Catatan Pinggir dari Workshop Penulisan Karya Ilmiah bagi Guru SD dan SMP se-Kota Kupang
Sabtu
(10/07/2021) pagi. Langit nampak
indah berseri di tengah pandemi yang selalu menggerus imun diri. Mentari di
ufuk timur masih menawar canda sembari mengumbar tawa untuk merawat harap. Hari
itu adalah hari terakhir dari rangkaian kegiatan workshop penulisan karya tulis
ilmiah (KTI) bagi guru Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Kota Kupang.
Sejak
dibuka secara resmi pada Kamis (08/09/2021) oleh Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami, M.Si., kegiatan tersebut berlangsung sesuai
protokol kesehatan (prokes) selama tiga hari berselang (08-10/09/2021. Dalam
kegiatan tersebut, terdapat begitu banyak asa, mimpi, dan gelora untuk terus
bergerak dalam alunan kata yang dinamis. Semua insan terpacu untuk melukis kata
dan menulis asa. Di antara kata dan asa itulah semua sejarah di masa lalu,
kisah di hari ini, dan mimpi di kemudian hari teramu estetis dalam balutan
inspirasi.
Melukis Kata
Melukis
kata adalah bagian dari sebuah imajinasi. Secara tersurat, kata seharusnya
ditulis, bukannya dilukis. Namun dalam sebuah pergolakan, menulis adalah bagian
dari kreativitas. Dengan kata lain, menulis berarti mencipta(kan). Hal itu
senada dengan pandangan Stephen Edwin King, penulis kontemporer Amerika Serikat
yang selalu beranggapan bahwa menulis adalah bagian dari proses penciptaan.
Menurutnya, dalam proses tersebut, seseorang tidak hanya mengarahkan dan
mengerahkan semua pengetahuan, daya, serta kemampuannya saja, tetapi juga seluruh
jiwa dan hidupnya. Menulis, imbuhnya, tidak serta merta harus menunggu
datangnya inspirasi, sebab diri sendiri adalah inspirasi terbaik untuk menulis.
Dengan demikian, ungkapya, seorang penulis yang hanya menunggu apa yang bisa
ditulisnya adalah sosok yang belum mampu menjadi dirinya sendiri.
Proses
pelukisan kata tersebut juga terjadi di dua pertemuan awal pada kegiatan
workshop (Kamis-Jumat). Semua fasilitator yang tergabung dalam Tim Media
Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT terus mendorong para guru untuk selalu menulis
apa yang ada di dalam pikirannya.
Gusty
Rikarno misalnya, ia selalu memotivasi para guru untuk menikmati setiap proses
menulis. Pimpinan Umum MPC NTT tersebut selalu menuntun para guru untuk
menuliskan apa yang mereka pikirkan. Menurutnya, menulis tidak akan menjadi
rumit, apabila semua individu mau menjadi diri sendiri dan mengungkapkan semua
pikirannya tanpa memikirkan standar orang lain.
“Coba dan
biasakan untuk menulis apa yang kita pikirkan. Mulai saja dulu untuk menulis
segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Jangan pernah takut salah. Kita harus
menuangkan isi kepala kita secara bebas, setelah itu barulah kita meramunya
secara perlahan menjadi sebuah tulisan yang baik. Semuanya butuh proses dan
kita harus berani berproses,”
ungkap penulis buku Jangan Menghina Guruku Lagi tersebut.
Semua
proses pada kegiatan tersebut tentunya serupa dengan pemikiran Stephen Edwin
King sebelumnya. Para guru tampak tenang dan berusaha menyelami diri dan
pikirannya untuk melukis kata di setiap alur imajinasinya. Di sini, dapat
dibenarkan bahwa melakukan proses menulis tidak selamanya tentang inspirasi,
tetapi juga menyangkut ekspresi dan kreasi. Dengan kata lain, menulis bisa
membangkitkan imajinasi, meramu pikiran, menyelami hati, dan menggerakan asa
untuk bermimpi. Oleh karena itu, menulis adalah proses menciptakan, dan bukan
“menyusahkan”.
Menulis Asa
Setelah
melewati proses dua hari tersebut, para guru secara perlahan mampu menulis
semua hal menyangkut apa yang dipikirkannya dengan baik dan berisi. Potret Kota
Kupang, baik dari sisi infrastruktur maupun konsep pembangunan manusia (human
development) pun menjadi tema besar yang mewadahi semua bentuk tulisan yang
disajikan. Mulai dari tulisan opini kreatif, artikel ilmiah populer, dan
feature menjadi kemasan utama yang membalut semua pemikiran para guru terhadap
perkembangan Kota Kupang.
Pada tahap
ini, para guru mulai meranjak dari proses “melukis kata” menuju fase “menulis
asa”. Semua kata yang terpikirkan harus mampu mengekspresikan diri dan menata asa
untuk perkembangan di kemudian hari. Melalui tulisan tersebut, para guru
menyimpan semua harapan, mimpi, dan gelora yang beradab demi mewujudkan Kota
Kupang sebagai Kota Literasi yang konsisten dan bermartabat.
Misi besar
untuk menjadikan Kota Kupang sebagai Kota Literasi juga diutarakan oleh Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Provinsi NTT, Winston Neil Rondo.
Menurutnya, kegiatan literasi seperti workshop dan pendampingan menulis
merupakan langkah awal untuk menumbuhkan serta mengembangkan minat menulis,
terutama di lingkungan pendidikan.
Hal
tersebut, ungkapnya, adalah salah satu upaya untuk mendorong budaya literasi di
tengah masyarakat Kota Kupang secara berkelanjutan. Oleh karena itu, lanjutnya,
semua guru harus mampu mengasah kemampuan atau kecakapannya dalam bidang
menulis yang berkelanjutan, sehingga misi dan upaya peningkatan budaya literasi
bisa menghasilkan produk nyata di tengah masyarakat.
“Kita harus
bisa mendorong Kota Kupang sebagai Kota Literasi. Ini adalah misi dan harapan
kita bersama. Workshop dan pendampingan menulis seperti ini adalah langkah awal
untuk mengembangkan minta menulis di dunia pendidikan sekaligus mendorong
budaya literasi di tengah masyarakat. Maka dari itu, guru harus terus mengasah
kemampuan diri untuk menulis sehingga bisa menghasilkan produk nyata di tengah
masyarakat,” tuturnya
saat menutup kegiatan workshop tersebut.
Catatan Penutup
Setelah
seremonial penutupan workshop penulisan KTI tersebut dilaksanakan, kami
melanjutkan sesi foto bersama, sekaligus berpamitan dan memberikan motivasi
kepada satu sama lain. Waktu tepat menunjukan pukul 13:30 Wita. Kami pun segera
beranjak dari tempat kegiatan dan pulang bersama semua mimpi besar tentang
literasi.
Tiba-tiba
saya terngiang akan kisah Kaisar Hirohito yang pernah memimpin Jepang saat Kota
Nagasaki dan Hiroshima luluh lantah akibat ledakan bom atom. Kala itu, Jepang
hancur dan terpuruk, bahkan mengalami kelumpuhan total. Negara besar itu pun
menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Seketika
itu juga sang kaisar mengumpulkan para jenderal dan bertanya, “Berapa banyak guru yang masih hidup?”.
Pertanyaan itu sontak membuat para jenderal kaget dan bingung. Namun, Kaisar
Hirohito kembali berkata, “Kita telah
jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang.
Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita
semua tidak bisa belajar, bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan
sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena mulai sekarang,
kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan”.
Kisah sang
kaisar tersebut menjadi bahan refleksi bagi kita semua, terutama yang bergiat
di dalam dunia pendidikan. Dalam mewujudkan lingkungan yang literatif, terutama
untuk mendorong Kota Kupang sebagai Kota Kupang, pertanyaan ‘berapa banyak guru yang masih bisa bergiat
dan produktif?’ adalah pijakan utama dalam mengaktualisasikan misi dan harapan tersebut. Bergiat
dalam komitmen dan berkarya secara produktif adalah bukti eksistensialis bahwa
para guru masih berada di dalam era abad 21 ini.
Hal
tersebut sesuai dengan pandangan Pramoedya Ananta Toer, penulis paling
produktif sepanjang sejarah Indonesia, yang menyatakan bahwa orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah, sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian. Maka
dari itu, marilah kita selalu giat dalam menulis dan berkarya demi semua kata
yang terlukis dan asa yang ditulis. Salam literasi!
Teks & Foto: Mario Djegho
0 Comments