Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

NIPI DA’AT

Cerpen Risma Dewi Purwita

 

Ilustrasi: jatimnow.com 

Minggu pertama di bulan Desember. Sebuah minggu yang membuat seolah-olah tidak akan pernah bertemu dengan Natal tahun ini. Keadaan berubah menjadi dingin, kosong, dan gelap. Bila malam tiba, ia tak bisa tidur. Lebih tepatnya lagi enggan tidur. Ia takut malam-malamnya seperti malam sebelumnya, mimpi buruk. Mimpi memang sebuah bunga tidur, tapi rasa-rasanya definisi tersebut sudah tak diterima oleh akal Gerus.

 

“Mimpi buruk itu jadi kenyataan,” jelas Gerus kepada istrinya, sambil berjalan bolak-balik tak karuan. Ia ketakutan dan terlihat gelisah. Istrinya tidak bisa berkata apa-apa, karena jika disangkutpautkan dengan musibah yang menimpa keluarganya, memang benar, mimpi buruk yang dialaminya menjadi kenyataan. Tapi kenapa?

 

Gerus adalah seorang distributor beras dan pakan ternak terbesar di daerahnya. Untuk kelancaran usahanya, beberapa minggu yang lalu, ia membeli satu unit truk dan tiga unit motor roda tiga. Namun, ia terkena musibah, yaitu truk miliknya menabrak seorang anak kecil di jalan raya, hingga anak itu tewas. Kecelakaan tersebut sudah ditangani pihak berwajib, bahkan truknya kini ditahan oleh kejaksaan negeri sebagai salah satu barang bukti kecelakaan lalu lintas. Sebelum musibah menimpanya, kejadian serupa terjadi di dalam mimpinya.

 

Kemudian sepagi ini, pukul 03.00 waktu setempat, ia mendengar kabar kejaksaan negeri kebakaran. Semua aset kantor bahkan barang bukti yang tersimpan di sana lenyap, tak tersisa. Peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 23.00. Belum diketahui berasal dari mana kebakaran tersebut. Namun, menurut saksi, api tersebut berasal dari ruang belakang yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang bukti. Bahkan bukan hanya itu, truk miliknya yang terparkir di halaman kantor kejaksaan yang dijadikan sebagai bukti kecelakaan lalu lintas, hangus terbakar.

 

Setelah dua kali bermimpi buruk, Gerus mulai menduga-duga, menyangkutpautkan peristiwa demi peristiwa yang sudah terjadi. Mungkin saja musibah yang dialaminya bukan sebuah kebetulan.

 

***

 

Sekala itu matahari tenggelam di ufuk Barat, lalu matahari terlihat semakin jauh di mata. Warna merah, kuning, jingga menggantung di langit. Malam itu, sebelum jam tujuh, Gerus tertidur di sofa ruang tamu. Maria tidak berani membangunkannya. Biarkan saja, suaminya sudah lima hari tidak tidur.

 

Kemudian Maria pergi ke dapur, membantu menantunya menyiapkan makanan untuk makan malam. Meski begitu, sesekali Maria melihat suaminya, kalau-kalau suaminya bermimpi buruk lagi. 

 

Benar saja, belum ada sepuluh menit, Gerus mulai mengigau. Kali ini, ia berteriak meminta pertolongan. Maria segera menghampirinya dan membangunkannya.

 

“Pak, Pak...”

 

Gerus bangun, napasnya terengah-engah seperti baru saja menyelesaikan lari maraton. Ia berusaha mengatur napasnya. Keringat dingin membasuh tubuhnya.

 

Nipi kole,” begitu kata Gerus kepada Maria yang berhasil membangunkannya.  

 

“Mimpi apa pak?” tanya Maria penasaran.

 

Nipi daat kole.

 

Tidak lama Encik, menantunya, muncul sambil menggendong anaknya yang baru berusia satu tahu. “Co’o Mamah?” kata Encik penasaran.

 

“Encik, tolong ambilkan air minum,” kata Maria kepada Encik yang tak mengindahkan pertanyaan menantunya.

 

“Eng Mamah.” Encik bergegas ke dapur. Kemudian kembali dengan membawa segelas air minum. Maria menerima gelas itu, lalu memberikan kepada suaminya. Suaminya meneguk air minum tadi, lalu mengatur napasnya lagi.

 

“Mah, kali ini mimpi buruk itu lebih menakutkan,” ia berusaha mengatur napasnya lagi, dan lagi. “Truk milik kita yang terbakar di kantor kejaksaan, mendatangi rumah kita.”

 

“Mori..., co’o kole gah?” Maria terkejut.  

 

Kemudian hening.

 

Beberapa menit kemudian Maria menyarankan suaminya untuk pergi ke tua adat di kampungnya. Bagaimanapun juga mimpi buruk yang dialami Gerus selalu jadi kenyataan. Dan kali ini, mereka tak akan membiarkan mimpi buruk itu terjadi lagi.

 

Malam itu juga, Gerus mendatangi tetua adat di kampungnya. Ia menyadari sesuatu bahwa mimpinya menjadi kenyataan. Kali ini, ia harus bertindak. Jika mimpi buruk terus menerus mendatanginya, bisa jadi sesuatu yang buruk juga akan menimpa dirinya dan keluarganya.

 

“Eme hitu, ite kudu pande adat, sudah,” begitu saran dari Kobus. “Itu mimpi, poti yang kirim, ase.” Gerus diam. Tangannya gemetar dan kegelisahan melukis raut wajahnya. Di luar, anjing-anjing menyalak, udara dingin berembus pelan, menyelinap di sela-sela ventilasi rumah.

 

***

 

Keesokan harinya.

 

Kamis malam, setelah pulang dari tua adat, Gerus menggelar upacara adat yaitu kando nipi da’at. Ucapara adat tersebut merupakan salah satu ritual adat untuk menangkal mimpi buruk. Orang-orang menyakini adat tersebut juga sebuah ritus membuang sial lewat mimpi buruk, tujuannya supaya mimpi buruk tersebut tidak terjadi dalam kehidupan nyata. Gerus juga berkesempatan berkumpul dengan keluarganya di rumah. Momen kebersamaan bersama keluarga memang jarang dilakukannya. Ia menghubungi anak-anaknya yang tinggal di dekat rumahnya. Juga, anak sulung yang tinggal di kabupaten bagian timur.

 

“Mah, ami toe nganceng toko de’e wie ho’o, ai ami kudu kole muing,” begitu kata Kanis, anak sulungnya. Sebenarnya berat, hanya saja tanggung jawab pekerjaan lebih penting, mengingat ia baru saja diangkat menjadi PNS.

 

“Eng gah, de di’am kali anak gah.” Malam itu juga Kanis pulang. Kemudian satu persatu, orang-orang yang menghadiri teing hang barusan, pamit pulang. Yang tersisa hanya Gerus, Maria, kedua anak beserta istri-istrinya, dan cucunya yang baru berusia satu tahun.

 

***

 

Pukul 1.30 waktu setempat.

 

Aku tak tahu kapan api itu datang dan berasal dari mana, yang kutahu api sudah sangat besar masuk ke dalam kamar. Aku membangunkan istriku, “Cepat keluar!” Maria terkejut. Bukan terkejut karena aku membangunkannya, melainkan api yang sudah melahap sebagian tempat tidur kami. Kulihat Maria, bergegas keluar seperti yang diperintahkan. Aku juga membangunkan Frans, Gradus dan istri, serta anaknya supaya keluar secepatnya. Namun, api sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Mereka yang hendak keluar rumah menyelamatkan diri, ditelan lidah api.

 

Aku berlari berusaha menyelamatkan salah satu dari mereka. Namun, api semakin besar, aku berlari ke kamar mandi mencoba mengambil air untuk memadamkan api. Dan saat itu semuanya terasa berat, sakit, dan gelap. Kupandangi tubuhku yang terbaring kaku, tak berbentuk, habis terbakar, menghitam, mengerikan, dan kuyakin sebentar lagi tubuhku mengabu.

 

----------------------------

Penulis lahir di Purwakarta-Jawa Barat, menulis puisi, cerpen, dan novel. Karya terbarunya sebuah novel Lihardo (2020). Beberapa karyanya telah dimuat di Koran Harian Minggu Pagi Yogyakarta, buletin kampus, Majalah Pendidikan Cakrawala Kupang, Flores Pos, Majalah Pendidikan Cakrawala NTT, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, dan Majalah Bulanan Kabar NTT. Sekarang tinggal di Sumba Barat Daya-NTT. Instagram: @risma_dpurwita. Twitter: @risma_dpurwita.

Post a Comment

0 Comments