Cerpen Risma Dewi Purwita
![]() |
Ilustrasi: jatimnow.com |
Minggu pertama di bulan Desember. Sebuah minggu yang membuat seolah-olah
tidak akan pernah bertemu dengan Natal
tahun ini. Keadaan berubah menjadi dingin, kosong, dan gelap. Bila malam tiba,
ia tak bisa tidur. Lebih tepatnya lagi enggan tidur. Ia takut malam-malamnya
seperti malam sebelumnya, mimpi buruk. Mimpi memang sebuah bunga tidur, tapi
rasa-rasanya definisi tersebut sudah tak diterima oleh akal Gerus.
“Mimpi buruk itu jadi kenyataan,” jelas Gerus
kepada istrinya, sambil berjalan bolak-balik tak karuan. Ia ketakutan dan terlihat
gelisah. Istrinya tidak bisa berkata apa-apa, karena jika disangkutpautkan
dengan musibah yang menimpa keluarganya, memang benar, mimpi buruk yang
dialaminya menjadi kenyataan. Tapi
kenapa?
Gerus adalah seorang distributor beras dan pakan
ternak terbesar di daerahnya. Untuk kelancaran usahanya, beberapa minggu yang
lalu, ia membeli satu unit truk dan tiga unit motor roda tiga. Namun, ia
terkena musibah, yaitu truk miliknya menabrak seorang anak kecil di jalan raya,
hingga anak itu tewas. Kecelakaan tersebut sudah ditangani pihak berwajib, bahkan
truknya kini ditahan oleh kejaksaan negeri sebagai salah satu barang bukti
kecelakaan lalu lintas. Sebelum musibah menimpanya, kejadian serupa terjadi di
dalam mimpinya.
Kemudian sepagi ini, pukul 03.00 waktu setempat,
ia mendengar kabar kejaksaan negeri kebakaran. Semua aset kantor bahkan barang
bukti yang tersimpan di sana lenyap, tak tersisa. Peristiwa tersebut terjadi
sekitar pukul 23.00. Belum diketahui berasal dari mana kebakaran tersebut.
Namun, menurut saksi, api tersebut berasal dari ruang belakang yang dijadikan
sebagai tempat penyimpanan barang bukti. Bahkan bukan hanya itu, truk miliknya
yang terparkir di halaman kantor kejaksaan yang dijadikan sebagai bukti kecelakaan
lalu lintas, hangus terbakar.
Setelah dua kali bermimpi buruk, Gerus mulai menduga-duga,
menyangkutpautkan peristiwa demi peristiwa yang sudah terjadi. Mungkin saja
musibah yang dialaminya bukan sebuah kebetulan.
***
Sekala itu matahari tenggelam di ufuk Barat, lalu matahari terlihat semakin jauh di
mata. Warna merah, kuning, jingga menggantung di langit. Malam itu, sebelum jam
tujuh, Gerus tertidur di sofa ruang tamu. Maria tidak berani membangunkannya. Biarkan
saja, suaminya sudah lima hari tidak tidur.
Kemudian Maria pergi ke dapur, membantu
menantunya menyiapkan makanan untuk makan malam. Meski begitu, sesekali Maria
melihat suaminya, kalau-kalau suaminya bermimpi buruk lagi.
Benar saja, belum ada sepuluh menit, Gerus mulai
mengigau. Kali ini, ia berteriak meminta pertolongan. Maria segera
menghampirinya dan membangunkannya.
“Pak, Pak...”
Gerus bangun, napasnya terengah-engah seperti
baru saja menyelesaikan lari maraton. Ia berusaha mengatur napasnya. Keringat
dingin membasuh tubuhnya.
“Nipi kole,”
begitu kata Gerus kepada Maria yang berhasil membangunkannya.
“Mimpi apa pak?” tanya Maria penasaran.
“Nipi daat
kole.”
Tidak lama Encik, menantunya, muncul sambil
menggendong anaknya yang baru berusia satu tahu. “Co’o Mamah?” kata Encik penasaran.
“Encik, tolong ambilkan air minum,” kata Maria kepada
Encik yang tak mengindahkan pertanyaan menantunya.
“Eng
Mamah.” Encik
bergegas ke dapur. Kemudian kembali dengan membawa segelas air minum. Maria
menerima gelas itu, lalu memberikan kepada suaminya. Suaminya meneguk air minum
tadi, lalu mengatur napasnya lagi.
“Mah, kali ini mimpi buruk itu lebih menakutkan,”
ia berusaha mengatur napasnya lagi, dan lagi. “Truk milik kita yang terbakar di
kantor kejaksaan, mendatangi rumah kita.”
“Mori...,
co’o kole gah?” Maria
terkejut.
Kemudian hening.
Beberapa menit kemudian Maria menyarankan suaminya
untuk pergi ke tua adat di kampungnya. Bagaimanapun juga mimpi buruk yang
dialami Gerus selalu jadi kenyataan. Dan kali ini, mereka tak akan membiarkan
mimpi buruk itu terjadi lagi.
Malam itu juga, Gerus mendatangi tetua adat di
kampungnya. Ia menyadari sesuatu bahwa mimpinya menjadi kenyataan. Kali ini, ia
harus bertindak. Jika mimpi buruk terus menerus mendatanginya, bisa jadi
sesuatu yang buruk juga akan menimpa dirinya dan keluarganya.
“Eme
hitu, ite kudu pande adat, sudah,” begitu
saran dari Kobus. “Itu mimpi, poti yang
kirim, ase.” Gerus diam. Tangannya gemetar dan kegelisahan melukis raut
wajahnya. Di luar, anjing-anjing menyalak, udara dingin berembus pelan,
menyelinap di sela-sela ventilasi rumah.
***
Keesokan harinya.
Kamis malam, setelah pulang dari tua adat, Gerus
menggelar upacara adat yaitu kando nipi
da’at. Ucapara adat tersebut merupakan salah satu ritual adat untuk
menangkal mimpi buruk. Orang-orang menyakini adat tersebut juga sebuah ritus
membuang sial lewat mimpi buruk, tujuannya supaya mimpi buruk tersebut tidak
terjadi dalam kehidupan nyata. Gerus juga berkesempatan berkumpul dengan
keluarganya di rumah. Momen kebersamaan bersama keluarga memang jarang
dilakukannya. Ia menghubungi anak-anaknya yang tinggal di dekat rumahnya. Juga,
anak sulung yang tinggal di kabupaten bagian timur.
“Mah,
ami toe nganceng toko de’e wie ho’o, ai ami kudu kole muing,” begitu kata Kanis, anak sulungnya. Sebenarnya
berat, hanya saja tanggung jawab pekerjaan lebih penting, mengingat ia baru
saja diangkat menjadi PNS.
“Eng
gah, de di’am kali anak gah.” Malam
itu juga Kanis pulang. Kemudian satu persatu, orang-orang yang menghadiri teing hang barusan, pamit pulang. Yang
tersisa hanya Gerus, Maria, kedua anak beserta istri-istrinya, dan cucunya yang
baru berusia satu tahun.
***
Pukul 1.30 waktu setempat.
Aku tak tahu kapan api itu datang dan berasal
dari mana, yang kutahu api sudah sangat besar masuk ke dalam kamar. Aku membangunkan
istriku, “Cepat keluar!” Maria terkejut. Bukan terkejut karena aku membangunkannya,
melainkan api yang sudah melahap sebagian tempat tidur kami. Kulihat Maria, bergegas
keluar seperti yang diperintahkan. Aku juga membangunkan Frans, Gradus dan
istri, serta anaknya supaya keluar secepatnya. Namun, api sudah tidak bisa
dikendalikan lagi. Mereka yang hendak keluar rumah menyelamatkan diri, ditelan
lidah api.
Aku berlari berusaha menyelamatkan salah satu
dari mereka. Namun, api semakin besar, aku berlari ke kamar mandi mencoba mengambil
air untuk memadamkan api. Dan saat itu semuanya terasa berat, sakit, dan gelap.
Kupandangi tubuhku yang terbaring kaku, tak berbentuk, habis terbakar,
menghitam, mengerikan, dan kuyakin sebentar lagi tubuhku mengabu.
----------------------------
Penulis
lahir di Purwakarta-Jawa Barat, menulis puisi, cerpen, dan novel. Karya
terbarunya sebuah novel Lihardo (2020).
Beberapa
karyanya telah dimuat di Koran
Harian Minggu Pagi Yogyakarta, buletin kampus, Majalah Pendidikan Cakrawala
Kupang, Flores Pos, Majalah Pendidikan Cakrawala NTT, Banjarmasin Post, Pikiran
Rakyat, dan Majalah Bulanan Kabar NTT. Sekarang tinggal di Sumba Barat
Daya-NTT. Instagram: @risma_dpurwita. Twitter: @risma_dpurwita.
0 Comments