(Catatan
Reflektif dari Kegiatan Bincang “Peduli Nasib Guru Honorer”)
Kota Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Catatan reflektif ini diawali dari sebuah kisah sederhana. Di suatu siang di hari Sabtu, seorang wanita paruh bayah duduk di tepi pasar sembari menawarkan barang dagangannya. Sebut saja Ibu Wati. Dia nampak lesuh, lusuh, dan lelah di tengah hari. “Bu, berapa harga bingkai ini?” tawar seorang pria yang kagum dengan hasil karya Ibu Wati. “15 ribu, Pak!” jawabnya dengan semangat yang perlahan timbul.
“Ibu, bukannya kemarin kita pernah bertemu di sekolah, yah?” tanya si
pria lagi. “Iya, Pak. Saya guru di sana,” ujar Ibu Wati sambil mengemas bingkai
yang telah dibeli. “Salut yah, Ibu. Masih sempat berjualan selepas mengajar,”
sambung si pria. “Saya hanya guru honor, Pak. Kalau tidak berjualan seusai
mengajar, saya tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Suami sudah lama
berpulang. Masih ada tanggungan anak,” tutur Ibu Wati. “Saya sudah lama mengabdi.
Namun belum ada kepastian,” lanjutnya dengan senyum ketulusan.
Peduli Nasib Guru Honorer
Kegiatan
rutin yang dilakukan oleh Ibu Wati seusai mengajar tersebut merupakan rutinitas
yang (mungkin) juga diterapkan oleh semua guru honorer. Mereka (baca : guru
honorer) harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di luar
profesionalitasnya sebagai seorang pendidik. Jujur saja, pendapatan seorang
guru atau pegawai honorer tidak sebanding dengan beban kerja yang diterimanya.
Mirisnya, profesi mulia tersebut sangat dibutuhkan oleh negara ini sebagai
bagian integral dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bila
merujuk pada konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, maka guru harus mampu
memberikan teladan yang baik di depan para peserta didik (ing ngarso sung tulada), guru harus terus memberikan semangat
literatif dan motivasi di tengah para peserta didik (ing madya mangun karsa), serta selalu mendorong para peserta didik
untuk tetap bertahan dan berjuang dalam proses pendidikan (tut wuri handayani). Namun, visi besar negara ini (kadang) tidak
mampu menyeimbangkan teks dan konteks. Regulasi dan formasi yang
diselenggarakan tidak mampu mengungkap dan menyiasati persoalan “gunung es”
yang tidak nampak ke permukaan, seperti halnya kenyataan yang menimpa Ibu
Wati.
Persoalan
tersebut juga menjadi bahan perbincangan hangat dalam kegiatan diskusi “Peduli
Guru Nasib Honorer” yang diselenggarakan di Resto Celebes Kota Kupang, Rabu (22/09/2021).
Diskusi yang dipandu oleh Anwar Puah Geno
pada
sore hari tersebut turut mengundang Komunitas Forum Guru Honor Kota Kupang, akademisi,
praktisi pendidikan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PK) Provinsi
NTT, serta awak media dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes).
Dinamika diskusi yang dibangun tentunya bermuara pada proses advokasi dan
pemberian masukan strategis bagi dunia pendidikan, pendidik, serta tenaga kependidikan
itu sendiri.
Pada
kesempatan pertama, akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, David
Pandie mengatakan bahwa persoalan guru honorer sebenarnya telah berlangsung
sejak lama tanpa adanya kebijakan penyelesaian yang mampu mengakomodasi
guru-guru yang telah lama mengabdi. Bahkan, baginya, di dalam sistem regulasi
Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya terdapat dua kategori, yakni; Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). “Persoalan
ini sudah lama berlangsung. Sebenarnya, di dalam UU tentang ASN hanya terdapat
dua istilah, yakni PNS dan P3K,” ujarnya. Artinya, secara tidak langsung,
negara tidak mengakui eksistensi tenaga honorer. Maka dari itu, David sangat
mengharapkan adanya desain yang secara spesifik mampu menyelesaikan persoalan
nasib para guru honorer.
Di
sisi lain, akademisi sekaligus pengamat pendidikan, Marsel Robot menilai bahwa
kebijakan pendidikan yang diakomodir oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset
dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makariem terkesan “amburadur”. Misalnya
saja, program “Kampus Mengajar” dinilai sangat “mubazir” oleh Marsel, sebab
para mahasiswa yang diminta untuk mengajar tidak mampu melaksanakan tugasnya
secara matang. Ironisnya, Kemendikbud menggelontorkan anggaran yang besar untuk
menunjang program tersebut. Padahal secara rasional, anggaran tersebut bisa
digunakan untuk mendukung proses peningkatan kualitas guru honorer.
Bagaimana Nasib Guru Honorer?
Perkembangan
nasib guru honorer pun semakin di ujung tanduk ketika proses seleksi P3K pada Senin-Jumat
(13-17/09/2021) menyisakan ribuan kisah bagi para pelukis wajah bangsa
tersebut. Ibarat sebuah perjalanan, mereka terhambat ke dalam arah berliku yang
sebenarnya harus diapresiasi oleh negara. Mirisnya, para pemangku kebijakan
malah mempersulit para guru honorer, mulai dari faktor usia hingga kompleksnya
sistem administrasi. Di sela-sela diskusi tersebut, Ketua Forum Guru dan Tenaga
Pegawai Honor Kota Kupang, Sakarias Nenosaban pun mengungkapkan bahwa proses
rekrutmen sebenarnya harus diperbaiki beserta proses pemetaan guru honorer
berdasarkan usia.
Menurutnya,
peraturan sudah berjalan, tetapi prioritas pemerintah sebenarnya harus menjadi
pertimbangan utama. Hal itu, sambungnya, bisa menjadi acuan dalam pengangkatan
atau penyeleksian guru P3K berdasarkan portofolio dan kriteria pengabdiannya. “Proses
rekrutmen harus diperbaiki dan disertai dengan proses pemetaan terhadap guru
honorer berdasarkan usia sehingga mekanisme seleksi bisa disesuaikan dengan portofolio
atau kriteria pengabdiannya,” ujar Sakarias.
Lebih
lanjut, senada dengan Sakarias, anggota DPRD Provinsi NTT, Ana Waha Kolin dan
Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), Winston Rondo mendorong pihak
pemerintah untuk melakukan proses validasi data, sebab menurut keduanya,
pemerintah melalui dinas terkait belum memiliki data yang valid menyangkut guru
honorer.
Menyambung
hal tersebut, Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (Kabid GTK) pada Dinas
PK Provinsi NTT, Adelino da Cruz Soares juga menekankan bahwa Dinas PK adalah
pelaksana kebijakan dan melakukan proses seleksi sesuai kompetensi. Pemerintah,
imbuhnya, sangat membutuhkan guru, sehingga pengadaan formasi juga harus
memperhatikan kesejahteraan guru. “Dinas PK adalah pelaksana kebijakan dan
melakukan seleksi sesuai kompetensi para guru honorer,” pungkasnya.
Kompetisi : Antara Prestasi dan Apresiasi
Proses
diskusi “Peduli Nasib Guru Honorer” tersebut berjalan secara dinamis. Para
praktisi dan penggiat pendidikan pun turut memberikan pemikiran sebagai bahan pertimbangan
advokasi. Gusti Rikarno misalnya, sebagai seorang praktisi pendidikan, ia
menuturkan bahwa sudah saatnya para guru masuk ke dalam ranah kompetisi. Dengan
kata lain, imbuhnya, para guru sudah semestinya meningkatkan kapasitas dan
kompetensinya masing-masing.
Namun,
dalam konteks dewasa ini, sambungnya, pemerintah harus membuat sebuah
prioritas, seperti; berfokus pada guru honorer yang telah lama mengabdi atau
menurunkan ambang batas passing grade
untuk standar kelulusan. Di samping itu, tuturnya, pihak terkait harus mampu
melaksanakan kegiatan pra-test untuk
menyesuaikan kondisi dan persiapan para guru dalam proses seleksi yang akan
datang.
Di
sisi serupa, penggiat pendidikan, Polikarpus Do juga sangat menekankan
pentingnya peningkatan kompetensi guru. Hal tersebut, ujarnya, berkaitan erat
dengan delapan (8) standar nasional pendidikan. Lebih lanjut, terang
Polikarpus, di dalam dunia pendidikan tidak boleh terjadi diskriminasi antara
guru honorer dengan guru yang berstatus ASN. Maka dari itu, tuturnya, para guru
harus mampu memberikan prestasi agar bisa diberikan apresiasi.
Catatan Penutup
Kembali
pada kisah Ibu Wati di awal catatan ini. Dinamika dan lika-liku yang menerpa
para guru honorer sebenarnya sedang memperlihatkan keadaan negara yang sedang
“tidak baik-baik saja”. Bila merujuk pada konsep pendidikan Driyarkara bahwa
pendidikan sebenarnya harus bisa memanusiakan manusia, maka kisah Ibu Wati
bersama semua pelukis wajah bangsa tersebut adalah negasi dari konsep
pendidikan itu sendiri.
Pertanyaan
reflektifnya adalah ketika nasib guru honorer tidak diperhatikan, lantas
mengapa keberadaan mereka seolah sangat dibutuhkan oleh negara? Bagaimana
mekanisme pengangkatannya? Apa urgensitasnya? Mengapa hidup mereka seolah hanya
“diperas” untuk kepentingan visi negara yang tidak resiprokal? Lalu, apakah
aspek kesejahteraan yang dijamin oleh pemerintah kepada para guru ASN turut
menjamin peningkatan mutu dan kompetensinya sebagai pendidik? Negara wajib
menjawab pertanyaan tersebut.
Seorang
guru honorer di dalam kegiatan diskusi tersebut sempat berujar “Kompetisi bukan
menjadi tolok ukur kemampuan kami. Kami bukan sekedar mengajar, tetapi juga
mendidik. Profesionalitas guru tidak setara dengan kesejahteraan,”. Ujaran
tersebut sebenarnya menjadi “tamparan” bagi semua pihak. Hal tersebut sesuai
dengan kisah Ibu Wati. Dia rela berjualan seusai mengajar untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dia tidak mengemis kepada negara, sebab dia sadar bahwa
menjadi pendidik adalah panggilan jiwa sekaligus tanggung jawab moril. Dia
hanya menuntut perhatian dan keadilan bagi dunia pendidikan yang lebih baik.
Di
penghujung catatan ini, terdapat sebuah kesimpulan sederhana bahwa sebuah
kebijakan harus berasaskan narasi, regulasi dan aksi. Narasi merupakan aspirasi
kolektif masyarakat, regulasi dibangun oleh pihak legislasi atas dasar narasi, serta aksi diimplementasikan oleh pihak eksekutif. Semua sirkulasi kebijakan tersebut tentunya
diawasi secara legal, apalagi menyangkut aspek anggaran. Namun, ketika aksi
yang dibangun tidak sesuai dengan narasi dan regulasi, maka ada yang keliru
atau sengaja dibuat keliru di dalam sirkulasi tersebut. Begitupun dengan nasib
para guru honorer. Ketika ada seorang guru honorer yang tidak diperhatikan
nasibnya, maka tentu ada yang salah dengan kebijakan negeri ini.
Teks
dan Foto : Mario Djegho (red)
0 Comments