Oleh Joni Liwu, S.Pd
Guru SMPN 13 Kota Kupang
Dua kali
kami bertemu, itu seingat saya. Dua tahun silam dalam sebuah kegiatan bertajuk
literasi oleh Balai Bahasa Bali. Hadir pada moment peserta dari NTT digawangi
Kantor Bahasa NTT. Peserta
NTT itu adalah beberapa guru SMP dan SMA di daratan Timor. Kota Kupang diwakili
dua orang guru SMP dan dua guru SMA.
Bandara I
Gusti Ngurah Rai – Bali tempat pertama ia berkenalan dengan saya. Beberapa
menit kemudian, dari seorang teman, saya mengetahui jika beliau adalah personil
Media Cakrawala NTT. Aku pun
masih penasaran karena nama itu sangat familiar setidaknya dari media-media
sosial yang sempat kulahap.
Setibanya
di hotel tempat pelatihan setelah berelancar di google, saya lebih mengetahuinya sebagai direktur dari sebuah
komunitas yang hari-hari ini lebih konsen dan gigih memperjuangankan generasi
emas 2045 melalui literasi.
Komunitas-komunitas
ini tentu dalam pergumulan yang maha berat dalam menentukan sikap dan tidaknya
untuk sebuah dunia yang disebut literasi. Dan jurus jitu itu adalah pelatihan menulis, tidak lain dan tidak
bukan. Jurus tersebut dipilih agar bisa menggugah dan ‘menebar pesona’.
Betapa
peluh yang berderai di jalan sunyi, demikian, Gusty Rikarno, Direktur Media
Cakarwala NTT itu menyebutnya, berhasil mewujudkan mimpi sehingga beberapa
kabupaten di NTT pun melabelnya menjadi kabupaten literasi. Tanpa harus
menyebut kabupaten-kabupaten tersebut, bagi saya itu sebuah pencapaian yang
luar biasa. Bukan soal nama kabupaten tersohor ke publik melalui dunia massa, tetapi lebih dari itu yakni
banyak guru dan siswa juga pegiat literasi yang ikut tergerus. Pertanyaannya,
apa yang tergerus?
Jawaban
yang pasti adalah kebekuan, keraguan, ketakutan soal menulis, kekhawatiran pemahaman bahwa menulis itu sulit. Buktinya
setiap kabupaten yang disinggahi (baca:diberi pelatihan) menelorkan karya
berupa buku yang dterbitkan. Bukti-bukti penerbitan buku ini kemudian melayakkan sebuah kabupaten menjadi
kabuaten literasi.
Tentu
saja banyaknya penerbitan buku bukanlah satu-satunya indikator sebuah kabupaten
literasi. Namun
keteguhan hati di tengah jalanan sunyi inilah yang diapresiasi. Sangatlah
ironis jika kita tetap terlena oleh hasil survei PISA soal tingkat literasi di
Indonesia yang sangat rendah. Ataukah tugas mendongkrak ketertinggalan soal
tingkat literasi hanya kepada pegiat
literasi, komunitas literasi, atau lebih kepada setiaap lembaga
pendidikan dengan membaca 15 menitnya? Komunitas ini, dan komunitas-komunitas lainnya di
NTT sebenarnya sedang
menanti sejuah mana para pemangku kepentingan menyuarakan literasi agar mereka
tak sunyi di jalanan sendiri.
Soal
berikut adalah keunikan komunitas media Cakrawala NTT. Mengapa unik? Saya coba menjawabnya dengan
analisa di benak yang sangat sempit
ini. Pertama, bahwa
semua personel dari komunitas ini hidup dan tinggal di ibu kota propinsi yang
juga merupakan ibu kota dari sebuah wilayah adminsitratif Kota Kupang. Namun mengapa gema
literasi itu mesti disematkan kepada kabupaten-kabupaten lain? Mengapa tidak kepada
Kota Kupang yang menjadi wilayah huniannya, bahkan berkontribusi bagi hidupnya
saban hari?
Lalu
apakah mimpi menyiapkan generasi emas itu hanya layak digiatkan kepada guru dan
siswa di kabupaten-kabupaten? Apakah mungkin guru dan siswa di wilayah Kota Kupang telah tergolong
literat sehingga kegiatan pelatihan layak kepada para guru dan siswa di
kabupaten-kabupaten?
Mungkinkah sahabat-sahabat pegiat
literasi ini harus membuktikan dulu kiprahnya di kabupaten-kabupaten sebelum
memberikan yang terbaik bagi guru dan siswa di Kota Kupang?
Tidak ada pertanyaan pasti
yang mesti dialamatkan kepada mereka. Setahu saya, mereka mendedikasikan diri
dengan tulus. Walaupun demikian, mereka sangat bersungguh dengan cara
sederhana. Sesederhana para personil ini menyajikan materi penulisan namun
segera pula terserap.
Sebuah bukti, 30 guru SD
dan SMP se-kota
Kupang yang hadir dalam Workshop Penulisan Karya Ilmiah sangat
mengapresiasi kegiatan dimaksud. Mereka dapat mewujudkan pemahaman mereka
terhadap materi sajian dengan menghasilkan tulisan berwujud feature dan opini
kreatif dengan topik yang diberikan penyelenggara kegiatan.
Dan ternyata yang juga
menjadi mimpi sahabat-sahabat dari Media Cakrawala NTT ini adalah hendak
menobatkan pula Kota Kupang menjadi Kota Literasi. Kerja keras ini bukan sebuah
isapan jempl belaka, karena dengan menggelar pelatihan selama dua tahun bertutur-turut, akan terbit
buku-buku sebagai karya para guru. Buku
berjudul “Kisah
Para Pelukis Wajah Bangsa” adalah bukti peluh dari kerja
keras teman-teman pegiat literasi media Cakrawala NTT. Ke depan, tentu
saja bukan hanya menjadi mimpi Media Cakrawala NTT, BMPS, Pemerintah Kota Kupang, tetapi juga semua
komponen bangsa dan kota
yang berlabel Smart City ini mesti mengambil peran dengan caranya
masing-masing. Dengan demikian, di tengah
semaraknya Smart
City,
sungguh warganya adalah warga yang literat.
Badan Musyawarah Perguruan
Swasta ( BMPS ) Provinsi NTT dan Dinas
Pendidikan Kota Kupang menggelar
kegiatan tersebut dengan tujuan bertujuan untuk melatih guru di Kota Kupang memiliki
kemampuan profesional dalam menulis karya ilmiah. Para guru dilatih untuk
mengkonkretkan gagasan dan pikiran cerdas dalam bentuk tulisan terutama
dalam bentuk karya ilmiah populer.
Menurut Ketua BMPS NTT, Winston Rondo yang juga Mantan
Ketua Komisi V DPRD NTT,
kegiatan tersebut sudah diselenggarakan dua kali oleh BMPS. Pada tahun 2020 pihaknya telah
melakukan kegiatan yang sama dan didukung oleh Pemerintah Provinsi NTT dan
menghasilkan satu buku karya yang ditulis oleh 36 guru, baik itu guru PAUD/TK,
SD, SMP, SMA/SMK dengan judul “Para
Pelukis Wajah Bangsa”.
Ia pun lebih lanjut menjelaskan bahwa kegiatan ini
merupakan agenda tahunan. BMPS NTT mempunyai tekad agar setiap tahun guru dan
siswa di NTT minimal menghasilkan satu buku, terutama guru dan siswa dari
sekolah swasta. Targetnya, buku tersebut selesai
diedit dan dilayout untuk diterbitkan pada bulan Agustus dan akan diserahkan
kepada Pemerintah Kota Kupang.
Sinergitas antara pemangku kepentingan tentu
sangat memberikan dukungan kepada personil Media Cakrawala NTT
ketika merasuki kaum guru dengan sajian materi nan prkatis. Betapa hal tersebut
pun terungkap dari kesan dan pesan peserta. Mereka sangat bersyukur dapat
mengikuti kegiatan bernas tersebut. Walaupun demikian, mereka juga sangat berharap Tim Media
Cakrawa NTT senantiasa memberi ruang dan waktu
jika para guru hendak membelajarkan hal menulis ini kepada rekan-rekan mereka
di sekolah.
Sebuah wujud yang masih berwujud adalah semangat
menulis. Sepertinya waktu tiga hari tidak cukup untuk belajar menulis, tetapi
bahwa semangat yang dikompori oleh seorang Gusty Rikarno dengan
punggawa-punggawanya tersebut masih terpaut dalam nubari. Seorang Gusty Rikarno yang kukenal dua tahun
silam. Selebihnya kami berpeluh di ruang kami masing-masing. Geliat literasilah
yang mempertemukan kami di gedung para senator NTT, gedung rakyat NTT.
Selayaknya agar kami tetap bersinergi dalam nafas
literasi yang sama, baginya kami bersulang buku. Buku soloku mungkin
tak seberapa makna dibanding karyanya. Tentu saja itu karena
beliau telah lama berlanglang buana dengan sejumlah jam terbang, sedangkan
usiaku di area romantis yang disebut literasi baru setahun jagung.
Setidaknya, buku karya seorang Gusty
Rikarno pun telah bersading dengan tiga buku soloku, juga delapan buah buku
antologi bersama. Karyaku di tengah pandemi covid-19. Sehingga bagiku,
masa-masa pandemi telah menautkan sebuah tanya, Covid -19 itu Wabah atau
Hikmah?
Tak ingin kujawab di tengah Covid-19 dan variannya yang
tengah mengintai. Untuk sahabatku Gusty Rikarno, pertemuan kita pun beriku
tanya yang lain, berkah atau hikmah. Di jagad yang maha luas ini, terurai
rangkaian puisi untuk juangmu yang tak kenal lelah.
Mimpimu sedang menetes
Dari peluh-peluh
tercucur.
Semula di jalan sunyi,
Kini senyum tawa
sambutmu
Banyak berarak
Beharap ke tepian.
Hari-hari tak lagi sunyi
Hanya saja hati-hati
masih menepi.
Kibarkan panjimu
Agar gaungnya semakin
menggema
Hingga seantero
Seluruh jagad.
Sahabat,
Ini bukan mimpi di siang
terik
Ini mimpi bernas dari
anak bangsa
Tersembul beriring
mentari pagi di tanah Timor.
Hari kemarin tonggakmu
tertancap
Akan ada esok dan lusa.
Hingga di suatu waktu
nanti
Generasi ini meraup emas
Karena merekalah
generasinya,
Walau kala itu
Hanya gading tertanggal
dari gajah
Dan nama ditinggalkan manusia.
Salam Literasi.
Kupang, 12 Juli 2021
Foto: Dokumentasi Penulis
0 Comments