Oleh Jevri Bolla, S.Pd., M.Si., MBA
Kepala SMKN
1 Sabu Barat, Kab. Sabu Raijua
Tulisan
ini tidaklah bermaksud untuk menggurui, mengajari, mengasini (menggarami),
mengisini (mempermalukan) atau menghina sebuah profesi tetapi lebih kepada
sebuah paradigma baru dalam suatu proses supervisi di sekolah yang mungkin juga
berbanding terbalik dengan aplikasinya di lapangan. Tetapi setidaknya dapat
memberikan pencerahan kepada seluruh komunitas pendidikan akan pentingnya
sebuah supervisi.
Menurut
Kamus bahasa Inggris defenisi Supervisi (supervision) adalah: to “watch over
(mengawasi), “direct (memerintah), “oversee (mengatur) dan Superintend (menjadi
pengawas pada) yang jika disederhanakan defenisinya adalah serangkaian
instrument yang dipakai untuk mengontrol peri kerja guru. Ada 3 makna yang
terimplisit dari definisi tersebut, pertama, pengawas adalah figur yang
konvensional, tukang mencari kesalahan guru, cenderung kaku dan mengasingkan
profesionalisme. Kedua, pengawas sebagai sosok yang menyenangkan hal ini
dicirikan dengan keramahannya dalam interaksi sosial tetapi tetap mengisolasi
profesionalisme, Ketiga, pengawas
dimaknai sebagai seorang pengajar yang bidikannya adalah merekatkan dan
mengefektikan semua elemen pembelajaran di sebuah sekolah tanpa mengasingkan profesionalisme guru. Makna
yang terakhir inilah yang sering disebut-sebut dewasa ini sebagai supervisiors yang
Super Vision.
Super
Vision adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah impian bagaimana
seharusnya belajar dan mengajar itu dilakukan dan dikembangkan sebagai hasil
kolaborasi pengawas, guru dan seluruh warga sekolah (komunitas). Ini berarti
orang yang sama (komunitas) akan bekerja sama untuk mewujudkan impian mereka
yang tentunya dilakukan dengan membentuk suatu proses demokrasi yang berlandaskan
pada prinsip-prinsip moral dan konsistensi yang erat (glue) di antara berbagai
element sekolah (Glickman et.all, 2010). Keeratan inilah yang akan membentuk
beberapa orang atau kelompok untuk bertanggung jawab dalam menghubungkan
kebutuhan guru sebagai individu dan tujuan organisasi sehingga individu
-individu tersebut dapat bekerja dalam satu harmoni untuk mewujudkan visi sekolah yang ingin
dicapai.
Siapa
yang Bertanggung jawab dalam Supervisi
Dari masa
ke masa pertanyaan ini selalu digulirkan dan jawabannya pun bisa bervariasi.
Ada yang menjawab dari pandangan diri sendiri (I View Point) yang
diakibatkan dari pengalaman ketika disupervisi
atau melihat suatu proses supervisi dan ada juga yang menjawab dengan
serangkaian defenisi yang buat para ahli dalam bidang supervisi.
Apapun
jawaban yang muncul atau dimunculkan terhadap pertanyaan di atas tidaklah boleh
keluar dari prinsip Supervision as the glue of successful school, bahwa
supervisi berfungsi sebagai perekat bagi keberhasilan sekolah. Dalam kondisi
seperti ini partisipasi dari seluruh komunitas sekolah dari awal hingga
berakhirnya sebuah proses supervisi. Supervisi (baca Super Vision) diidentikkan
dengan sebuah kepemimpinan untuk pengembangan dari sebuah instruksi maksudnya
adalah, fungsi dan proses lebih diutamakan daripada aturan dan posisi dimana
pendidik sebagai hirarki dalam sebuah sekolah mulai dari kepala sekolah sampai
kepada guru dapat terlibat dan dilibatkan dalam fungsi dan proses supervisi.
Supervisors
yang “Super Vision”
Sebuah
supervisi yang efektif harus merujuk pada tiga syarat yang mendasar yaitu
pengetahuan, keahlian interpersonal dan keahlian teknik. Pertama adalah dasar
pengetahuan. Seorang supervisors (pengawas) harus tahu jenis sekolah yang akan
disupervisi (SDN/Swasta, SMPN/Swasta/SMAN/Swasta, SMKN/Swasta, juga mengetahui
jenis dan sebaran guru yang ada di sekolah itu apakah guru adaptif, normatif
atau produktif. Pengetahuan inilah yang disebut sebagai kemampuan Super Vision
untuk menentukan alternatif supervisi yang tepat bagi sekolah tersebut.
Dasar
yang kedua adalah keahlian interpersonal. Dasar ini disebut kamampuan Super Vision
karena seorang supervisors (pengawas) harus tahu bagaimana kemampuan atau
keahlian interpersonalnya dapat memberi dampak yang signifikan kepada individu
maupun pendidik dalam komunitas dan juga belajar menggunakan keahlian tersebut
untuk mempromosikan aura positif yang cenderung akan merubah orientasi dari
suatu hubungan.
Super
Vision yang ketiga adalah keahlian teknik. Seorang pengawas harus mempunyai
keahlian dalam mengobservasi, merencanakan menilai dan mengevaluasi proses supervisi
untuk pengembangan pengajaran, baik pengetahuan, keahlian interpersonal dan
kompetensi teknik adalah tiga aspek pelengkap dari supervisi yang berfungsi
untuk pengembangan.
Untuk
mengembangkan konsep Super Vision seorang pengawas mengemban dua tugas
sekaligus yaitu tugas teknik dan tugas budaya. Tugas teknik adalah tugas yang
berhubungan dengan:
1.
Memberikan pertolongan (Direct Assistance) tugas ini memungkinkan
pengawas memberikan bantuan dan arahan terhadap pengajaran di kelas.
2.
Kelompok pengembangan (Group Development) dimana pengawas bersama dengan
para guru membetuk suatu grup untuk mendiskusikan dan memutuskan secara bersama
sama tentang fokus dari pengajaran di suatu sekolah.
3.
Pengembangan keahlian (Professional Development) yaitu kesempatan yang
diberikan oleh sekolah kepada para guru untuk pengembangan keahlian secara
merata dan berkesinambungan.
4.
Pengembangan kurikulum (Curriculum Development) di dalamnya seorang
pengawas bersama-sama dengan komunitas sekolah mampu merevisi, memodifikasi isi
dan meteri dalam pengajaran.
5.
Penelitian tindakan (Action Research) superviors yang Super Vision
dengan keahlian interpersonal yang dimilikinya mampu melakukan dan mengajak
untuk melakukan penelitian tindakan di kelas atau di sekolah yang sistimatis mengenai
kekurangan apa saja yang harus dilengkapi untuk tujuan pengembangan pengajaran
Tugas
yang berikut adalah tugas budaya. Tugas ini dapat membantu sekolah dan juga
guru dalam:
1. Memberikan
masukan baik berupa inovasi atau pun pengembangan dalam hal perubahan (Facilitating
Change) kapasitas gedung, jumlah guru, dalam rangka menciptakan atmosfir
belajar yang lebih baik.
2. Menyeimbangkan
kesenjangan antara budaya guru sebagai individu dan budaya sekolah sebagai
lembaga (Addressing Diversity). Budaya guru yang dimaksudkan di sini
adalah kemampuan guru sebagai manusia pembelajar yang selalu peka dan
mengaplikasikan hal-hal baru sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya
sebagai seorang guru (Individual learning community to learning society).
3. Building
Community yaitu membantu penegakan demokrasi pengajaran yang
diimplementasikan dalam pembelajaran yang professional dan memberi pemahaman
bahwa sekolah adalah bentuk lain dari suatu komunitas yang dalam setiap pergerakannya
akan berdampak pada sekolah dan masyarakat sebagi sebuah komunitas.
Segumpal
ide yang dikemukan di atas memang tampaknya terlalu ideal dan menuntut
kompetensi serta profesionalisme tetapi jika kita mau berkaca pada kondisi kita
selama ini bahwa bila supervisi dimaknai sebagai aturan dan posisi maka
sangatlah benar pandangan yang mengatakan bahwa pengawas adalah tempat buangan
bagi orang-orang yang berpotensi. Tetapi jika kiblat kita diarahkan pada fungsi
dan proses maka sangat tepatlah pandangan yang mengatakan bahwa jabatan
pengawas adalah jabatan tertinggi dalam jabatan fungsional karena di sanalah
tempat orang-orang yang kompeten dan professional menjalankan tugasnya sebagai Supervisors
yang Super Vision.
Foto:
Dokumentasi Penulis
0 Comments