Oleh RP. Ovan Setu, O.Carm
Imam Karmelit. Saat ini tinggal di Asrama
Putera Alvarez Paga.
Menjelang akhir
bulan empat tahun ini, rindu terasa semakin mencekam. Duka terus berterbangan.
Sampah-sampah berceceran sepanjang ruas-ruas jalan. Debu dan abu masih saling
melumat. Masalah demi masalah timbul tanpa penyelesaian. Teriak ormas-ormas
menggema di mana-mana. Pasar jadi politik yang laris. Mimbar diam memperhitungkan
ekonomi yang sulfuls dan defisit enggan bersekongkol. Dan Altar diam memandang
maraknya kasus sosial mengatasnamakan agama. Lalu agama semakin ramai
diperdagangkan.
Rimba baru di
tengah sekarat dunia. Penyakit yang masih saja menghantui peradaban dunia.
Menamakan dirinya Covid-19 sebagai yang terberi (diberi namanya) oleh manusia.
Ia tampak dalam korban jiwa dan tak tampak dalam kerakusan serta kepicikan
manusia. Seandainya saja Covid-19 mampu memilih-milih jiwa yang perlu menjadi
korbannya, saran saya jangan kepada kami yang terhilang dari segala kemorosotan
kelas dan kasta bahkan peran dan status pun diabaikan oleh sosial dan kultur
budaya masyarakat, carilah mereka yang di sedan dan di sidang duduk melipat tangan, mulut yang
dibayar untuk diam serta kebijakan yang seringkali memeras tanpa ampun.
Kebebasan tak lagi
mudah diekspresi. Jalan-jalan mudah dibungkam oleh covid-19, pasar masih saja
saling berhimpitan, toko-toko masih juga keluar- masuk saling menukar dan
penyakit jadi barter paling romantis. Ego masih saja dinikmati. Keserakahan,
kerakusan dan kepicikan masih juga dipungut dari hidup. Anak-anak sekolah
tertinggal di balik layar handphone, belajar dikondusifkan dengan kekerasan dan
paksaan, data dibeli dua hingga tiga hari sekali, jaringan yang hilang muncul
dan data yang menspionase handphone tak jarang membuat lelah anak-anak, lebih
lelah dari pada mencari kayu dan memberi makanan bagi babi-babi di kandang.
Lembaran pengajuan
tunggakan dan uang sekolah yang masih juga mendesak, dibayar kas tanpa kredit
namun sayang debit masih saja defisit bagi pengetahuan anak-anak. Katanya Belajar
dari Rumah, sayangnya lebih asyik Bermain di Rumah.
Guru-guru yang enggan mampir meneguk kopi di rumah peserta didik, lebih memilih
meng-gosip di teras rumah. Sirih pinang dikunyah, air merahnya menodai tubuh
dan bumi, mulut masih saja meng-gosip. Sayangnya anak-anak diberi tugas tanpa
pemahaman yang baik.
Orang-orang tua diminta
menjadi guru, menemani, membimbing dan menjaga anak-anaknya selama proses
Belajar dari Rumah. Namun, tak seorang pun yang tahu bagaimana kesibukan untuk
sesuap nasi sepanjang hari itu. Ekonomi rumah tangga yang rendah menuntut kerja
keras dari pagi hingga malam. Anak-anak diyakini mampu menjaga diri. Mereka
memahami orang tua mereka. Tugas yamg diberi tidak benar-benar mereka pahami,
dipaksa untuk bertanya kepada orang tua. Tak jarang caci maki dan kata-kata
kotor keluar begitu saja. Menyalahi guru, sekolah dan anak-anaknya. Bahkan ada
yang menggunakan kekerasan kepada anak-anaknya sendiri.
“Ma, Siena ingin
pergi sekolah?"
Siang itu masih
panas, terik tepat di atas kepala. Kayu di para-para api hampir habis, konpor
dengan sumbu yang tak lagi layak dipakai, minyak tanah di jerigen dan botol
kering, tinggal uap dan aromanya saja. Keringat masih berjujuran dari kening ke
pipih, tensi dengan sendiri tinggi. Emosi meluap tanpa suara, gerutu mencuat
hanya dalam desahan nafas. Anak-anak yang masih belia tak bisa disalahkan.
Suami yang sudah sedari pagi meninggalkan rumah ke kebun. Jam makan sudah
hampir tiba.
Klara, menangis
sendirian di dapur. “Hidup mengapa harus begini,” batinnya.
Klara diam
sejenak. Tangisnya meredah. Disekahnya air mata itu. Lalu ditatapnya Siena
anaknya dari tungku api. Sambil mendesah.
“Siena, di luar
sana masih banyak penjahat yang perlu kita hindari. Begitu banyaknya sampai
mereka bisa terlihat maupun tidak terlihat. Ibu dan bapa takut, seandainya
Siena pergi sekolah, ibu dan bapa tidak bisa berbuat apa-apa, kalau sesuatu
terjadi pada Siena,” jawab Klara.
Klara tahu, ia
tidak dapat menjelaskan secara detail apa yang sedang terjadi saat ini. Siena,
hanyalah anak polos yang sedang mencari identitas dirinya. Ia paham sekali,
anaknya punya semangat yang tinggi untuk sekolah, namun sayangnya situasi
menghendaki siapa saja harus menjaga jarak dan berdiam diri di rumah.
“Mama, Siena Ingin Pergi Sekolah”
“Siena, mau pergi
sekolah?” tanya mamanya sambil mendekap anak semata wayangnya itu.
“Kalau Siena mau
pergi sekolah, nanti biar mama yang jadi gurunya. Kita, belajar di rumah saja”
lanjut Klara.
“Siena, maunya ke
Sekolah Ma”
Klara terdiam. Ia
mendesah nafasnya dengan sisa tangisnya yang masih tersengal.
“Ah, Tuhan
seandainya semua cepat berlalu, mungkin saja tidak akan seribet ini untuk
meyakini anakku sendiri,” batin Klara.
***
Keluarga Klara
bisa dibilang cukup memahami keinginan anak mereka. Tidak ada pertengkaran,
perkelahian maupun kekerasan. Hidup pas-pasan membuat mereka mengerti bahwa
tidak ada yang bisa mampu menyelesaikan setiap persoalan dengan kekerasan,
selain menerima dan menikmatinya. Keyakinan bahwa semuanya akan berlalu,
menghantar mereka untuk selau berdoa.
Sudah sering Klara
menangisi nasib keluarga mereka. Bahkan sudah teramat sering Klara dipergoki
Albert suaminya agar jangan pernah menangis di depan Siena, anak mereka.
Albert memahami
situasi keluarga mereka, terlebih ia adalah ayah dan suami yang setiap saat
bertanggung jawab penuh atas nafkah istri dan anak-anaknya. Setiap kali
didapatinya Klara menangis, sekuat tenaga pun ia menahan air matanya untuk
menguatkan istrinya.
Albert hanya
seorang petani. Ia lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ia dan Klara
sudah lima belas tahun menikah dan baru di tahun ke dua usai pernikahan mereka
dikarunia anak pertama mereka Siena. Situasi sebelum pandemic tentu tidak
separah ini. Meskipun sebagai petani Albert bisa dibilang sebagai petani
sukses, ia mampu membaca peluang pasar sehingga ia tahu persis apa yang harus
dan perlu dilakukan dengan lahan garapannya. Namun pasca covid-19 semuanya
berubah, permintaan pasar tak lebih dari sekadar menaruh iba atas hidup para
petani. Apalagi tidak sedikit hasil panenan yang gagal akibat hama dan cuaca
yang tidak mendukung. Hujan, angin dan terik tak seperti biasanya. Jagung yang
gagal panen, kacang tanah yang gagal panen akibat kadar air yang terlampau
dingin, curah hujan yang tinggi berbulan-bulan lamanya membuat semuanya tanpa
bisa jadi senyum.
Pandemi seperti
rimba baru di dalam kehidupan mereka.
“Bapa, Siena mau pergi sekolah”
Pagi itu, Albert
memilih untuk tetap tinggal di rumah. Ia ingin menghabiskan sisa hari itu
bersama Siena, dengan begitu Klara bisa lebih mudah menyelesaikan pekerjaan
rumahnya.
Albert tersedak di
tengah ia menyeruput kopi, pagi itu. Ia diam, dengan tatapan nanar ia menatap
alam bebas di hadapannya. Menimang-nimang jawabannya yang meski ia katakan
kepada anaknya itu.
Di dapur, Klara
sedang diam menanti jawaban yang akan diberikan oleh suaminya.
Keduanya sama-sama
menantikan jawaban yang tepat, biar Siena bisa memahami apa yang sedang dialami
dunia saat ini.
“Siena, anak bapa
dan mama yang tersayang. Biar Siena tidak pergi sekolah, bapa dan mama bisa
jadikan rumah ini sebagai sekolah. Nanti bapa dan mama yang jadi gurunya. Kita
sama-sama belajar. Siena mau kan?” ucap Albert sambil mencubit pipih anaknya
itu.
“Tapi Pa, Siena
mau pergi sekolah. Soalnya hari ini Siena dan teman-teman Siena biasanya
membawa acara di lapangan kantor camat kita. Sudah dari tahun lalu sampai
sekarang Siena dan teman-teman Siena tidak lagi baca acara di lapangan kantor
camat, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Pa,” cerita Siena.
Albert diam,
termangu.
Hari ini, adalah
Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) dan Siena mengingatkan Albert tentang itu.
kerinduan Siena benar adanya. Selama ini, setiap peringatan akan HARDIKNAS
Siena dan teman-teman sekelasnya pasti membawa acara di lapangan kantor camat,
lapangan yang menjadi kebanggaan setiap anak untuk tampil di hari-hari
peringatan wajib nasional.
“Kalau begitu,
Siena, bapa dan mama sama-sama nyanyi di rumah. Anggap saja Siena, bapa dan
mama sedang membawa acara di lapangan kantor camat, gimana menurut bapa?” ucap
Klara sambil berjalan dari belakang dapur menuju tempat suami dan anaknya itu.
Foto: Dokumentasi
Penulis
1 Comments
Tulisan yang mewakili siena -siena yang lain krn banyak siena di luaran sana. Semoga siena cepat bisa sekolah
ReplyDelete