Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

RESILIENSI AKADEMIK BAGI PESERTA DIDIK DI TENGAH PANDEMI COVID-19


Oleh Jetho Lawet

Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

 

Pandemi Covid-19 yang mewabah selama setahun lebih membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu bidang kehidupan yang mengalami dampak pandemi Covid-19 adalah bidang pendidikan. Model pembelajaran yang sebelumnya dilakukan secara luring mau tak mau harus dilaksanakan secara daring demi meminimalisir penularan wabah Covid-19.

 

Perubahan tersebut tak ayal melahirkan sejuta problem terkait proses pembelajaran. Peserta didik seolah mengalami shock karena belum siap dalam menghadapi perubahan pembelajaran dari luring menuju daring. Sementara sarana dan prasana yang kurang memadai menambah panjang daftar permasalahan yang melilit peserta didik seperti aliran listrik yang mati hidup bahkan yang lebih menyayat hati adalah peserta didik yang tidak memiliki smartphone. Belum lagi tugas-tugas yang diberikan ‘sebukit’ sementara konektivitas internet yang sama sekali tidak bersahabat alias jelek.

 

Hambatan-hambatan tersebut memicu terjadinya stres dalam diri peserta didik. Tidak sedikit dari peserta didik juga merasa jenuh atau bosan dengan pembelajaran daring yang memaksa mereka untuk tetap harus berada di dalam rumah. Jangan heran kalau peserta didik menghidupkan zoom, mengisi daftar hadir kemudian tidur atau malah bermain game. Santoso dan Santosa (2020) menjelaskan bahwa dampak dari pembelajaran daring adalah kendala peserta didik untuk mampu beradaptasi dan kejenuhan karena terlalu lama dalam rumah. Jika situasi ini tidak diantisipasi maka menghambat proses pembelajaran yang akan bermuara pada keterpurukan atau malah kegagalan pendidikan dalam mencerdaskan anak bangsa. Untuk itu diperlukan adanya usaha untuk berkanjang dalam resiliensi sehingga problem pandemi Covid-19 tidak menjadi sebuah momok yang menggagalkan prestasi belajar peserta didik. Resiliensi dalam konteks pendidikan dapat disebut sebagai resiliensi akademik (bdk. Haraharap, 2020).

 

Menurut Hendriani (2017) resiliensi akademik merupakan resiliensi dalam proses belajar yakni sebuah proses yang dinamis yang mencerminkan kekuatan dan ketangguhan seseorang untuk bangkit dari pengelaman emosional negatif, saat menghadapi situasi sulit yang menekan atau mengandung hambatan signifikan dalam aktivitas belajar. Sementara itu, Utami (2020) mamandang resiliensi akademik sebagai kemampuan mencapai hasil yang baik meskipun berhadapan dengan kesulitan dalam berdaptasi dan mengikuti perkembangan akademik. Bertolak dari kedua pandangan tersebut, dapat ditarik sebuah gagasan bahwa resiliensi akademik adalah kemampuan peserta didik untuk menghadapi situasi sulit dalam proses pembelajaran sehingga memperoleh hasil belajar yang memuaskan.

 

Peserta didik yang memiliki kadar resilisensi yang tinggi dapat ditakar melalui  kemampuannya untuk keluar dari persoalan, tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan akademik, dan optimis (Harahap, 2020). Lebih lanjut, Connor dan Davidson (2003) menambahkan bahwa individu yang resilien tidak hanya mampu menghadapi kesulitan yang dihadapi tetapi juga dapat beradaptasi secara positif dengan kejadian-kejadian yang negatif. Sebaliknya peserta didik yang kadar resiliensinya rendah akan cenderung merasa cemas, takut, dan menghindar dari kesulitan karena hal itu akan mengancam eksistensi dirinya (Hamachek dalam Tumanggor, dkk, 2015). Pemahaman terhadap karakteristik relisiensi akademik dalam diri peserta didik seperti yang digambarkan tersebut dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk selanjutnya mengidentifikasi problem praktis dalam proses pembelajaran di tengah pandemi Covid-19 sehingga pembelajaran tidak terjebak ke dalam, meminjam kata Freire, “transfer of bank”.

 

Resiliensi akademik tentunya berkorelasi positif terhadap kesuksesan belajar peserta didik. Artinya bahwa peserta didik yang memiliki resiliensi tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk menggapai kesuksesan dalam belajar karena mampu mereduksi hambatan menjadi peluang untuk sukses. Hal ini selaras dengan pernyataan Fuerth (dalam Hendriani, 2017) bahwa mahasiswa yang memiliki resiliensi dalam proses belajar akan berhasil menyelesaikan studi tepat waktu. Sementara itu, peserta didik yang memiliki resiliensi rendah akan menjadi sulit untuk menyelesaikan pembelajaran dalam berbagai tingkat pendidikan. Dalam konteks perguruan tinggi, peserta didik dengan tipe demikian akan ditempeli predikat ‘mahasiswa legend’. Sampai pada titik ini muncul pertanyaan, lantas bagaimanakah meningkatkan resiliensi akademik?

 

Peserta didik sebagai subjek dalam proses pembelajaran mestinya menyadari sungguh akan pentingnya resiliensi akademik. Peserta didik mesti mengubah cara pandang bahwa pandemi Covid-19 bukanlah bencana alam seperti badai seroja, sesuatu yang dibiarkan terjadi karena manusia tak mampu menghalanginya, merupakan tantangan yang mendewasakan, melihat kegagalan sebagai pintu masuk menuju kesuksesan, dan ketakberdayaan sebagai peluang untuk menjadi kuat.

 

Untuk itu, diperlukan apa yang disebut Reivich dan Shattle (2002) sebagai efikasi diri, yakni keyakinan peserta didik terhadap dirinya  sendiri dalam memecahkan persoalan. Hal ini akan membantu peserta didik untuk tetap optimis dengan memanfaat ‘peluang dalam kesempitan’ akibat pandemi Covid-19. Peserta didik juga diajak untuk menjadi pribadi yang adaptif. Artinya, berusaha menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan sehingga tidak menjadi peserta didik yang teralienasi oleh perkembangan itu sendiri.

 

Guru sebagai fasilitator juga mestinya peka terhadap persoalan yang tengah menggerogoti peserta didik. Kepekaan guru akan tercermin dalam usaha untuk mengkreasi metode pembelajaran yang inovatif sehingga peserta didik tidak merasa jenuh ataupun stres tetapi merasa ‘kerasan’ dalam mengikuti proses pembelajaran. Sesekali guru perlu menyelipkan video-video di sela-sela pembelajaran sekadar untuk melenturkan suasana yang terkesan monoton dan kaku. Kontain video yang disajikan dapat beraroma humor, animasi yang menarik, dan motivasi-motivasi yang membangkitkan kesadaran emosional peserta didik yang positif.

 

Selain itu, guru juga perlu mengasah keterampilan peserta didik untuk menghadapi kesulitan dalam belajar yang dapat diintegrasikan baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan-kegiatan di luar kelas seperti program pengembangan bakat minat. Hal ini selaras dengan pandangan Bernard (1991) menegaskan bahwa mengajarkan ketrampilan untuk menyelesaikan masalah akan membuat peserta didik memiliki resiliensi dan mampu mengatasi situasi sulit yang dihadapi yang akan membentuk pribadi mandiri yang tentunya nanti akan mengarahkan mereka menjadi produktif dan sukses dalam hidup. Dengan demikian, meskipun proses pembelajaran yang dilakukan secara daring tetapi peserta didik seolah merasa proses pembelajaran tersebut dilakukan secara luring. Singkatnya, dapat disebut sebagai proses pembelajaran daring rasa luring.

 

Menyoal permasalahan sarana dan prasarana yang belum memadai memang menjadi sebuah persoalan pelik apalagi bagi peserta didik yang masuk dalam kategori zona 3T (terluar, terdepan dan tertinggal). Untuk itu dibutuhkan sinergisitas antara orang tua, sekolah dan pemerintah daerah terakait untuk mendukung proses pembelajaran sehingga peserta didik tidak merasa ‘terpuruk’ atau ‘teralienasi’ di tengah pandemi Covid-19.

 

Langkah pemerintah pusat melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam memberikan kuota internet gratis bagi peserta didik mestinya diapresiasi sebagai ‘problem solver’ yang cukup ‘telak’ meski belum seratus persen menjawabi persoalan sarana prasana lain yang dibutuhkan peserta didik. Oleh karena itu, mari kita serentak bergerak, wujudkan merdeka belajar. Semoga perayaan Hari Pendidikan Nasional tahun 2021 memerdekakan peserta didik dari keterpurukan dan kesulitan belajar di tengah pandemi Covid-19 sehinga menjadi peserta didik yang resiliens.

 


Editor: Rezo Kaka/ R. Fahik/ red

Post a Comment

0 Comments