Oleh Matheus Jongsin Baba, S.Sos.
Guru Sosiologi SMAS katolik Alvarez Paga
Hari ini dua Mei.
Namun sepi, tak
terdengar sahutan suara atau pun wajah-wajah cemerlang yang menyambut hari ini.
Gerbang sekolah masih tertutup rapat. Apa yang akan dilakukan hari ini. Halaman
tengah yang biasa dipakai untuk apel, kosong. Tak terlihat seorang pun. Ruang
kelas saat ini pun tak bertuan, tak terdengar kembali tawa, teriakan, nyanyian
sekelompok anak remaja dengan petikan gitar, cerita berumpun anak remaja putri
penuh ekspresi, senda gurau tawa canda sekelompok guru pada pojok ruang
perpustakaan seperti dahulu.
Rupanya kisah
ini akhirnya terbenam.
Sampai kapan? Memasuki
tahun kedua yang tak memiliki momen dari
tahun yang telah berganti.
Berdiri memandang
sang merah putih yang sedang berkibar seakan memberikan pesan rindu yang
bermakna, sembari mendengar deru mobil di jalanan dan bunyi motor laut nelayan
yang mencari nafkah. Desiran ombak bersahutan seakan memecah karang. Langkah
kaki ini tak henti, dengan harapan ada yang memanggil dan mengucapkan salam
hangat dan harapan hari esok.
Benar kataku,
tak ada sosok yang dijumpai hari ini. Diam seribu bahasa dengan sikap iba-ku,
tangan kanan terkatuk pada dada kiriku sambil memandang sang merah putih yang
terus melambai bisu, seakan kain pusaka bertanya dalam diam.
Di mana mereka,
aku telah berjuang dan menitipkan kepadamu?
Masih adakah
pena dan buku di tangan mereka saat ini?
Masih adakah
rasa cinta terhadap negeri ini?
Masih adakah
harapan untuk mengubah negeri ini?
Hari ini aku
ingin mendengarkan nyanyian syair ‘bagimu negeri’, janji, harapan, dan cita–cita
mereka untuk negeri ini.
Bangunlah dari
tidurmu para pendidikku, berhenti berharap pada seribu mimpi yang tak menjanji.
Bangkitlah, genggam erat mereka mengubah negeri ini menjadi nyata.
Berjanjilah
sebagai pendidikan yang berjiwa nasionalisme dan patriotisme untuk negeri ini.
Foto: Dokumentasi Penulis
0 Comments