampu mengungkap dan menyiasati persoalan “gunung es” yang tidak nampak ke permukaan, seperti halnya kenyataan yang menimpa Ibu Wati.   



Persoalan tersebut juga menjadi bahan perbincangan hangat dalam kegiatan diskusi “Peduli Guru Nasib Honorer” yang diselenggarakan di Resto Celebes Kota Kupang, Rabu (22/09/2021). Diskusi yang dipandu oleh Anwar Puah Geno pada sore hari tersebut turut mengundang Komunitas Forum Guru Honor Kota Kupang, akademisi, praktisi pendidikan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PK) Provinsi NTT, serta awak media dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes). Dinamika diskusi yang dibangun tentunya bermuara pada proses advokasi dan pemberian masukan strategis bagi dunia pendidikan, pendidik, serta tenaga kependidikan itu sendiri. 

 

Pada kesempatan pertama, akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, David Pandie mengatakan bahwa persoalan guru honorer sebenarnya telah berlangsung sejak lama tanpa adanya kebijakan penyelesaian yang mampu mengakomodasi guru-guru yang telah lama mengabdi. Bahkan, baginya, di dalam sistem regulasi Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya terdapat dua kategori, yakni; Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). “Persoalan ini sudah lama berlangsung. Sebenarnya, di dalam UU tentang ASN hanya terdapat dua istilah, yakni PNS dan P3K,” ujarnya. Artinya, secara tidak langsung, negara tidak mengakui eksistensi tenaga honorer. Maka dari itu, David sangat mengharapkan adanya desain yang secara spesifik mampu menyelesaikan persoalan nasib para guru honorer.

 

Di sisi lain, akademisi sekaligus pengamat pendidikan, Marsel Robot menilai bahwa kebijakan pendidikan yang diakomodir oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makariem terkesan “amburadur”. Misalnya saja, program “Kampus Mengajar” dinilai sangat “mubazir” oleh Marsel, sebab para mahasiswa yang diminta untuk mengajar tidak mampu melaksanakan tugasnya secara matang. Ironisnya, Kemendikbud menggelontorkan anggaran yang besar untuk menunjang program tersebut. Padahal secara rasional, anggaran tersebut bisa digunakan untuk mendukung proses peningkatan kualitas guru honorer.

 


Bagaimana Nasib Guru Honorer?

 

Perkembangan nasib guru honorer pun semakin di ujung tanduk ketika proses seleksi P3K pada Senin-Jumat (13-17/09/2021) menyisakan ribuan kisah bagi para pelukis wajah bangsa tersebut. Ibarat sebuah perjalanan, mereka terhambat ke dalam arah berliku yang sebenarnya harus diapresiasi oleh negara. Mirisnya, para pemangku kebijakan malah mempersulit para guru honorer, mulai dari faktor usia hingga kompleksnya sistem administrasi. Di sela-sela diskusi tersebut, Ketua Forum Guru dan Tenaga Pegawai Honor Kota Kupang, Sakarias Nenosaban pun mengungkapkan bahwa proses rekrutmen sebenarnya harus diperbaiki beserta proses pemetaan guru honorer berdasarkan usia.

 

Menurutnya, peraturan sudah berjalan, tetapi prioritas pemerintah sebenarnya harus menjadi pertimbangan utama. Hal itu, sambungnya, bisa menjadi acuan dalam pengangkatan atau penyeleksian guru P3K berdasarkan portofolio dan kriteria pengabdiannya. “Proses rekrutmen harus diperbaiki dan disertai dengan proses pemetaan terhadap guru honorer berdasarkan usia sehingga mekanisme seleksi bisa disesuaikan dengan portofolio atau kriteria pengabdiannya,” ujar Sakarias.   

 

Lebih lanjut, senada dengan Sakarias, anggota DPRD Provinsi NTT, Ana Waha Kolin dan Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), Winston Rondo mendorong pihak pemerintah untuk melakukan proses validasi data, sebab menurut keduanya, pemerintah melalui dinas terkait belum memiliki data yang valid menyangkut guru honorer.

 


Menyambung hal tersebut, Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (Kabid GTK) pada Dinas PK Provinsi NTT, Adelino da Cruz Soares juga menekankan bahwa Dinas PK adalah pelaksana kebijakan dan melakukan proses seleksi sesuai kompetensi. Pemerintah, imbuhnya, sangat membutuhkan guru, sehingga pengadaan formasi juga harus memperhatikan kesejahteraan guru. “Dinas PK adalah pelaksana kebijakan dan melakukan seleksi sesuai kompetensi para guru honorer,” pungkasnya.

 

Kompetisi : Antara Prestasi dan Apresiasi

 

Proses diskusi “Peduli Nasib Guru Honorer” tersebut berjalan secara dinamis. Para praktisi dan penggiat pendidikan pun turut memberikan pemikiran sebagai bahan pertimbangan advokasi. Gusti Rikarno misalnya, sebagai seorang praktisi pendidikan, ia menuturkan bahwa sudah saatnya para guru masuk ke dalam ranah kompetisi. Dengan kata lain, imbuhnya, para guru sudah semestinya meningkatkan kapasitas dan kompetensinya masing-masing.

 

Namun, dalam konteks dewasa ini, sambungnya, pemerintah harus membuat sebuah prioritas, seperti; berfokus pada guru honorer yang telah lama mengabdi atau menurunkan ambang batas passing grade untuk standar kelulusan. Di samping itu, tuturnya, pihak terkait harus mampu melaksanakan kegiatan pra-test untuk menyesuaikan kondisi dan persiapan para guru dalam proses seleksi yang akan datang. 

 

Di sisi serupa, penggiat pendidikan, Polikarpus Do juga sangat menekankan pentingnya peningkatan kompetensi guru. Hal tersebut, ujarnya, berkaitan erat dengan delapan (8) standar nasional pendidikan. Lebih lanjut, terang Polikarpus, di dalam dunia pendidikan tidak boleh terjadi diskriminasi antara guru honorer dengan guru yang berstatus ASN. Maka dari itu, tuturnya, para guru harus mampu memberikan prestasi agar bisa diberikan apresiasi.   

 


Catatan Penutup

 

Kembali pada kisah Ibu Wati di awal catatan ini. Dinamika dan lika-liku yang menerpa para guru honorer sebenarnya sedang memperlihatkan keadaan negara yang sedang “tidak baik-baik saja”. Bila merujuk pada konsep pendidikan Driyarkara bahwa pendidikan sebenarnya harus bisa memanusiakan manusia, maka kisah Ibu Wati bersama semua pelukis wajah bangsa tersebut adalah negasi dari konsep pendidikan itu sendiri.

 

Pertanyaan reflektifnya adalah ketika nasib guru honorer tidak diperhatikan, lantas mengapa keberadaan mereka seolah sangat dibutuhkan oleh negara? Bagaimana mekanisme pengangkatannya? Apa urgensitasnya? Mengapa hidup mereka seolah hanya “diperas” untuk kepentingan visi negara yang tidak resiprokal? Lalu, apakah aspek kesejahteraan yang dijamin oleh pemerintah kepada para guru ASN turut menjamin peningkatan mutu dan kompetensinya sebagai pendidik? Negara wajib menjawab pertanyaan tersebut. 

 

Seorang guru honorer di dalam kegiatan diskusi tersebut sempat berujar “Kompetisi bukan menjadi tolok ukur kemampuan kami. Kami bukan sekedar mengajar, tetapi juga mendidik. Profesionalitas guru tidak setara dengan kesejahteraan,”. Ujaran tersebut sebenarnya menjadi “tamparan” bagi semua pihak. Hal tersebut sesuai dengan kisah Ibu Wati. Dia rela berjualan seusai mengajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia tidak mengemis kepada negara, sebab dia sadar bahwa menjadi pendidik adalah panggilan jiwa sekaligus tanggung jawab moril. Dia hanya menuntut perhatian dan keadilan bagi dunia pendidikan yang lebih baik.  

 

Di penghujung catatan ini, terdapat sebuah kesimpulan sederhana bahwa sebuah kebijakan harus berasaskan narasi, regulasi dan aksi. Narasi merupakan aspirasi kolektif masyarakat, regulasi dibangun oleh pihak legislasi atas dasar narasi, serta aksi diimplementasikan oleh pihak eksekutif. Semua sirkulasi kebijakan tersebut tentunya diawasi secara legal, apalagi menyangkut aspek anggaran. Namun, ketika aksi yang dibangun tidak sesuai dengan narasi dan regulasi, maka ada yang keliru atau sengaja dibuat keliru di dalam sirkulasi tersebut. Begitupun dengan nasib para guru honorer. Ketika ada seorang guru honorer yang tidak diperhatikan nasibnya, maka tentu ada yang salah dengan kebijakan negeri ini.  

 

Teks dan Foto : Mario Djegho (red)

 

 

 


Post a Comment

0 Comments