Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MELUKIS DAN PELUKIS WAJAH BANGSA

(Sebuah Catatan Reflektif Pada Buku “Jangan Menghina Guruku Lagi” Karya Gusty Rikarno)

Foto: R. Fahik/ Cakrawala NTT

 

Oleh Mario Djegho

Alumnus Undana Kupang, Jurnalis Cakrawala NTT, Anggota Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang

 

Melukis adalah sebuah kegiatan seni rupa dua dimensi. Kesenian tersebut diwujudkan dalam bidang lukis seperti kanvas dan diekspresikan melalui media garis dan warna oleh seorang pelukis. Seorang pelukis harus memiliki imajinasi, pemikiran, dan konsep secara estetis untuk menimbulkan rasa dan corak kehidupan di dalam lukisannya. Sebagai sebuah karya seni, lukisan bisa berdaya kreatif bagi peminat dan penikmatnya untuk menciptakan sesuatu dalam kaitannya dengan simetrisitas sosial (hubungan antar-sesama dan dirinya sendiri).

 

Salah satu pelukis terkenal asal Italia, Leonardo Da Vinci telah membuktikan kuatnya daya kreasi sebuah lukisan dalam perjalanan hidupnya. Pelukis asli pada karya “Manusia Vitruvian”, “Perjamuan Terakhir” dan “Mona Lisa” tersebut telah membuat cahaya terang di tengah era Renaissance Italia lewat ide dan karya seninya, sehingga ia kemudian di kenal sebagai “Manusia Renaissance”. Dalam pandangannya, seorang pelukis sejatinya memiliki seluruh alam semesta di pikiran dan tangannya. Hal tersebut akan mendorong seorang pelukis untuk terus belajar sebagai satu-satunya hal yang tidak pernah dilupakan, tidak pernah ditakuti, dan tidak pernah disesali oleh pikiran. Oleh karena itu, baginya, dalam kaitannya dengan seni melukis, kebijaksanaan adalah anak dari pengalaman. 

 

Proses dan daya kreasi tersebut juga erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Ibarat sebuah lukisan, dunia pendidikan pun dilukis oleh para pelukis handal dengan ide, pemikiran, konsep, dan imajinasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya visioner itu bertujuan untuk menumbuhkan asa dan rasa pada wajah bangsa secara edukatif. Lalu, siapakah para pelukis visioner tersebut? Dan tentu jawabannya merujuk pada sosok guru sebagai tenaga pendidik. Guru adalah seniman terbaik dalam melukis wajah pendidikan yang akan membentuk wajah bangsa di kemudian hari. Di dalam diri seorang gurulah segala upaya dan daya kreasi dituangkan untuk membina, mendidik, dan membentuk pribadi-pribadi baru dalam membangun simetrisitas dan peradaban sosial yang baik. Tanpa tarikan estetis dari tangan seorang guru, lukisan wajah pendidikan kita akan terkesan pudar, nihil nilai, dan terasa hambar.   

 

Sekilas “Jangan Menghina Guruku Lagi”

 

Realitas wajah pendidikan dan eksistensi guru di dalamnya juga tergambar jelas dalam pemikiran Gusty Rikarno lewat bukunya “Jangan Menghina Guruku Lagi”. Di dalam buku tersebut, ia mencoba merangkum, menggali, dan mengkaji data pendidikan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ramuan cerita yang sederhana tetapi menarik untuk dicermati. Ia memandang pendidikan sebagai sebuah sistem besar, dimana semua unsur yang tergabung di dalamnya saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Namun, unsur utama yang menjadi perhatiannya adalah eksistensi guru sebagai penggerak pendidikan. Baginya, guru adalah role model yang menjadi panutan hidup para peserta didik dalam mendalami dan mengimplentasikan semua ilmu dan pengetahuan dalam setiap proses kegiatan belajar dan mengajar (KBM).

 

Dalam definisinya, terminologi pendidikan diadopsi dari kata Yunani “paedagogie” yang berarti pendidikan dan “paedagogia” yang berarti bermain dengan anak. Di sisi lain, pendidikan juga selalu digunakan oleh bangsa Roma dengan istilah “educare” dan bangsa Jerman dengan istilah “erziehung” yang sama-sama berarti mengeluarkan dan menuntun. Ketiga istilah yang diadopsi oleh terminologi pendidikan sejatinya berarti mengeluarkan atau mengeksplorasi potensi positif-produktif individu dan menuntunnya dalam bidang peminatan yang sesuai secara potensial menuju sesuatu yang berguna dan bersifat konstruktif. Dengan demikian, pendidikan merupakan wadah pembangunan manusia dalam konteks perubahan yang lebih baik. Di dalam wadah itulah peran guru menjadi sosok penting yang membentuk dan menuntun setiap individu sesuai potensi dan arah pergerakannya di kemudian hari.

 

Hal tersebut senada dengan pandangan Syah (2011) dalam bukunya “Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Terbaru” yang mengartikan pendidikan sebagai sebuah proses dimana individu-individu tertentu memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhannya dengan metode-metode tertentu. Dalam proses itulah peran guru menjadi semakin konkret ketika pengaktualisasian metode-metode pendidikan membutuhkan figur-figur profesional dalam bidang pendidikan.

 

Buku “Jangan Menghina Guruku Lagi” karya Gusty Rikarno secara jelas menggambarkan realitas guru dan wajah pendidikan di lingkup NTT. Ia menuliskan semua pengalaman pribadinya tentang dinamika pendidikan berserta dampak yang turut diboncenginya. Sekali peristiwa, ia mengisahkan dan menggambarkan situasi keresahan para pemangku kebijakan, guru, dan semua pelaku pendidikan akibat rendahnya hasil Ujian Nasional di Provinsi NTT dalam rerata nasional. Tentunya, keresahan itu membuatnya harus mencari segala celah kosong demi melihat secara lebih mendalam penyebab rendahnya kualitas pendidikan di NTT.

 

Di lain kesempatan, ia juga mengisahkan tentang kualitas guru sebagai tenaga pendidik di NTT. Rendahnya kompetensi dan minimnya budaya literasi di lingkungan tenaga pendidik juga menjadi batu sandungan bagi percepatan pembangunan manusia (human development) di NTT. Di sisi lain, yang lebih menyita perhatian adalah ketika ia menggambarkan bagaimana para pelajar dan mahasiswa rela “menjajakan diri” dalam “wisata seks bebas” demi menunjang gaya hidup (life style) ataupun demi sesuap nasi. Mirisnya lagi, dalam penelitian sederhananya, ia menemukan bahwa masyarakat lebih cenderung memuaskan dahaga “isi perut” ketimbang kebutuhan “isi kepala”. Semua terkemas rapi dalam buku “Jangan Menghina Guruku Lagi” ini.

 

Proses pembahasan yang sederhana dengan uraian cerita yang menarik membuat buku ini bisa dibaca oleh semua kalangan. Namun, buku “Jangan Menghina Guruku Lagi” ini sebenarnya ingin menggambarkan secara holistik bagaimana realitas pendidikan di NTT sambil menawarkan solusi sesuai kebutuhan zaman.  

 

Wajah Guru Sebagai Pelukis Wajah Bangsa

 

Seperti halnya Leonardo Da Vinci, guru sebagai pelukis wajah bangsa melalui dunia pendidikan harus mampu menghidupkan karyanya dengan baik. Dengan kata lain, esensi dan dan eksistensi guru dalam dunia pendidikan harus diperhatikan secara serius. Jika di dalam buku “Jangan Menghina Guruku Lagi” seorang Gusty Rikarno sangat intens memperhatikan kualitas guru dan pendidikan, maka sudah saatnya wajah guru sebagai seorang pelukis dilukis ulang demi terjaganya dinamika pendidikan yang lebih bermartabat. Lalu, siapa yang harus melukis ulang wajah para guru?

 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, esensi dan eksistensi guru harus diuraikan terlebih dahulu dalam kerangka kompetensi. Standar dan kualitas guru secara personal pada dasarnya diukur dalam tataran kompetensi. Kompetensi tersebut menjadi suatu tanda pendeskripsian kecakapan, kemampuan, dan integritasnya sebagai pendidik profesional dengan beberapa indikator tertentu. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.   

 

Lebih lanjut, menurut Conny R. Semiawan, ada tiga kriteria utama yang menjadi penunjang kompetensi seorang guru, yakni knowledge criteria, performance criteria, dan product criteria. Yang pertama, Knowledge criteria merupakan kemampuan intelektual yang dimiliki seorang guru yang meliputi penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai tingkah laku individu, pengetahuan tentang kemasyarakatan dan pengetahuan umum. Yang kedua, performance criteria adalah kemampuan guru yang berkaitan dengan berbagai keterampilan dan perilaku, yang meliputi keterampilan mengajar, membimbing, menilai, interaksi sosial dan pergaulan, serta cara berkomunikasi. Dan yang terakhir, product criteria merujuk pada kemampuan guru dalam mengukur kemampuan dan kemajuan siswa setelah mengikuti proses belajar-mengajar (Danim, Sudarwan, Kairil, 2015. Profesi Kependidikan).

 

Jika ditelisik lebih jauh, kompetensi guru dan penunjangnya tersebut serupa dengan pandangan Leonardo Da Vinci bahwa pelukis hebat selalu memiliki semesta dan pikiran di tangannya, sehingga pengalaman dan proses belajar adalah langkah utama yang menjadikannya bijaksana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab dalam teori belajar sosial, guru adalah pijakan dan patokan pembelajaran peserta didik, sehingga seorang guru yang bijak akan menghasilkan begitu banyak kebijaksanaan dalam diri peserta didik. Kompetensi guru tersebut pada akhirnya bermuara pada eksistensi dan kedudukan guru yang tidak hanya dipahami sebagai sebuah profesi pekerjaan, tetapi juga mengemban misi peradaban sebagai tujuan dari sebuah pendidikan. Oleh karena itu, kompetensi guru menjadi satu bentuk kombinasi antara kecakapan, kapasitas, kemampuan dan integritas etis guru dalam perannya sebagai model atau teladan di dalam kelas. Peserta didik akan meniru dan mengimplementasikan apa yang ditampilkan, diajarkan, dan dikatakan guru sebagai bagian dari evaluasi dan proses perubahan sikap dan perilaku peserta didik.

 

Lalu, jawaban yang tepat dalam memenuhi pertanyaan “siapakah yang akan melukis ulang wajah guru kita?” adalah guru itu sendiri. Di dalam buku ”Jangan Menghina Guruku Lagi” ini, Gusty Rikarno sekali lagi menggambarkan sosok “kambing hitam” yang selalu dicari ketika semua pihak terlilit sebuah problema pendidikan yang tidak pernah menemui jalan keluarnya. “Kambing hitam” tersebut bisa merujuk pada pemerintah, ketersediaan dana operasional sekolah, hingga kurangnya fasilitas penunjang fisik. Lalu, ketika “kambing hitam” itu terus berkeliaran tanpa arah, bagaimanakah nasib masa depan pendidikan kita? Dengan demikian, Gusty Rikarno dengan tegas mengatakan “Bunuh saja kambing hitam itu, jangan dicari lagi”. Artinya, semua perubahan harus berdasar pada sikap ingin berubah, bergerak, dan bekerja dengan inisiatif yang inovatif dan produktif. Oleh karena itu, guru harus bisa menjadi pelukis ulang wajahnya sendiri dengan bercermin diri, terus belajar, dan terus berupaya di tengah keterbatasan demi mewujudkan mimpi mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Literasi : Penuntun Dasar bagi Pelukis Wajah Bangsa

 

Sekali kisah, dalam bukunya “Jangan Menghina Guruku Lagi” ini, Gusty Rikarno menceritakan pengalamannya tentang maraknya kasus “perjokian” di dalam dunia pendidikan. “Perjokian” juga sering terjadi ketika para guru dituntut untuk menunjukan kualitas tulisannya demi menunjang proses kenaikan pangkat. Seorang guru yang berkualitas secara kompeten dan cakap secara intelektual akan mampu mempertanggungjawabkan mutu personalnya. Namun, segelintir guru yang belum maksimal secara intelektual dan pengalaman akan terjerumus ke dalam kasus “perjokian”. Artinya, ia akan menggunakan jasa pembuatan tulisan yang dibuat oleh pihak lain, seperti kasus “perjokian” yang terjadi dalam proses pembuatan skripsi yang marak di perguruan tinggi.

 

Kasus sederhana yang dilukiskan oleh Gusty Rikarno tersebut sebenarnya ingin menunjukan bahwa sudah saatnya para guru bergerak maju sambil berbenah diri. Bagaimana caranya? Perkuat budaya literasi dan tingkatan intensitas kegiatan baca dan tulis di kalangan guru. Dengan demikian, ketika esensi dan eksistensi guru dipertanyakan, guru mampu menunjukan kualitas dan kompetensinya secara baik, sehingga sampai kapanpun, tidak ada lagi yang akan menghina para guru.

Ibarat melukis pada kanvas, literasi menjadi alat lukis yang dibutuhkan oleh pelukis dalam mengekspresikan pikiran dan imajinasinya melalui media warna dan garis.

 

Menurut Elizabeth Sulzby, seorang professor pendidikan dari University of Michigan yang menggagas konsep literasi usia dini, literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut terdiri atas kegiatan membaca, berbicara, menyimak dan menulis. Singkatnya, literasi berhubungan erat dengan keaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh para guru adalah terus membaca dan menulis, seperti yang ditulis oleh Gusty Rikarno dalam bukunya ini, yakni “Jangan pikirkan apa kita tulis, tetapi tulislah apa yang kita pikirkan”.

 

Literasi membaca dan menulis adalah pintu gerbang dalam memahami bentuk literasi lain, seperti lliterasi numerasi, literasi budaya dan keluarga, literasi digital, literasi finansial, dan literasi sains. Guru harus mampu menceburkan diri di dalam setiap kegiatan literasi, terutama menyangkut keaksaraan. Seperti yang ditekankan oleh Leonardo Da Vinci, kebijaksanaan adalah anak dari pengalaman, guru juga harus menambah kualitas diri dengan menggenggam banyak pengalaman dalam proses belajar yang berkelanjutan.

 

Pada akhirnya, melalui budaya literasi yang baik, lukisan wajah para guru akan terlihat menarik, dan tentunya wajah pendidikan pun bisa terlukis ulang secara baik pula. Melalui buku “Jangan Menghina Guruku Lagi” karya Gusty Rikarno ini, semua pihak dipacu untuk bisa memahami pendidikan secara menyeluruh, terutama guru sebagai unsur penting di dalamnya. Guru adalah sosok penting dalam proses pendidikan, sehingga mutu dan kualitas seorang guru juga harus terjaga secara baik.

 

Hal tersebut (mungkin) berguna dalam merealisasikan filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Driyarkara. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus menekankan penguatan nilai-nilai luhur bangsa sendiri agar tidak kehilangan jati dirinya, sedangkan bagi Driyarkara, pendidikan harus mengajarkan setiap individu untuk memahami dan menyadari keberadaannya yang turut mempengaruhi lingkungannya. Oleh karena itu, pendidikan dirancang tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan pragmatis ekonomi dan profesi, tetapi lebih jauh menyangkut humanisasi. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, seperti halnya melukis, semua pihak yang terlibat di dalamnya harus mampu berupaya dan berdaya kreatif.   


Editor: R. Fahik/ red

Post a Comment

0 Comments