Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

SEKOLAH TATAP MUKA DAN MOMENTUM KEBANGKITAN


Kota Kupang, CAKRAWALANTT.COM –
Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Pendidikan”, Munir Yusuf (2018) menggambarkan secara baik bagaimana manusia dan pendidikan saling mempengaruhi secara resiprokal. Diskusi hakiki tentang manusia tidak bisa terlepas dari tema besar pendidikan, dan begitupun sebaliknya, perdebatan panjang menyangkut pendidikan harus berirama dengan esensi dan eksistensi manusia beserta kehidupannya.

 

Hubungan tersebut menjadi bukti kontributif bagaimana pendidikan telah mewarnai jalan panjang kehidupan manusia hingga bertransformasi menjadi kebutuhan asasi manusia. Eksistensi pendidikan juga berkaitan erat dengan identitas manusia sebagai mahkluk sosial yang membutuhkan ruang sosialisasi dan interaksi dengan sesamanya untuk bertukar gagasan secara komunikatif. Hal tersebut berguna untuk menambah pengalaman manusia sembari melahirkan peradaban.  

 

Namun, gambaran besar tentang pendidikan tersebut kini sedang digugat oleh realitas dan kecemasan publik di tengah pandemi Covid-19. Bukan tanpa sebab, pandemi kali ini telah mengubah hampir 80% tatanan hidup dunia, termasuk dunia pendidikan. Irama pendidikan mulai terseok-seok ketika digerus oleh era normal baru (new norma era) yang menitihberatkan protokol kesehatan (prokes) di setiap proses pembelajaran. Sekolah ditutup, peserta didik dirumahkan, pembelajaran dikonvergensi ke dalam ruang virtual, dan guru terbelit oleh tuntutan tekhnologi yang adaptatif. Semua dirembuk kembali, dibentuk ulang, dan tertata baru, walaupun tidak semua pihak di belahan dunia ini siap menerima tatanan baru dalam pendidikan. 

 

Pada titik ini, manusia dan pendidikan kehilangan ruang interaktif dan sosialisasi secara langsung, serta (mungkin) kehilangan sebuah ruang transisi menuju peradaban. Hal tersebut menjadi dorongan bagi para pemangku kebijakan di Indonesia untuk mengeluarkan Surat Keputusan Bersama 4 Menteri, yakni; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Menteri Agama yang menjadi acuan dalam pemberlakuan proses pembelajaran tatap muka secara terbatas.

 

Tentunya, keputusan tersebut disesuaikan dengan prokes, zonasi penyebaran Covid-19, dan pertimbangan Pemerintah Daerah (Pemda) guna membangun sinergisitas bersama. Hal tersebut juga berlaku di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai tindak lanjut dari SKB 4 Menteri. Namun, yang menjadi pertanyaan bersama adalah “Siapkah Kita Untuk Sekolah Tatap Muka?”.    

 

Dialog Publik Bersama TVRI NTT

 

Dalam menjawabi pertanyaan bersama tersebut, Lembaga Penyiaran TVRI NTT membuka dialog publik yang mengangkat tema kesiapan semua pihak dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka. Dialog yang dipandu oleh John Hayon tersebut turut mengundang dua narasumber utama, yakni; Kepala Bidang Pendidikan Menengah (Kabid Dikmen) pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Mathias M. Beeh, S.ST, Par., M.M., dan Praktisi Pendidikan, Gusty Rikarno, S.Fil.

 

Diskusi substantif yang berlangsung selama 60 menit tersebut membedah secara strategis bagaimana urgensitas dan kesiapan sekolah tatap di NTT di tengah pandemi. Dalam pengantarnya, Mathias selaku perwakilan Pemerintah Provinsi (Pemprov) mengungkapkan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting, sehingga pandemi Covid-19 tidak boleh menjadi penghalang proses kreatif dalam belajar. Hal tersebut, tuturnya, menjadi perangsang kebijakan dalam memberikan berbagai alternatif pembelajaran tatap muka walaupun terbatas.

 

Di sisi lain, terangnya, kondisi pandemi ini secara tidak langsung juga mampu meningkatkan proses penyesuaian antara metode pembelajaran konvensional dengan penggunaan tekhnologi pendidikan daring (online). Namun, lanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa efektivitas kegiatan belajar dan mengajar (KBM) secara daring selama pandemi tidak menunjukan progres yang memuaskankan akibat terbatasnya fasilitas penunjang dan penguasaan teknologi yang belum maksimal.

 

“Pada dasarnya pendidikan sangatlah penting. Kondisi pandemi tidak boleh menghalangi kreativitas kita, sehingga kita harus siap melakukan sekolah tatap muka walaupun secara terbatas sesuai prokes. Kalau dilihat sebenarnya pandemi mendorong semua yang terlibat di dalam dunia pendidikan untuk beradaptasi dengan teknologi. Namun, tidak dapat dipungkiri juga kalau proses pembelajaran belum terlalu efektif” pungkasnya.

 

Di sisi senada, Gusty Rikarno sebagai praktisi pendidikan juga sangat menekankan pentingnya pembelajaran tatap muka sekolah. Menurutnya, dalam konteks NTT, dunia pendidikan kita belum siap melakukan proses pembelajaran secara daring, baik dari segi fasilitas maupun mental. Kegiatan belajar dari rumah (BDR), ungkapnya, menyebabkan peserta didik mengalami penurunan karakter, sebab dalam beberapa kasus, BDR dianggap sebagai hari libur, sehingga proses pembelajaran tidak bisa berlangsung secara efektif di dalam ruang virtual.

 

“Dalam konteks NTT, kita sebenarnya belum siap untuk menerapkan pembelajaran daring, baik dari segi fasilitas maupun mental. Di beberapa tempat, BDR itu dianggap sebagai hari libur sehingga pembelajaran secara virtual tidak bisa berjalan secara efektif” ungkapnya.

 

Sinergisitas dan Kesiapan Sekolah Tatap Muka

 

Lebih lanjut, Mathias menjelaskan bahwa pihaknya selalu mengamati dan memperhatikan penerapan prokes di setiap sekolah yang siap melakukan KBM tatap muka. Dalam menindaklanjuti SKB 4 Menteri dan mendukung arahan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, jelasnya, semua elemen penunjang selalu melakukan evaluasi dan pemetaan terhadap proses pembelajaran tatap muka, sehingga semua kebijakan dan rekomendasi yang dikeluarkan bisa disesuaikan secara kontekstual.

 

Di samping itu, terangnya, ada kerja sama yang baik dengan pihak Laboratorium Biomolekuler Kesehatan Masyarakat (Biokesmas) Provinsi NTT untuk memastikan kesiapan sekolah tatap muka dari segi kesehatan. Hal tersebut, paparnya, menjadi acuan dalam menentukan mekanisme yang tepat bagi penerapan KBM tatap muka di sekolah. Oleh karena itu, ia sangat menekankan proses kolaborasi dan sinergisitas di antara semua pihak dalam mendukung proses penerapan sekolah tatap muka.

 

“Kita selalu melakukan evaluasi dan pemetaan sehingga kebijakan dan rekomendasi dalam penerapan proses pendidikan bsa disesuaikan. Kita juga melakukan kerja sama dengan biokesmas untuk memastikan kesiapan sekolah tatap muka dari aspek kesehatan. Di sini yang terpenting adalah kolaborasi dan sinergisitas di antara semua pihak terkait” jelasnya.

 

Di sisi serupa, Gusty juga menekankan perlunya koordinasi dan komunikasi dalam membangun sinergisitas. Hal tersebut, ungkapnya, sangat penting dalam melakukan pendataan dan pengamatan di lapangan agar kebijakan pendidikan yang dikeluarkan tidak mengeneralisasikan keadaan bagi semua sekolah. Baginya, dengan membangun kolaborasi yang efektif, semua pihak mampu membangun narasi yang optimis sekaligus membangun tataran aksi yang kontekstual. Narasi optimis tersebut, sambungnya, mampu meredam ketakutan para pelaku pendidikan terhadap informasi media yang selalu menebar pesimistis.

 

Momen Kebangkitan dan Penguatan Karakter

 

Lebih lanjut, Mathias dan Gusty secara senada turut mempertimbangkan dampak jangka panjang dari proses pembelajaran secara daring. Keduanya sangat mendukung dan mendorong penerapan sekolah tatap muka sesuai prokes. Bagi keduanya, ouput akhir dari proses pendidikan kita akan terlihat jelas dalam jangka waktu 10 tahun mendatang. Hal tersebut tentunya akan sangat berpengaruh pada kemampuan intelektual, kecakapan literasi, dan penguatan karakter.

 

Dalam dialog publik tersebut, Gusty juga menyinggung momentum kebangkitan nasional yang sebenarnya harus mempengaruhi semangat pergerakan pendidikan di wilayah NTT. Menurutnya, pandemi tidak boleh dipandang sebagai pembatas yang menghalangi proses kreatif dan penguatan karakter para generasi NTT. Oleh karena itu, lanjutnya, penguatan karakter bisa terbentuk apabila para peserta didik bisa disatukan dalam sebuah wadah  edukatif, sebab kekuatan terakhir kita adalah penguatan karakter itu sendiri lewat pendidikan sekolah, terutama secara tatap muka.      


 

Penguatan karakter adalah hal ihwal yang harus dilakukan dan dipertahankan dalam dunia pendidikan. Dalam konteks NTT, pembelajaran daring belum mampu menciptakan efektivitas proses belajar yang baik, terutama dalam perubahan efek kognitif, afektif, konatif, dan sosial peserta didik. Herbert Spencer, seorang filsuf asal Inggris pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang mempersiapkan manusia untuk hidup sempurna. Pendidikan berarti mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam sebuah bentuk pengajaran atau edukasi.

 

Dengan kata lain, membicarakan tentang pendidikan sebenarnya juga menyangkut bagaimana pendidikan itu dilaksanakan, apa saja tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana tata kerja para pendidik. Hal ini menjadi bukti bagaimana pendidikan harus dipandang secara holistik sebagai sebuah sistem besar. Oleh karena itu, proses pendidikan yang baik akan turut mempengaruhi proses pembangunan manusia.


Visi besar pendidikan nasional kita harus berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, yakni; berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Dengan demikian, NTT harus siap menghadapi perubahan tatanan kehidupan, terutama pada dunia pendidikan. Semua orang belum mampu memastikan kapan pandemi ini akan berakhir, sehingga kita semua harus bersinergi dan berkolaborasi dalam memastikan perubahan dan kemajuan peradaban terus berjalan. Pendidikan sebagai sebuah sistem yang besar harus diimplementasikan secara baik, kolaboratif, dan seimbang sesuai visi kita bersama. Kita harus bangkit dan terus bergerak, sebab kita adalah bangsa yang besar, tangguh, dan cerdas.

 

Teks & Foto: Mario Djegho/ dok. redaksi

Editor: Robert Fahik/ red

Post a Comment

0 Comments