Jakarta, CAKRAWALANTT.COM - Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Republik
Indonesia (RI), Nadiem Anwar Makariem memastikan persyaratan sekolah penerima
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memiliki minimal 60 peserta didik tidak
berlaku di tahun 2022. Keputusan tersebut diambil setelah melakukan kajian dan
evaluasi dampak pandemi Covid-19 dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Rabu
(08/09/2021) di Jakarta.
“Kemendikbudristek
telah memutuskan untuk tidak memberlakukan (persyaratan) ini pada tahun 2022,” ujarnya.
Ia
juga mengapresiasi masukan dari Komisi X dan masyarakat mengenai berbagai
kekhawatiran dan kecemasan terhadap implementasi persyaratan sekolah penerima
BOS. Program tersebut, imbuhnya, telah ada sejak tahun 2019 serta ada waktu
selama tiga tahun untuk menyosialisasikan kebijakan tersebut.
“Jadi,
program ini sudah dari 2019, tapi belum dilakukan pada 2021 karena belum masuk
tiga tahun. Itu ada tenggang waktunya,” tuturnya.
Menurut
Nadiem, situasi pandemi saat ini dirasa cukup ekstrim. Untuk menghadapi pandemi
ini, ungkapnya, perlu adanya fleksibilitas dan tenggang rasa pada sekolah yang
masih sulit melakukan transisi untuk menjadi sekolah yang skala minimumnya
lebih besar. Maka dari itu, sambungnya, Kemendikbudristek sangat sensitif terhadap
situasi masyarakat serta akan terus menerima masukan terhadap persyaratan ini
dan melakukan kajian lebih lanjut terkait pemberlakukannya setelah tahun 2022
mendatang.
Dalam
kesempatan tersebut, ia juga menjelaskan bahwa pemanfaatan BOS regular tidak
hanya mengakomodasi operasional di sekolah formal, tetapi juga dialokasikan
untuk operasional bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Kebijakan tersebut, katanya,
memberi fleksibilitas kepada kepala sekolah untuk menentukan apa yang dapat
ditingkatkan dengan dana BOS.
Mengapresiasi Keputusan
Mendikbudristek
Di
sisi lain, menanggapi pemaparan Mendikbudristek, Ketua Komisi X, Syaiful Huda
sangat mengapresiasi keputusan tersebut untuk tidak memberlakukan kebijakan
yang sudah diterapkan tiga tahun lalu tersebut.
“Kami
minta supaya tidak dijadikan standar menyangkut 60 siswa. Saya yakin
Kemendikbudristek bisa merumuskan formula kebijakan lain yang bisa menjadi alat
untuk melakukan evaluasi supaya sekolah agar lebih baik lagi, tanpa menggunakan instrumen BOS, mohon
dicarikan instrumen lain di luar BOS yang lebih efektif,” ujarnya.
Dukungan
lain juga disampaikan oleh anggota Fraksi PDI Perjuangan, Sofyan Tan yang
mengapresiasi keputusan tersebut. Sofyan mengusulkan agar kebijakan tersebut
tidak hanya sampai pada tahun 2022 saja, melainkan hingga 2024. Menurutnya,
dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk dipulihkan.
Sementara
itu, menjawabi hal tersebut, Nadiem menuturkan bahwa seluruh kebijakan dana BOS
pada dasarnya berpihak kepada yang paling membutuhkan. Apalagi saat ini,
terangnya, alokasi dana BOS di setiap daerah bersifat majemuk, di mana dana
yang diberikan dikalikan dengan indeks kemahalan. Oleh sebab itu, sambungnya, satuan
pendidikan yang berada di daerah terdepan, terluar, tertinggal (3T) bisa
mendapatkan dana yang jauh lebih banyak untuk meningkatkan kualitasnya.
“Setiap
kali saya dapat masukan bahwa ini bisa berdampak negatif bagi teman-teman yang
membutuhkan di daerah terpencil, saya langsung mendengar,” ujarnya.
Lebih
lanjut, pungkas Nadiem, perihal dana BOS afirmatif, satuan pendidikan yang
benar-benar membutuhkan akan mendapatkan sesuai kebutuhannya. Setiap kepala
sekolah, lanjutnya, benar-benar memiliki kemerdekaan untuk menggunakan apa yang
terpenting bagi sekolahnya.
Sumber
: Siaran Pers Kemendikbudristek (https://www.kemdikbud.go.id/)
Editor
: Mario Djegho (red)
0 Comments