Oleh RD. Fidelis Dua, M.Th
Kepala SMAS Katolik St. John
Paul II Maumere
Pendidikan
sebagai sebuah ikhtiar memanusiakan manusia merupakan karya Gereja yang tak
tergantikan sampai saat ini. Gereja memiliki peran yang strategis dalam menyelenggarakan
pendidikan melalui sekolah-sekolah
Katolik yang
mempersiapkan manusia yang mampu bekerja, menjadi warga negara, dan warga gereja yang baik, serta mampu hidup di sepanjang zaman.
Namun
karya Gereja ini bukanlah hal yang sederhana dan stabil. Globalisasi,
teknologi, migrasi, kompetisi internasional, pasar yang berubah, tantangan
politik, dan
tantangan lingkungan hidup menuntut sekolah-sekolah
Katolik untuk
mengembangkan kemampuan, pengetahuan,
dan karakter yang relevan sesuai
konteks abad ini.
Tuntutan
masa kini memerlukan cara yang lebih
inovatif dalam mengelola pendidikan yang merupakan media
pewartaan kabar gembira yang unggul dan berpihak pada yang miskin (Nota
Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia tahun 2008). Melalui nota pastoral
ini, para uskup menyatakan kepedulian akan pendidikan dengan mengingat kembali
inti dan kekhasan lembaga pendidikan
Katolik sebagai
lembaga yang setia terhadap pencerdasan kehidupan bangsa yang memiliki komitmen
untuk senantiasa berpihak atau memberikan perhatian kepada mereka yang miskin,
tersingkir, dan terbelenggu.
Namun
disinyalir bahwa pendidikan
Katolik melalui sekolah-sekolah Katolik mengalami
pergeseran dari misi awal
dan
kekhasannya. Sekolah Katolik
menjadi
sekolah elite yang
mahal, yang hanya bisa diakses dan dinikmati oleh orang-orang kaya, atau orang-orang yang beruang. Sedangkan
orang miskin, kaum tersingkir,
dan terbelenggu
seakan terlempar jauh dari sekolah
Katolik. Sekolah Katolik tidak dapat diakses
oleh mereka yang tidak mampu.
Kritik bertubi-tubi terhadap mahalnya sekolah Katolik semakin tidak terhindarkan dan semakin diperburuk oleh
sikap tidak ramah terhadap mereka yang termarginalkan dalam hidup bermasyarakat.
Dalam hal ini, sekolah Katolik belum sepenuhnya berpihak kepada kaum miskin dan
terpinggirkan.
Jika Gereja
memposisikan diri dengan semangat “option
with the poor”, maka sekolah Katolik harus bersikap merangkul, mencintai, dan berpihak
pada kaum miskin sebagai bentuk pewartaan kabar gembira yang relevan, sehingga sekolah Katolik tetap pada misinya, yaitu
membawa pada perjumpaan dengan Kristus yang hidup, bukan beralih dan
berorientasi pada pasar.
Namun tak
dapat dipungkiri lagi bahwa di era kapitalis dan pada
jantung perubahan global, sekolah Katolik ikut terseret dalam pusaran arus kapitalisasi
pendidikan. Sekolah Katolik telah berubah
menjadi industri yang menghasilkan modal yang tinggi dan mahal.
Mahalnya sekolah Katolik akan mengundang
resistensi yang dalam jangka panjang justru mempersulit peran Gereja di
tengah-tengah masyarakat. Keberpihakkan
kepada kaum miskin harus tetap menjadi sikap dasar sekolah Katolik. Akan
tetapi, ketidakberpihakkan bisa menyebabkan semakin melemahnya dukungan masyarakat terhadap sekolah Katolik. Bahkan di tengah isu akan adanya nasionalisasi
sekolah-sekolah Katolik belakangan
ini, sekolah Katolik perlu berkomitmen pada kerasulan yang mampu menjawab
perubahan zaman. Kita memang tetap membutuhkan sekolah Katolik yang unggul atau bermutu, tetapi
bukan pada sekolah Katolik yang elite dan mahal yang tidak
terjangkau oleh semua kalangan.
Untuk itu pada
era otonomi pendidikan seperti sekarang ini sepatutnya,
sekolah Katolik mesti
beralih dari sekolah elite yang mahal ke sekolah unggul yang
mengedepankan mutu yang bisa dijangkau oleh semua kalangan termasuk mereka yang
miskin dan terpinggirkan, sehingga keberpihakkan Gereja tetap nyata. Konsep
sekolah unggul adalah sekolah yang bisa
menciptakan “great student”, peserta
didik yang biasa-biasa saja, mereka yang miskin, tersingkir, dan tidak mampu menjadi
luar biasa, unggul dan berprestasi.
Sekolah
Katolik yang unggul
adalah sekolah yang mampu membawa setiap peserta didik mencapai kemampuannya
secara terukur dan mampu menunnjukkan
prestasinya. Sekolah Katolik yang unggul
dapat diartikan pula sebagai sekolah bermutu,
yang dalam penerapannya mejangkau semua kalangan. Ada harapan terhadap
sebuah sekolah
Katolik yang unggul,
yaitu sejauh mana keluaran (output) sekolah itu memiliki kemampuan intelektual,
moral, dan
keterampilan yang siap bersaing dan
berkompetisi. Sekolah Katolik
yang unggul dapat melahirkan generasi yang berkompetensi unggul, berkarakter,
dan spiritual. Sekolah Katolik yang unggul
memiliki fasilitas dan prasrana yang lengkap dan memadai. Sekolah Katolik yang unggul senantiasa
menciptakan iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah, menerima dan
mampu memproses peserta didik yang masuk sekolah tersebut (input) dengan
prestasi yang rendah
menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi.
Di dalam sekolah Katolik yang unggul, peserta
didik dari semua kalangan termasuk kaum miskin dan terpinggirkan diwadahi dan
ditampung untuk dibimbing secara maksimal tanpa diskriminasi biaya pendidikan. Sebab
biaya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat (orang tua)
yang ditentukan berdasarkan prinsip
keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan serta pengelolaannya berdasarkan pada
prinsip efisien, transparan, dan akuntabel (UU
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 47 ayat 1 dan pasal 48 ayat 1). Demikian
pun sekolah-sekolah yang berbasis masyarakat atau lembaga pendidikan yang berbadan
hukum seperti sekolah-sekolah Katolik
dapat
memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan
merata dari pemerintah
pusat atau pemerintah daerah (UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003 pasal 55 ayat 4). Biaya pendidikan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 telah terimplementasi dalam
kebijakan pendidikan oleh pemerintah saat ini.
Pada era
pemerintahan sekarang ini tidak ada lagi
diskriminasi
biaya pendidikan. Setiap peserta didik yang miskin dan tidak mampu secara
finansial dibiayai dengan dana bantuan sosial seperti BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) dan PIP (Program Indonesia Pintar). Melalui akolasi dana minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seperti yang
termuat dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 1, sekolah-sekolah dapat mengembangkan
pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) untuk menciptakan sekolah unggul.
Pengembangan sekolah Katolik yang unggul
selalu diarahkan
menuju kepada
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dengan mencapai Standar Pelayanan
Minimal (SPM), sekolah Katolik yang unggul dapat menciptakan mutu pendidikan yang baik. Sekolah
Katolik yang sedang mengembangkan mutu akan
semakin agresif, progresif dan kontekstual serta mampu menjangkau semua orang
teristimewa kaum miskin dan terpinggirkan. Di dalam sekolah Katolik yang unggul semua standar pendidikan pasti
dapat terpenuhi termasuk standar pembiayaan, sehingga sekolah tidak menjadi
sangat mahal. Dengan status sebagai sekolah unggul, sekolah Katolik benar-benar
kembali pada misinya menjadi media kabar gembira yang mengangkat derajad
peserta didik yang kurang pandai menjadi mampu dan pandai serta menjadi
titik harapan yang menjawab semua keinginan masyarakat
terlebih mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Untuk mencapai sekolah Katolik yang unggul melalui
proses revitalisasi. Konsep revitalisasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengandung arti proses, cara perbuatan menghidupkan atau menggiatkan
kembali. Selain itu, revitalisasi adalah suatu usaha menghidupkan kembali
semangat dan motivasi dasar yang pernah ada tetapi kemudian mengalami
kemunduran. Dengan demkian, secara umum arti dari revitalisasi adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk
menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya berdaya tinggi. Juga revitalisasi berarti proses
menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun atau
usaha-usaha untuk menjadikan sebuah
lembaga
penting dan sangat perlu (vital). Hal
ini bisa disebut bagian dari proses penyegaran agar terus bisa berlangsung.
Revitalisasi biasanya dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya tujuan
pendidikan yang bermutu dan unggul melalui sekolah. Selain itu, revitalisasi
dapat menjadi suatu cara kerja untuk mengembalikan keadaan sekolah yang ditandai oleh berbagai kemerosotan.
Gerakan Revitalisasi SMAS Katolik
St. John Paul II Maumere
SMAS Katolik
St. John Paul II Maumere sedang berikhtiar untuk mengatasi pelbagai kemerosotan dengan gerakan
revitalisasi. Gerakan revitalisasi SMAS Katolik St. John Paul II
Maumere telah terjadi sejak tahun 2010 hingga sekarang. Hal-hal yang telah
dilakukan untuk perubahan itu adalah perubahan cara berpikir (mindset), perwajahan/penampilan, prestasi/mutu, tata kelola sekolah, nilai (values) atau karakter dan pelayanan (service). Hasil
yang dicapai sangat signifikan dan telah diyakini akan membawa SMAS Katolik St.
John Paul II Maumere menjadi sekolah unggul dan berkarakter.
Dengan
berpegang pada semboyan “think
big, start small, move fast” (berpikir besar, mulai dari hal-hal kecil,
bertindak cepat), revitalisasi pada SMAS
Katolik St. John Paul II Maumere dapat
diikhtiarkan. Dalam konteks SMAS Katolik St. John Paul II
Maumere sebagai sebuah lembaga pendidikan, revitalisasi berarti memaksimalkan
kembali semua unsur yang dimiliki untuk menjadi lebih vital atau berdaya tinggi
demi tercapainya sasaran dari proses pendidikan yang dilangsungkan pada saat
ini dan masa depan.
Mengapa perlu ada revitalisasi sekolah ini? Karena
sekolah yang ada sekarang, jauh dalam rentang waktu sebelumnya sudah
pernah menjadi vital (sudah pernah berdaya
guna). Selain itu karena di
saat sekarang sekolah dalam kondisi menurun atau kurang terberdaya lagi.
Dengan revitalisasi akan memulihkan
kembali kondisi sekolah, minimal sama dengan yang pernah digapai sebelumnya, dan
diharapkan tambah bagus bahkan
menjadi lebih baik lagi.
Inti dari revitalisasi yang dikerjakan dalam
proses yang panjang di SMAS Katolik St. John Paul II Maumere adalah membaca konteks secara bersama-sama dengan
melakukan observasi terhadap seluruh kondisi sekolah. Realitas objektif di
dalam kehidupan sehari-hari diamati dan dicatat. Ssetiap orang dilibatkan untuk berpikir, bertindak
bersama dalam menata perwajahan sekolah, menciptakan prestasi/mutu dengan
pendistribusian tugas secara proporsional untuk semua bidang pengelolaan
sekolah, menanamkan nilai atau karakter sebagai basis dari seluruh proses
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
(service) kepada peserta didik. Sehingga hal-hal yang perlu dilakukan untuk
perubahan itu adalah perubahan cara berpikir (mindset), perwajahan/penampilan,
prestasi/mutu, tata kelola sekolah, nilai
(values) atau karakter dan pelayanan
(service).
Perubahan cara berpikir yang dimaksudkan di sini adalah merumuskan kembali visi, misi dan tujuan sekolah. Visi, misi dan tujuan sekolah yang dirumuskan adalah hasil
penggalian bersama dari semua komponen sekolah. Dengan visi, misi dan tujuan
sekolah yang baru akan mendorong semua komponen sekolah untuk berubah. Selanjutnya revitalisasi pada bidang fisik atau
sarana prasarana dan lingkungan sekolah. Perwajahan/penampilan sekolah amat memprihatinkan.
Semua ruang kelas penuh coretan dinding, ada bekas telapak kaki hampir di
loteng, meja kursi banyak rusak dan bahkan ada bangunan yang hampir roboh. Padahal
sesungguhnya perwajahan/penampilan
sekolah
amat menentukan minat atau daya tarik masyarakat untuk memilih sebuah sekolah.
Maka semua ruang kelas direnovasi dan membangun ruang kelas baru, memperbaiki dan mengadakan kursi meja bagi peserta
didik, menata lingkungan sekolah,
mendesain pakaian seragam
peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, mengadakan fasilitas belajar
(Laboratorium Komputer dan Laboratorium Bahasa Inggris), membangun perpustakaan sebagai sumber belajar, mengadakan fasilitas praktek Laboratorium Biologi,
Kimia dan Fisika, dan mengadakan fasilitas pengembangan diri bagi peserta didik (band/musik instrumental, marching band, dll).
Revitalisasi
tidak hanya berhenti pada perwajahan/penampilan. Revitalisasi di bidang prestasi/mutu
menjadi target utama dari gerakan ini. Untuk mencapai sebuah prestasi/mutu yang
baik, kualitas dan kompetensi guru dalam pembelajaran harus ditingkatkan. Untuk
itu dibuat pelatihan desain kurikulum digital. Kegiatan ini didampingi oleh
seorang instruktur selama sembilan hari. Dengan pelibatan nara sumber
dari Jakarta, para guru SMAS Katholik St. John Paul II Maumere berhasil
mengembangkan kurikulum yang berstandar. Kurikulum yang diletakkan dalam kesadaran
dan pemikiran kritis dan pembelajaran diletakkan sebagai pilar utama pendidikan.
Pembelajaran menuntut perubahan mendasar di tataran para guru itu terlebih
dahulu. Perubahan paradigma tentang pembelajaran diwujudkan dalam produk berupa
kurikulum yang disusun oleh para guru sendiri.
Untuk bisa menjalankan program-program sekolah dalam
gerakan revitalisasi, maka perlu perbaikan tata kelola sekolah. Implementasi perbaikan tata kelola adalah menyusun
Rencana Kerja Jangka Menengah (RKJM) yang dituangkan dalam Rencana Kerja
Sekolah (RKT) dan Rencana Kegiatan dan
Anggaran Sekolah (RKAS) oleh Tim Pengembangan Sekolah (TPS). Namun supaya mencapai
tujuan pengembangan sekolah yang akuntabel dan transparan, yang inovatif dan
berdaya saing, maka perlu pendistribusian tugas kepada semua komponen sekolah.
Disusun struktur organisasi sekolah dan dipilih para wakil kepala sekolah untuk
empat bidang penting, yaitu wakil kepala sekolah urusan kurikulum, wakil kepala
sekolah urusan kesiswaan, wakil kepala sekolah urusan hubungan masyarakat dan
wakil kepala sekolah urusan sarana prasarana. Juga dipilih para kepala unit
mulai dari tata usaha sampai pada kepala laboratorium.
Hal yang urgen juga dalam revitalisasi
SMAS Katolik St. John Paul II Maumere adalah pembentukan karakter dan budaya
sekolah. Karakter peserta didik dan pendidik serta tenaga kependidikan sangat
memprihatinkan. Tidak adanya kedisiplinan dalam waktu untuk pembelajaran. Maka
diterapkan pendidikan karakter dalam empat budaya salam, yakni salam dengan
lingkungan, salam dengan sesama, salam dengan tanah air dan salam kepada Tuhan.
Selain itu ada alur pendidikan karakter yang dilakukan oleh semua warga sekolah
setiap hari. Pembentukan karakter di SMAS Katolik St. John Paul II Maumere
mengembangkan nilai-nilai atau karakter pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki dan menerapkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota gereja,
masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Metode
pembentukan karakter di SMAS Katolik St. John Paul II
Maumere melalui keteladanan dan pembiasaan, live in (tinggal bersama),
dan penjernian nilai (rekoleksi, retret, pembinaan kerohanian lain dan refleksi
harian).
Sekolah sebagai Komunitas Hidup dan Perjuangan
Revitalisasi
SMAS
Katolik St. John Paul II Maumere menempatkan sekolah sebagai sebuah komunitas
hidup dan perjuangan bersama. Sekolah sebagai komunitas
memberikan pelayanan (service) kepada peserta didik secara maksimal dengan hati yang tulus,
sehingga para peserta didik dapat berkembang kemanusiaannya secara utuh atau integral artinya, peserta didik yang didampingi mengalami
perkembangan baik fisik, mental, akademis, sosial-emosional, spiritual secara
harmonis yang didukung dengan “budaya/kultur sekolah”. Sekolah dalam proses
pendidikannya, menciptakan suasana pendidikan di mana
setiap peserta didik diterima, disentuh
hatinya dan dihargai
menurut keunikannya, diberi peluang dan sarana untuk mengembangkan dirinya,
serta diberi sarana untuk menyumbangkan bakat, telenta yang dimilikinya.
Torehan pencapaian dalam kurun
waktu 2010 hingga sekarang terbilang sangat signifikan dan bagus berkat gerakan revitalisasi.
SMAS
Katolik St. John Paul II Maumere yang tadinya hampir tutup karena berbagai masalah yang
membelit bertransformasi menjadi sekolah yang kembali diperhitungkan di
Kabupaten Sikka karena progres mutu yang terus meningkat. Melalui perumusan ulang
visi, misi dan tujuan sekolah, desain kurikulum digital, perbaikan
perwajahan/penampilan, peningkatan prestasi/mutu, perbaikan tata kelola
sekolah, penanaman nilai (values)
atau karakter dan peningkatan pelayanan (service), SMAS Katolik
St. John Paul II Maumere dalam taraf tertentu telah menunjukkan beberapa perubahan dan kemajuan
yang baik.
Beberapa hasil dari revitalisasi adalah adanya perubahan,
yakni perubahan cara berpikir (mindset), perubahan
perwajahan/penampilan sekolah, peningkatan prestasi/mutu, perubahan tata kelola
sekolah, perubahan karakter melalui budaya sekolah, dan perubahan pelayanan (service). Dengan revitalisasi,
sekolah Katolik dapat bertransformasi dari yang tidak bermutu menjadi sekolah unggul
yang bermutu dan
berkarakter. Khusus pendidikan karakter benar-benar menjadi fokus dan basis
penyelenggaraan sekolah Katolik
yang unggul. Melalui pembiasaan diprogramkan beberapa kegiatan untuk menumbuhkan karakter
dalam diri setiap peserta didik. Sekolah yang demikian akan diminati oleh masyarakat
untuk melanjutkan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Idealnya
sebuah sekolah Katolik yang
ingin eksis pada zaman ini bukanlah
sekolah Katolik yang elite melainkan sekolah Katolik yang unggul yang terus-menerus berbenah diri dan siap berenang dalam arus perubahan.
Perubahan yang diikhtiar terjadi melalui gerakan revitalisasi. Pada era seperti sekarang ini, revitalisasi sekolah
merupakan suatu gerakan
untuk terus berkembang menjadi lebih unggul/bermutu. Dengan revitalisasi, sebuah
sekolah dapat bertransformasi dalam
semua aspek penyelenggaraan sekolah menuju
sekolah unggul dan berkarakter. Khusus pendidikan karakter benar-benar menjadi fokus dan
basis penyelenggaraan sekolah Katolik yang unggul yang
diminati atau menjadi pilihan masyarakat untuk melanjutkan pendidikan bagi
anak-anak mereka.
Foto: Takim/ Ino
0 Comments