Oleh Jetho Lawet
Mahasiswa
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Pandemi
Covid-19 yang mewabah selama setahun lebih membawa perubahan dalam berbagai
aspek kehidupan manusia. Salah satu bidang kehidupan yang mengalami dampak
pandemi Covid-19 adalah bidang pendidikan. Model pembelajaran yang sebelumnya
dilakukan secara luring mau tak mau harus dilaksanakan secara daring demi
meminimalisir penularan wabah Covid-19.
Perubahan
tersebut tak ayal melahirkan sejuta problem terkait proses pembelajaran.
Peserta didik seolah mengalami shock karena belum siap dalam menghadapi perubahan
pembelajaran dari luring menuju daring. Sementara sarana dan prasana yang
kurang memadai menambah panjang daftar permasalahan yang melilit peserta didik
seperti aliran listrik yang mati hidup bahkan yang lebih menyayat hati adalah
peserta didik yang tidak memiliki smartphone. Belum lagi tugas-tugas yang
diberikan ‘sebukit’ sementara konektivitas internet yang sama sekali tidak
bersahabat alias jelek.
Hambatan-hambatan
tersebut memicu terjadinya stres dalam diri peserta didik. Tidak sedikit dari
peserta didik juga merasa jenuh atau bosan dengan pembelajaran daring yang
memaksa mereka untuk tetap harus berada di dalam rumah. Jangan heran kalau
peserta didik menghidupkan zoom, mengisi daftar hadir kemudian tidur atau malah
bermain game. Santoso dan Santosa (2020) menjelaskan bahwa dampak dari
pembelajaran daring adalah kendala peserta didik untuk mampu beradaptasi dan
kejenuhan karena terlalu lama dalam rumah. Jika situasi ini tidak diantisipasi
maka menghambat proses pembelajaran yang akan bermuara pada keterpurukan atau
malah kegagalan pendidikan dalam mencerdaskan anak bangsa. Untuk itu diperlukan
adanya usaha untuk berkanjang dalam resiliensi sehingga problem pandemi
Covid-19 tidak menjadi sebuah momok yang menggagalkan prestasi belajar peserta
didik. Resiliensi dalam konteks pendidikan dapat disebut sebagai resiliensi
akademik (bdk. Haraharap, 2020).
Menurut
Hendriani (2017) resiliensi akademik merupakan resiliensi dalam proses belajar
yakni sebuah proses yang dinamis yang mencerminkan kekuatan dan ketangguhan
seseorang untuk bangkit dari pengelaman emosional negatif, saat menghadapi
situasi sulit yang menekan atau mengandung hambatan signifikan dalam aktivitas
belajar. Sementara itu, Utami (2020) mamandang resiliensi akademik sebagai
kemampuan mencapai hasil yang baik meskipun berhadapan dengan kesulitan dalam
berdaptasi dan mengikuti perkembangan akademik. Bertolak dari kedua pandangan
tersebut, dapat ditarik sebuah gagasan bahwa resiliensi akademik adalah
kemampuan peserta didik untuk menghadapi situasi sulit dalam proses
pembelajaran sehingga memperoleh hasil belajar yang memuaskan.
Peserta
didik yang memiliki kadar resilisensi yang tinggi dapat ditakar melalui kemampuannya untuk keluar dari persoalan,
tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan akademik, dan optimis
(Harahap, 2020). Lebih lanjut, Connor dan Davidson (2003) menambahkan bahwa
individu yang resilien tidak hanya mampu menghadapi kesulitan yang dihadapi
tetapi juga dapat beradaptasi secara positif dengan kejadian-kejadian yang negatif.
Sebaliknya peserta didik yang kadar resiliensinya rendah akan cenderung merasa
cemas, takut, dan menghindar dari kesulitan karena hal itu akan mengancam
eksistensi dirinya (Hamachek dalam Tumanggor, dkk, 2015). Pemahaman terhadap
karakteristik relisiensi akademik dalam diri peserta didik seperti yang
digambarkan tersebut dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk selanjutnya
mengidentifikasi problem praktis dalam proses pembelajaran di tengah pandemi
Covid-19 sehingga pembelajaran tidak terjebak ke dalam, meminjam kata Freire, “transfer
of bank”.
Resiliensi
akademik tentunya berkorelasi positif terhadap kesuksesan belajar peserta
didik. Artinya bahwa peserta didik yang memiliki resiliensi tinggi memiliki
peluang yang lebih besar untuk menggapai kesuksesan dalam belajar karena mampu
mereduksi hambatan menjadi peluang untuk sukses. Hal ini selaras dengan
pernyataan Fuerth (dalam Hendriani, 2017) bahwa mahasiswa yang memiliki
resiliensi dalam proses belajar akan berhasil menyelesaikan studi tepat waktu. Sementara
itu, peserta didik yang memiliki resiliensi rendah akan menjadi sulit untuk
menyelesaikan pembelajaran dalam berbagai tingkat pendidikan. Dalam konteks
perguruan tinggi, peserta didik dengan tipe demikian akan ditempeli predikat
‘mahasiswa legend’. Sampai pada titik ini muncul pertanyaan, lantas
bagaimanakah meningkatkan resiliensi akademik?
Peserta
didik sebagai subjek dalam proses pembelajaran mestinya menyadari sungguh akan
pentingnya resiliensi akademik. Peserta didik mesti mengubah cara pandang bahwa
pandemi Covid-19 bukanlah bencana alam seperti badai seroja, sesuatu yang
dibiarkan terjadi karena manusia tak mampu menghalanginya, merupakan tantangan
yang mendewasakan, melihat kegagalan sebagai pintu masuk menuju kesuksesan, dan
ketakberdayaan sebagai peluang untuk menjadi kuat.
Untuk
itu, diperlukan apa yang disebut Reivich dan Shattle (2002) sebagai efikasi
diri, yakni keyakinan peserta didik terhadap dirinya sendiri dalam memecahkan persoalan. Hal ini
akan membantu peserta didik untuk tetap optimis dengan memanfaat ‘peluang dalam
kesempitan’ akibat pandemi Covid-19. Peserta didik juga diajak untuk menjadi
pribadi yang adaptif. Artinya, berusaha menyesuaikan diri dengan segala
perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan sehingga tidak menjadi peserta
didik yang teralienasi oleh perkembangan itu sendiri.
Guru
sebagai fasilitator juga mestinya peka terhadap persoalan yang tengah
menggerogoti peserta didik. Kepekaan guru akan tercermin dalam usaha untuk
mengkreasi metode pembelajaran yang inovatif sehingga peserta didik tidak
merasa jenuh ataupun stres tetapi merasa ‘kerasan’ dalam mengikuti proses
pembelajaran. Sesekali guru perlu menyelipkan video-video di sela-sela
pembelajaran sekadar untuk melenturkan suasana yang terkesan monoton dan kaku.
Kontain video yang disajikan dapat beraroma humor, animasi yang menarik, dan
motivasi-motivasi yang membangkitkan kesadaran emosional peserta didik yang
positif.
Selain
itu, guru juga perlu mengasah keterampilan peserta didik untuk menghadapi
kesulitan dalam belajar yang dapat diintegrasikan baik dalam proses
pembelajaran maupun dalam kegiatan-kegiatan di luar kelas seperti program
pengembangan bakat minat. Hal ini selaras dengan pandangan Bernard (1991)
menegaskan bahwa mengajarkan ketrampilan untuk menyelesaikan masalah akan
membuat peserta didik memiliki resiliensi dan mampu mengatasi situasi sulit
yang dihadapi yang akan membentuk pribadi mandiri yang tentunya nanti akan
mengarahkan mereka menjadi produktif dan sukses dalam hidup. Dengan demikian, meskipun
proses pembelajaran yang dilakukan secara daring tetapi peserta didik seolah
merasa proses pembelajaran tersebut dilakukan secara luring. Singkatnya, dapat
disebut sebagai proses pembelajaran daring rasa luring.
Menyoal
permasalahan sarana dan prasarana yang belum memadai memang menjadi sebuah
persoalan pelik apalagi bagi peserta didik yang masuk dalam kategori zona 3T
(terluar, terdepan dan tertinggal). Untuk itu dibutuhkan sinergisitas antara
orang tua, sekolah dan pemerintah daerah terakait untuk mendukung proses
pembelajaran sehingga peserta didik tidak merasa ‘terpuruk’ atau ‘teralienasi’
di tengah pandemi Covid-19.
Langkah
pemerintah pusat melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam memberikan
kuota internet gratis bagi peserta didik mestinya diapresiasi sebagai ‘problem
solver’ yang cukup ‘telak’ meski belum seratus persen menjawabi persoalan
sarana prasana lain yang dibutuhkan peserta didik. Oleh karena itu, mari kita
serentak bergerak, wujudkan merdeka belajar. Semoga perayaan Hari Pendidikan
Nasional tahun 2021 memerdekakan peserta didik dari keterpurukan dan kesulitan
belajar di tengah pandemi Covid-19 sehinga menjadi peserta didik yang
resiliens.
0 Comments