Oleh Jetho Lawet
Mahasiswa
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Memasuki
abad 21 yang ditandai dengan revolusi industri 4.0, peserta didik dihadapkan
pada sederet tantangan dan tuntutan yang mau tidak mau mesti disikapi. Salah
satunya adalah mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini selaras dengan
nasihat Frydenberg & Andone (2011) bahwa di abad 21 setiap orang harus
memiliki keterampilan berpikir kritis, pengetahuan dan kemampuan literasi
digital, literasi informasi, literasi media dan menguasai teknologi dan
informasi.
Menjawabi
tantangan tersebut pemerintah kemudian meresponnya dengan mendesain Kurikulum
2013 di Indonesia. Tujuannya adalah mengembangkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi (higher order thinking skills)
atau HOTS seperti keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills). Hal ini menjadi penting sebab akan
berpengaruh positif terhadap kesuksesan belajar peserta didik.
Tentu
masih segar dalam ingatan kita betapa keluhan para siswa dalam menghadapi Ujian
Nasional dengan level HOTS. Para siswa menggerutu dalam nada joke, “Bukan kami
yang mengerjakan soal melainkan kami dikerjain oleh soal”. Sampai pada titik
ini muncul pertanyaan, apakah peserta didik Indonesia sudah mampu berpikir
kritis?
Merujuk
pada hasil PISA dan TIMSS, peringkat siswa Indonesia masih jauh tertinggal dari
negara lain. Hasil survei dari PISA yang dikoordinasi oleh OECD pada tahun 2015,
Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara partisipan dengan skor
rata-rata 386. Hasil evaluasi dari TIMSS tahun 2015 menunjukkan bahwa
pencapaian nilai domain kognitif Matematika Indonesia berada pada peringkat ke
45 dari 50 negara partisipan. Data tersebut memberikan jawaban bahwa kemampuan
berpikir kritis peserta didik Indonesia masih sangat jauh di bawah rata-rata.
Kemampuan berpikir kritis masih menjadi ‘barang mewah’ yang belum sepenuhnya
dimiliki oleh setiap peserta didik. Permasalahan tersebut bagi penulis bukanlah
sesuatu yang alamiah seperti bencana alam, melainkan sebuah problem dalam dunia
pendidikan yang mesti ditindaklanjuti.
Dari Argumentasi menuju Pola
Berpikir Kritis
Kemampuan
berpikir kritis bukanlah suatu yang mutlak dimiliki oleh setiap peserta didik
melainkan sebuah keterampilan yang bertumbuh dan berkembang dalam proses.
Melalui proses pengembangan yang terus menerus niscaya kemampuan berpikir
peserta didik semakin terasah hingga menjadi peserta didik yang mampu berpikir
kritis. Proses pengembagan keterampilan tersebut dapat diaktualisasikan melalui
argumentasi.
Argumentasi
tak lain adalah aktifitas rasional untuk mendukung atau menolak pernyataan
dengan menggunakan bukti-bukti atau alasan-alasan yang mendukung pernyataan.
Sardianos, dkk (2015) yang mengatakan bahwa argumentasi merupakan salah satu
cabang ilmu filsafat yang mempelajari tindakan dan proses membangun
alasan-alasan dan membuat kesimpulan dalam konteks diskusi, dialog, atau
percakapan. Sementara itu, Walton (2016) menyatakan bahwa argumentasi adalah
istilah yang digunakan untuk merujuk pada seluruh aktivitas pemberian alasan
untuk mendukung atau mengkritik klaim yang dipertanyakan.
Keterampilan
berargumentasi baik lisan maupun tulisan sangat penting bagi peserta didik. Hal
ini sudah diingatkan oleh Probosari (2016) bahwa argumentasi menjadi hal yang
sangat krusial dalam membentuk pemikiran kritis dan pemahaman mendalam pada
masalah kompleks karena terdapat bukti, penalaran, dan dukungan yang kuat
terhadap suatu gagasan. Dalam konteks tujuan pendidikan, argumentasi dapat
mendukung pengembangan berpikir kritis. Peserta didik dapat dikatakan memiliki
keterampilan berpikir kritis ketika ia mampu mengidentifikasi, menalar,
menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan, informasi, dan permasalahan dengan
menggunakan bukti-bukti atau alasan-alasan yang dapat diterima. Hal ini selaras
dengan apa yang dikatakan Lin, dkk (2013) bahwa siswa yang mampu menguji dan
mengases suatu argumen untuk atau melawan klaim, mengidentifikasi dan
mengevaluasi argumen, derajat bukti dukung dan kemungkinan konterklaim,
disadari sebagai bagian yang krusial dari berpikir kritis. Untuk sampai pada
tujuan yang diharapkan maka diperlukan suatu gerakan reformasi dalam
pembelajaran.
Reformasi Pembelajaran
Rendahnya
keterampilan berpikir kritis di kalangan peserta didik merupakan sebuah
‘awasan’ bagi semua elemen yang bergelut di bidang pendidikan, baik pemerintah
maupun masyarakat, untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang berlangsung di
Indonesia. Jika tidak demikian maka bukan tidak mungkin nasib pendidikan
Indonesia menjadi ‘mimpi buruk’ yang akan dialami oleh setiap peserta didik. Output pendidikan akan tergerus dan
akhirnya tenggelam dalam derasnya arus revolusi Industri 4.0 yang tengah
menggempur berbagai bidang kehidupan manusia termasuk pendidikan.
Menyoal
hal tersebut, beberapa hal yang penting untuk diperhatikan adalah pertama,
membiasakan peserta didik untuk berdebat atau berdiskusi di dalam maupun di
luar kelas. Melalui proses tersebut peserta didik dilatih untuk tampil di ruang
publik dalam rangka menyampaikan gagasan, ide atau pemikiran dengan
memperhatikan aspek kekritisan dan kelogisan argumentasi sehingga mampu
menyakinkan lawan orang lain. Peserta didik juga diasah untuk menggunakan
alasan-alasan atau bukti-bukti faktual untuk mempertahan pendapatnya atau
mengkritik pendapat orang lain dengan argumen yang kritis dan logis. Penggunaan
argumentasi dalam berdebat mengajarkan kepada peserta didik untuk diskusi atau
debat dengan data, fakta, dan bukti nyata bukan hanya asal omong atau asal
bunyi.
Kedua,
menumbuhkembangkan kesadaran literasi di kalangan peserta didik. Minimnya
kebiasaan berliterasi di kalangan peserta didik tak jarang berujung pada
rendahnya keterampilan berpikir kritis peserta didik. Sebagai contoh, kemampuan
menulis dan berbicara secara argumentatif dengan kadar kekritisan dan kelogisan
yang tajam mengandaikan adanya literasi yang mumpuni. Sulit dibayangkan jika
tanpa kemampuan literasi yang mumpuni peserta didik mampu berpikir kritis.
Schafersman (1991) mengemukakan upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis
melalui 1) kemampuan membaca, 2) kemampuan mendengarkan, 3) kemampuan
mengamati, 4) kemampuan menganalisis. Menyadari pentingnya literasi dalam
pengembangan kemampuan berpikir kritis, guru hendaknya menanamkan budaya
literasi kepada peserta didik. Semakin tinggi budaya literasi peserta didik
maka tentu semakin kritis pola berpikir peserta didik.
Kedua, mengolah kemampuan berpikir kritis melalui metode pembelajaran. Kemampuan berpikir kritis yang tajam disadari atau tidak, bukan merupakan sebuah bakat yang dibawah sejak lahir melainkan berkembang dalam proses pembelajaran seumur hidup (on going learning). Artinya, dalam proses pembelajaran hendaknya guru mendesain metode pembelajaran yang dapat mengakomodasi peserta didik untuk aktif menganalisis, mengevaluasi pengetahuan dengan memanfaatkan argumentasi. Metode pembelajaran didesain sedemikian mungkin agar menciptakan keinginan peserta didik untuk mencari solusi, meneliti, dan bekerja sama baik dalam ruang belajar maupun di luar ruang belajar. Sebagai contoh, guru dapat mendesain metode pembelajaran berbasis masalah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari solusi atas permasalahan dengan cara mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan persoalan yang ditemukan. Hasil temuan tersebut dapat dikomunikasikan baik secara tertulis maupun lisan dalam bingkai argumentasi sehingga mampu menyakinkan orang lain. Pengkomunikasian dapat dilakukan dalam level ruangan kelas maupun publikasi ilmiah seperti karya tulis ilmiah dengan memperhatikan aspek argumentasi yang kuat.
Tentunya metode pembelajaran berbasis masalah bukan menjadi satu-satunya metode yang mampu menciptakan keterampilan berpikir kritis. Masih terdapat berbagai macam metode yang jitu dalam mengembangkan pola berpikir kritis. Oleh karena itu, kreativitas guru dalam mendesain metode pembelajaran menjadi ‘komoditas’ yang sangat diperlukan. Guru yang kreatif akan mampu menciptakan output pendidikan yang berpola pikir kritis sehingga dapat bersaing di era revolusi 4.0.
Foto: Dokumentasi Penulis
Editor: R. Fahik/ red
0 Comments