Oleh: Angelina Ayuni Praise, S.Sn
(Guru Seni Tari di SMK Negeri 3 Komodo)
Ketika seseorang memutuskan untuk lahir sebagai seniman, maka dia telah memutuskan untuk masuk ke dalam dunia seni. Dia harus dan wajib menghasilkan berbagai karya seni. Secara sederhana, karya seni adalah segala sesuatu yang memiliki nilai keindahan (estetik) di mata seseorang. Seorang bisa “terlahir” sebagai seniman dengan dua cara utama, yakni; belajar dan mempelajari kesenian secara mandiri (otodidak) serta mengenyam pendidikan formal di lingkungan pendidikan (sekolah).
Para seniman yang tumbuh dan berkembang dari proses pendidikan
formal memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Di satu sisi, mereka harus
menjaga dan mempertahankan eksistensi atau citra lembaga pendidikannya, serta
di sisi lain, mereka harus melalui sebuah proses pencapaian yang panjang dan
sulit demi sebuah gelar. Gelar tersebut menjadi simbol bagaimana lika-liku
perjalanannya dalam menuntut ilmu dan membentuk diri (formasi) sebagai seniman.
Oleh sebab itu, ketika mereka telah masuk dan berkecimpung di dalam dunia seni,
maka mereka harus berkarya dan siap menerima segala kritikan, saran, masukan,
dan (mungkin) penghargaan dari para penikmat seni.
Pendidikan Seni tidak hanya membutuhkan bakat seorang seniman, tetapi juga niat dan motivasi untuk belajar. Seorang seniman harus menggali dan mengeksplor lebih jauh berbagai aspek penting yang bisa menjadi stimultan (rangsangan) guna menciptakan sebuah karya seni. Di dalam bukunya yang berjudul “Dance Compotition”, Jacqueline Smith-Autard (2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa rangsangan yang dapat membantu seorang seniman dalam berkarya, misalnya; rangsangan visual, audio, kinestetik, taktil dan ideasional.
Sebelum berkarya, seorang seniman perlu
mengolah imajinasi dan pemikirannya tentang “ide-ide gila”. Hal tersebut akan
sangat membantu seorang seniman dalam mempertanggungjawabkan semua karya dan
makna yang terkandung di dalamnya. Di dalam proses berkarya, idea atau tema
yang diangkat tentunya tidak lahir begitu saja. Bagi seorang seniman, faktor
lingkungan menjadi salah satu pemacu berkembangnya sebuah ide kreatif.
Misalnya, rasa untuk mengeritik sebuah persoalan bisa dituangkan ke dalam
berbagai karya seni, sebab di dalam karya seni itulah para seniman
mengekspresikan semua makna dan pesan tersirat atas persoalan tersebut kepada
orang lain.
Pada titik tertentu, para seniman juga akan memilih untuk berkarya di daerahnya masing-masing. Kesenian yang dibangun atas dasar lokalitas daerah akan selalu mengangkat tema dan ide karya seputar budaya serta kehidupan sosial masyarakatnya. Namun, para seniman daerah seharusnya tidak hanya hidup di dalam kebudayaannya semata, tetapi ia harus mampu mengenal dan memahami proses budaya yang terjadi di dalamnya. Hal tersebut akan berguna dalam mempersuasi (mengajak) banyak orang untuk lebih mencintai kebudayaannya.
Penikmat seni yang
berada pada daerah yang sama dengan sang seniman biasanya sangat memahami alur
dan cerita kebudayaannya. Dengan kata lain, apabila karya seorang seniman
(sedikit) melenceng dari alur kebudayaannya, maka segala kritikan akan mudah
timbul dan “mematahkan” semangat kesenian seorang seniman. Maka dari itu, sebuah
karya seni harus diciptakan berdasarkan landasan cerita serta ide yang kuat dan
komprehensif.
Pada umumnya, dalam sebuah proses pengaryaaan, tidak sedikit pelaku seni yang tidak memiliki konsep karya yang kuat. Selain itu, tidak sedikit pula penikmat seni yang juga tidak begitu paham dengan konsep sang seniman. Namun, tidak ada karya seni yang salah, sebab standar dan hasil interpretasi (penafsiran) setiap penikmat seni adalah berbeda satu sama lain.
Hal tersebut senada dengan pernyataan M.
Jelantik (2008) dalam bukunya yang berjudul “Estetika Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia”. Baginya, sebuah
rasa seni bisa disebut indah dalam hidup seseorang apabila dapat menimbulkan
rasa senang, puas, aman, nyaman dan bahagia. Rasa tersebut, imbuhnya, bisa
menimbulkan keinginan untuk kembali mengalami perasaan serupa, walaupun telah
dinikmati berulang kali.
Proses kesenian juga terjadi di dalam kegiatan belajar dan mengajar (KBM) di dalam kelas. Seperti halnya para seniman yang bergiat melalui pendidikan formal, para calon seniman muda juga menggali potensi diri melalui pendidikan menengah kejuruan. Penulis merupakan seorang seniman tari yang juga berprofesi sebagai guru di Program Studi Seni Tari di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Komodo. Pada hari pertama mengajar, penulis berusaha mengukur pemahaman peserta didik tentang kebudayaannya. Alhasil, 8 dari 10 orang peserta didik tidak mengenal dan memahami dasar seni di daerahnya.
Di sini, penulis menyimpulkan bahwa para
peserta didik yang juga calon seniman muda tersebut hanya tinggal dan hidup
dalam lingkungan kebudayaannya tanpa mengenal serta memahami proses budaya yang
terjadi di dalamnya. Bagi penulis, salah satu faktor penyebab minimnya
pengetahuan tentang kebudayaan lokal adalah kurangnya pendidikan dasar tentang
budaya di dalam lingkungan keluarga dan sekolah.
Berangkat dari
pengalaman tersebut, penulis mencoba mengembangkan sebuah metode strategis di
dalam proses pembelajaran. Pengembangan metode tersebut berguna agar para
peserta didik bisa mengenal kebudayaan di daerahnya. Metode ini adalah sebuah
gagasan penting yang sering penulis sampaikan kepada peserta didik, yakni; “If you love your culture, your culture will
love you too” (Jika kamu mencintai budayamu, maka budayamu juga akan mencintai
dirimu). Kalimat tersebut selalu penulis tekankan sebagai pegangan dasar setiap
peserta didik sebelum membuat sebuah karya seni.
Pada tahap awal, para peserta didik akan dirangsang dengan pertanyaan dan karya sederhana agar lebih mudah memahami kesenian yang telah berkembang di sekitarnya. Selain itu, penulis juga mendorong gerakan seniman masuk sekolah bersama komunitas seni lainnya guna mewadahi minat peserta didik dalam berkarya.
Hal tersebut
tentunya bisa membuat para peserta didik semakin sadar dan mengenal para seniman
daerah berserta karya-karyanya. Penulis juga menghadirkan beberapa penari
kondang daerah untuk menampilkan karya tari yang pernah ditampilkan sebelumnya,
sehingga para peserta didik bisa terpacu untuk mampu berimajinasi dan berkarya
secara perlahan.
Di dalam
proses KBM, penulis melihat bahwa para peserta didik perlahan memiliki kekayaan
ide dalam mengreasikan gerak tari sesuai keaslian gerak tari daerahnya. Penulis
selalu mengarahkan peserta didik untuk menggali dan mengeksplorasi seluruh
pemahaman tentang kebudayaan daerahnya. Bagi penulis, semua strategi tersebut
adalah langkah positif untuk menyadarkan para peserta didik bahwa mereka harus
selalu bersatu di dalam budayanya sendiri.
Pada tahap akhir, penulis mencoba untuk membuka panggung-panggung kecil guna mementaskan hasil karya para peserta didik. Cara tersebut merupakan bentuk apresiasi dan dukungan moril agar para peserta didik bisa lebih bersemangat dalam berkarya. Hal tersebut tentunya membuat mereka lebih mampu mengenal dunia seni, khususnya seni tari, sehingga bisa menghasilkan karya-karya yang layak untuk ditampilkan. Karya-karya tersebut, walaupun terkesan sederhana akan berkembang menjadi karya seni yang lebih besar di panggung-panggung publik.
Di sisi senada, penulis
selalu menegaskan bahwa ketika para peserta didik ingin menghasilkan sebuah
karya, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengenal karya-karya
leluhur terdahulu. Dengan mengenal dan mempelajarinya, para peserta didik bisa
belajar untuk mencintai kebudayaannya, sehingga ketika mereka berkarya, orang
lain akan mencintai seluruh karya mereka.
Pada akhirnya,
penulis berharap agar semua seniman yang telah berdedikasi dalam hidup dan
karyanya mampu bertahan dengan terus mencintai dunianya. Para seniman harus
mencintai pekerjaannya dan tetap berjalan bersama para peserta didik sebagai
calon seniman di masa yang akan datang. Semua harus saling bersinergi dan
berkolaborasi untuk bisa hidup di sekitar panggung pertunjukan. Karya tanpa
panggung dan panggung tanpa karya tidak akan hidup tanpa orang yang cinta akan
seni. Salam kesenian dan salam budaya.
Editor :
Takim/Mario Djegho (red)
0 Comments