Oleh Jetho Lawet
Mahasiswa
Sanata Dharma Yogyakarta
Dalam keputusan
penempatan Program Pengalaman Lapangan (PPL) bagi setiap mahasiswa, saya
mendapat kesempatan untuk berpraktek di SMK Negeri 6 Yogyakarta. Untuk
mengetahui seperti apa profil sekolah dengan segala jurusan yang ada, saya
kemudian mencarinya di internet. Saya menemukan beberapa jurusan yang membuat
ciut semangat. Tidak ada jurusan yang berkaitan dengan kebahasaan di sekolah
tersebut.
Yang
ada hanyalah jurusan Tata Kecantikan Kulit, Kecantikan Rambut, Jasa Boga,
Pasteri, dan Menjahit. Fakta tersebut membuat pikiran saya dikerubuti oleh
sejuta pesimisme dan pertanyaan. Bagaimana saya dapat menyakinkan mereka bahwa
pelajaran Bahasa Indonesia sama pentingnya dengan kecantikan, urusan memasak,
menjahit, dan sebagainya? Apakah mereka akan menyukai pelajaran Bahasa
Indonesia?
Untuk
mengetahui kebenarannya, saya mengadakan observasi sederhana. Kepada seorang
siswa, saya melontarkan sebuah pertanyaan, “menurut Anda, apa pentingnya
pelajaran Bahasa Indonesia?” Atas pertanyaan tersebut, saya mendapat jawaban
yang mengejutkan. “Supaya saya dapat mengikuti Ujian Nasional, Kak,” kata siswa
tersebut. Bagi saya jawaban itu singkat, padat, dan cukup menyakitkan.
Jawaban
siswa tersebut hanyalah merupakan satu di antara sekian jawaban yang
merepresentasikan fakta bahwa pelajaran Bahasa Indonesia hanya dipandang
sebagai sebuah mata pelajaran wajib. Toh tanpa perlu belajar pun kami sudah
bisa berbahasa Indonesia. Demikian kurang lebih alibi yang kebanyakan
diungkapkan.
Konsekuensinya,
siswa/siswi mengikuti pelajaran tersebut sebagai sebuah rutinitas tanpa makna.
Hanya untuk memenuhi prasyarat yang diwajibkan pemerintah. Akibatnya, kegiatan
pembelajaran di kelas menjadi tak bergairah, tak menyenangkan. Apalagi jika
gurunya tidak kreatif dan inovatif dalam merancang proses pembelajaran. Sudah
tentu proses pembelajaran Bahasa Indonesia akan terasa menjenuhkan.
Bertolak
dari realitas tersebut, sebagai seorang calon guru Bahasa Indonesia, saya
merasa ada sebuah tantangan di era industri 4.0 yang mesti disikapi. Lantas
bagaimana kita membangun kesadaran dalam diri siswa/siswi zaman now?
Urgensi Inovasi Pembelajaran Bahasa
Indonesia
Menyikapi
respon yang sangat minim terhadap pelajaran Bahasa Indonesia maka penting untuk
dilakukan langkah-langkah problem solving sehingga para siswa/siswi tidak
menempatkan posisi Bahasa Indonesia pada titik paling nadir. Penulis menyajikan
beberapa terobosan yang mungkin dapat diacu oleh setiap guru dalam berbagai
level pendidikan.
Langkah
pertama yang perlu diperhatikan adalah membangun kesadaran bahwa pelajaran
Bahasa Indonesia itu penting, sama pentingnya dengan urusan kecantikan dan
sebagainya. Jika kesadaran akan pentingnya Bahasa Indonesia itu telah tertanam
dalam diri setiap pembelajar maka bukan tidak mungkin motivasi belajar pun
meningkat. Pembelajar tidak hanya belajar Bahasa Indonesia untuk ‘menangkis’
soal-soal yang akan dihadapi pada ujian nasional tetapi lebih daripada itu
mereka belajar untuk menjadi manusia Indonesia yang bertanggung jawab terhadap
masa depan negaranya. Oleh sebab itu, sebelum memulai pembelajaran guru
hendaknya menyampaikan aspek penting dari pembelajaran Bahasa Indonesia dalam
hubungannya dengan manfaat praktis dalam kehidupan masyarakat di era industri
4.0. Hal ini menjadi sangat penting guna membangun persepsi siswa/siswi bahwa
pembelajaran Bahasa Indonesia tidak sekadar memenuhi tuntutan untuk mengikuti
Ujian Nasional.
Beberapa
manfaat penting yang dapat dikemukakan, yakni meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, meraih dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni berkomunikasi dengan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar dalam tataran lisan maupun tertulis, dan dapat
membantu mengemukakan pendapat dengan baik dan sopan. Pemahaman akan manfaat
penting pelajaran Bahasa Indonesia ini diyakini akan menuntun siswa/siswi untuk
tidak menganggap persoalan Bahasa Indonesia sebagai persoalan yang remeh temeh
tetapi sebagai entitas yang urgen dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Langkah kedua, yakni meracik pembelajaran sesuai dengan tuntutan di era industri 4.0. Guru hendaknya mendesain pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi yang up to date sebagai media pembelajaran yang dikemas sekreatif dan seinovatif mungkin sehingga tidak menimbulkan kebosanan bagi para siswa. Guru juga bisa menggunakan berbagai teknik pembelajaran yang membuat siswa merasa betah di dalam kelas. Sebagai contoh, guru dapat menggunakan teknik permainan Who Wants To Be A Millionaire dalam mempelajari materi ejaan Bahasa Indonesia. Guru menyajikan soal ejaan dalam bentuk permainan tersebut dan meminta para siswa untuk menyelesaikannya.
Penggunaan media dan teknik ini dapat disesuaikan dengan kondisi sekolah. Sebab pemanfaatan media dan teknik tersebut menuntut hadirnya sarana dan prasana yang menunjang pembelajaran. Sementara di banyak sekolah, apalagi yang berada di daerah terpencil, sarana dan prasana tersebut belum mendukung. Namun, hal itu bukan menjadi persoalan yang benar-benar menghambat. Justru hal itu menjadi peluang emas bagi guru. Seberapa kreatif dan inovatif guru dalam menciptakan media dan teknik pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia tidak membuat para siswa merasa jenuh. Semakin kreatif dan inovatif guru dalam merancang proses pembelajaran, semakin bersemangat siswa/siswi mempelajari Bahasa Indonesia.
Foto: Dokumentasi Penulis
Editor: RZ Kaka/red
0 Comments