Oleh Paulus Widiatmoko
Dosen
Prodi PBI UKDW Yogyakarta
Aktivitas
membaca dilakukan dengan berbagai tujuan. Membaca koran untuk mengetahui berita
terkini, membaca komik atau novel untuk mengisi waktu dan untuk refreshing,
serta membaca buku untuk belajar atau menambah pengetahuan. Adapun membaca status
atau unggahan teman di Facebook
untuk mengetahui “apa yang mereka pikirkan”. Bahkan tanpa kita sadari, membaca
diperlukan dalam keseharian seperti memahami rambu lalu lintas atau mengerti
aturan minum obat.
Apapun tujuannya, proses membaca melibatkan berbagai interaksi secara bersamaan. Secara fisik, mata melihat deretan huruf dalam kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat dan pula otot mata berkontraksi ke kiri dan kanan, bahkan kembali lagi ke kiri atau ke atas untuk membaca ulang bagian yang belum dipahami. Secara kognitif, pikiran berusaha mengartikan kode-kode yang ditangkap mata sebagai makna. Makna tersebut kemudian diolah untuk menghasilkan pengetahuan baru, mengkonfirmasi pengetahuan sebelumnya, atau mengkonstruksi kembali peta-peta pengetahuan menjadi lebih lengkap dan komprehensif. Secara afeksi, proses membaca bisa memicu berbagai emosi yang membuat pembaca terharu, menangis, atau tertawa terbahak-bahak.
Secara teoritis, tingkatan pemahaman membaca berjenjang. Taksonomi Barret menyebut dari kemampuan memahami secara harafiah (literal comprehension), melakukan reorganisasi pengetahuan (reorganization), memahami informasi tersirat (inferential comprehension), mengevaluasi informasi (evaluation), dan memberikan apresiasi (appreciation). Taksonomi ini perlu dipahami oleh semua pihak ketika berbicara tentang topik pengembangan literasi. Sesuai dengan tujuan mendasarnya untuk meningkatkan kualitas hidup melalui life skill, maka aktivitas membaca harus sampai pada tingkat pemahaman yang tinggi yaitu kemampuan apresiasi atau paling tidak satu tingkat di bawahnya dimana mereka mampu melakukan evaluasi terhadap sebuah teks atau diskursus.
Gambar Taksonomi Pemahaman Bacaan Barret (sumber: Barret, 1976) |
Pencapaian tujuan pemahaman membaca di tingkat tinggi mensyaratkan penempatan esensi bahasa yang disebut Kumaravadivelu (2006), lebih dari sebuah sistem bahasa (language as a system), akan tetapi sebagai diskursus (language as discourse), dan sebagai ideologi (language as ideology). Pengajaran wacana kritis dalam berbagai jenjang Pendidikan baik secara sengaja maupun secara tidak langsung sangat diperlukan untuk membuat para pembaca bisa melakukan analisa isi teks (lisan-tertulis/visual-auditory), mengetahui siapa yang menulis/menyampaikannya, dan dalam konteks serta kepentingan apa komunikasi tersebut dilakukan. Bahasa dalam hal ini dipahami sebagai alat untuk menunjukkan dominasi kekuasaan. Pendekatan literasi kritis sebagai sebuah kajian khusus menekankan hubungan antara pemaknaan, kekuatan, dan identitas (Janks, 2010). Ada berbagai perspektif dan orientasi konsep literasi kritis, akan tetapi semuanya bermuara pada perspektif bahwa semua tindakan dimediasi oleh bahasa dan berbagai sistem simbol dalam konteks tertentu (Lewis et al. 2009). Dengan demikian, bahasa berperan penting dalam upaya memaknai dunia dan berbagai kejadian di dalamnya serta mengambil sikap dan tindakan secara lebih bijaksana.
Seperti yang kita tahu, dunia saat ini disebut sebagai
VUCA World (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity) dimana
situasi serba tidak pasti dengan berbagai kejadian yang tidak terduga, kompleks,
dan ambigu. Contoh aktual yang saat ini kita alami adalah pandemi COVID-19.
Sebuah pandemi global yang kita tidak pernah duga sebelumnya. Salah satu
kompleksitasnya adalah gejala penyakit itu sendiri. Belum lagi berbagai
informasi mengenai wabah ini beserta berbagai berita yang beredar di media dan
internet dimana banyak kontradiksi, bahkan diantara pengambil kebijakan di
tingkat dunia, nasional, dan regional.
Untuk menyikapinya, diperlukan kemampuan literasi kritis
dalam berbagai bidang. Literasi media untuk memahami, menyaring, dan
menyebarkan informasi tentang COVID-19 secara bijak. Literasi kesehatan untuk
lebih memahami wabah ini dan cara pencegahannya. Literasi finansial untuk
mengatur keuangan keluarga dan investasi di tengah perekonomian yang lesu.
Masih banyak kemampuan literasi kritis yang diperlukan, termasuk bagaimana bisa
menjadi pembawa perubahan baik di komunitas masing-masing dari tingkat terkecil
seperti Whatssap Group sampai tingkat lingkungan tetangga.
Bagaimana mengembangkan literasi kritis? Ada berbagai
teori tentang pengembangan literasi kritis, perspektif teori klasik Freire
(1985) yang menyatakan bahwa membaca dengan kesadaran kritis dimulai dengan
mengembangkan sikap ingin tahu terhadap dunia. Hal ini diperlukan untuk
menciptakan dan kembali menciptakan ide-ide, dan tidak hanya menggunakannya
atau menyimpannya dalam “bank” memori mekanis pemaknaan secara literal
atau harafiah. Senada dengan yang sudah disampaikan di bagian sebelumnya,
Freire juga menyatakan bahwa pembaca bukan menjadi “object” dinamika
belajar akan tetapi mereka menjadi pelaku aktif atau “subject” dalam
pemaknaan sebuah teks atau diskursus (Freire, 1985).
Menempatkan literasi kritis dalam Pendidikan,
Freire (1972) bahkan mengkritik pola hubungan tradisional antara guru dan siswa
dimana guru menjadi pemegang kekuasaan atas pengetahuan yang disebut sebagai pendidikan
“banking model” dimana guru menambah saldo atau “deposits” pengetahuan
kepada siswa dan mereka menyimpannya. Singkatnya, Paulo Freire menyatakan
dengan jelas bahwa usaha untuk membebaskan siswa dari hegemoni dan dominasi
kekuasaan bahkan perlu dilakukan dalam dunia Pendidikan dimana para guru harus
mengajarkan cara memandang “dunia” dengan kritis. “Banking model” harus
diganti dengan “problem-posing model” yang akan membuat siswa dan guru
lebih setara. Model ini disebut Freire bisa melawan oppression atau
penindasan dengan memberdayakan manusia untuk lebih mampu “mempertanyakan”
kondisi mereka dan mengedepankan “dialog” (Freire, 1972).
Sejalan dengan konsep tersebut, dalam konteks
yang lebih luas, Shor (1999) menyatakan bahwa literasi kritis membuat
manusia mampu “menantang” dominasi kekuasaan atau tindakan-tindakan bahkan
sikap yang ditunjukkan olehnya. Disebutkan bahwa “this kind of
literacy-words rethinking worlds, self-dissenting in society — connects the
political and the personal, the public and the private, the global and the
local, the economic and the pedagogical, for rethinking our lives and for
promoting justice in place of inequity” (Shor, 1999). Sejalan dengan hal
tersebut, Gee (2015, p. 43) menyatakan bahwa literasi kritis membuat manusia
menjadi “active questioners of the social reality around them”. Lebih
lanjut disampaikan bahwa literasi kritis menggunakan aspek kogitif dan sosial
untuk membaca dunia dan menyadari setiap penindasan (oppression) serta
melakukan perubahan yang menjadi perjuangan hak mereka (Kucer, 2009). Aspek-aspek kognitif, sosial, dan kritis ini
disebut setara dan mempunyai tingkat kepentingan yang sama dalam memaknai
literasi kritis secara penuh. Sependapat, Sousanis (2015) juga merekomendasikan
kemampuan untuk melihat berbagai kejadian dari berbagai sudut pandang dan
menganalisa bagaimana mereka berhubungan, dan mengetahui inti atau core
dari masing-masing sudut pandang tersebut.
Berbagai
konsep dan pentingnya literasi kritis tersebut perlu diterapkan dalam berbagai
jenjang dan jenis pendidikan baik dari dasar-tinggi maupun formal-informal.
Kita tidak bisa lagi menyelesaikan berbagai masalah dunia secara sektoral.
Dalam Pendidikan formal, secara bertahap dari usia
dini para siswa bisa diajari berbagai strategi membaca kritis mulai dari yang
paling sederhana ke tingkatan yang lebih kompleks sejalan dengan jenjang pendidikan
mereka. Dalam Pendidikan informal, berbagai elemen masyarakat dan pemerintah
serta pihak swasta harus bekerjasama dalam hal ini. Mungkin akan ada benturan
kepentingan, terlebih karena dunia saat ini tidak bisa dilepaskan dari
kapitalisme dan kepentingan-kepentingan lain termasuk politik, sentimen
identitas, dan atau bahkan dominasi kekuasaan itu sendiri. Akan tetapi, tidak
akan salah jika kita selalu berpegang pada sebuah pengharapan demi dunia yang
lebih baik.
Daftar Pustaka
Barrett, T. C. (1976) Taxonomy of reading comprehension. In R. Smith & T. C. Barrett (Eds.), Teaching reading in the middle grades (pp. 51–58). Reading, MA: Addison-Wesley
Freire, P. (1972). Pedagogy of the oppressed. New
York: Herder and Herder.
Freire, P. (1985). The politics of education: Culture,
power, and liberation. South
Gee, J. P. (2015). Literacy and
education. New York: Routledge. Hadley, Mass: Bergin & Garvey.
Janks, H. (2010). Literacy and
power. Abingdon: Routledge.
Kucer,
S.B. (2009). Dimensions of Literacy A Conceptual Base for Teaching Reading and
Writing in School Settings. New York: Routledge
Lewis, C., Enciso, P.,
& Moje, E. B. (2009). Reframing sociocultural research on literacy.
Abingdon: Routledge.
Kumaravadivelu, B. (2006). Understanding language teaching:
From method to postmethod. Mahwah, N.J: Lawrence Erlbaum Associates.
Shor, I. (1995). What is Critical
Literacy?. The Journal of Pedagogy, Pluralism and Practice, 1(4). http://www.lesley.edu/journal-pedagogy-pluralism-practice/ira-shor/critical-literacy/
Sousanis, N. (2015). Unflattening.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Editor: Ira Luik/ R. Fahik/ red
0 Comments