Tuhan tidak menjanjikan
langit itu selalu biru,
bunga selalu mekar,
dan mentari selalu bersinar.
Tapi ketahuilah,
bahwa Dia selalu memberi
pelangi di setiap badai,
tawa di setiap air mata,
berkah di setiap cobaan,
dan jawaban dari setiap doa.
Untaian larik berparadoks
itu masih mengiang. Belum sempat,
melihatmu tersenyum setelah berlelah. Berpeluh dalam hitungan waktu tak
sebentar. Belum lagi cucur keringat ayah handa dan ibunda mengais rupiah.
Setiap pagi mereka berlelah, berpacu dengan waktu. Lalu kereta-kereta tua itu
diraihkan di tepi jalan. Di atasnya sedikit penganan dijajahkan, berharap
pengunjung berlalu- lalang bisa
melihat-lihat atau menghampiri
sehingga bisa membeli penganan yang tersedia sejak dini hari. Kokok ayam bersahutan
sebelum mentari menyepu embun pagi,
sebelum burung-burung bernyanyi menyambut hari baru, Ibu Nonce bersama suaminya sudah tiba di tempat jualan, di tepi jalan, teras rumah toko.
Hari berganti,
ia hanya berharap se sen dua sen terkumpul seharian. Harapan selalu disemai
juga dilumuri doa pagi sebelum berjualan. Di depan emperan sebuah toko, bu Nonce selalu menanti
dan menanti siapa gerangan akan membeli. Itu disantunkan dalam doa
berkepanjangan di kala malam selimuti tanah
Timor. Ketika rasa kantuk memagutnya karena kelelahaan mengais reseki sepanjang
hari.
“Aku berharap
padaMu. Cita dan asa kusanjungkan dalam litani doa,” Nonci
selalu merapalkan tiada henti. Semenjak merantau
ke kota, tidak ada yang muluk-muluk dari cita-citanya. Mewujudkan bahtera
keluarga yang bahagia. Bahagia tidak harus kaya harta, setidaknya cukup pangan,
pakaian, juga rumah layak huni. Lebih dari itu, mempunyai anak sebagai penerus
generasinya. Hal itu pula yang selalu disampaikan ayahandanya di kampung
halaman setiap ia berlibur bersama suami dan anaknya.
Ibunda yang hanya menamatkan pendidikan sekolah menengah ini menyadari jika
di tempat itu juga berjejer minimarket-minimarket. Belum lagi pedangan asongan
lainnya, yang juga menjajahkan penganan
beraneka rupa.
Hingga di manakah lelaki itu sekarang? Sesaat Nonci membatin. Setelah tidak lagi bekerja sebagai buruh tukang bangunan, setiap pagi
selain membantu isterinya, Nahor juga membeli buah-buahan di kebun-kebun
terdekat dan bersama isterinya menjajahkan selain kue yang dibuat isterinya.
Bu Nonce sejenak memikirkan suaminya yang saban hari mengantarnya ke pasar. Suaminya harus membawa sebagian barangan julalan, dan sebagiannya lagi oleh
ibu Nonce sendiri. Keseharian mereka harus berjibaku dengan sesama menjalin cerita tentang ikhtiar bahkan persaudaraan. Semua terjadi dengan
sendirinya dari kesahajaan mereka, pedagang kecil, tak lebih dari itu. Mereka
tidak muluk-muluk mencari uang haram, sebaliknya mendapatkan dengan cara halal.
“Sekarang, perawat dan dokter rumah sakit mendapatkan uang jutaan jika
merawat pasien covid,” demikian Susi, penjual sayur di samping bu Nonci
menceritakan.
Mendengar itu, bu Nonci hanya bergumam, seandainya sehari saja mereka
merawat puluhan pasien covid tentu mereka bisa kaya raya.
Nahor, suaminya yang sejak tadi berada di sampingnya hanya terdiam. Ia
tidak ingin terlibat dalam cerita kasak-kusuk yang belum tentu kebenarannya
itu. Ia hanya berharap kalau-kalau ada pembeli sehingga kue-kue nagasari habis terjual. Satu dua jam berlalu, belum
satupun dibeli.
“Jangankan perawat dan dokter, cleaning
service di rumah sakit juga dapat uang yang cukup,” cerita Susi lebih lanjut.
“Tetapi ada juga jenazah yang
dimakamkan secara protokol covid, namun dinyatakan negatif setelah dimakamkan.
Apakah petugas-petugas itu mengembalikan upah yang telah diterimanya?” sanggah
Bu Nonce.
“Itu yang jadi soal bu,” timpal
Susi.
”Kalau demikian, upah mereka itu halal atau haram?” Susi melanjutkan
penjelasannya.
Susi terdiam sejenak saat seseorang hendak membeli sayur jualannya. Setelah pembeli itu pergi, ia pun melanjutkan perbincangannya dengan bu
Nonce. Bu Nonce kemudian menjelaskan tentang warga yang prihatin terhadap
perlakuan kepada jenazah yan dikuburkan secara protokol kesehatan. Betapa
jenazah tidak didoakan sebagaimana biasa berdasarkan agama tertentu. Jenazah
pun tidak dibaringkan di rumah. Tidak satu pun keluarga yang bisa melayat.
Betapa kepergian jenasah yang dovonis covid sangat memiluhkan pun
memprihatinkan. Covid 19 benar-benar meluluhlantakkan segalanya. Tidak soal tatanan kehidupan, tetapi juga soal kejujuran.
“Mungkinkah manusia sedang diuji?” Bu Nonci berkata dalam hati. Ia kemudian
memandangi suaminya yang sejak tadi setia menunggui jualan mereka.
Hari ini jualan mereka cukup banyak dibeli. Mereka hanya membawa pulang
beberapa kue ke rumahnya. Tidak seperti ruko sebelah yang khusus menjual
berjenis kue. Mereka sanggup menyewakan ruko. Pasar memang dibangun untuk
pedagang. Namun, tidak semua pedagang bisa menyewa ruko sebagai tempat berjual.
Karenanya kedua suami isteri itu hanya berharap jika emperan ruko dikhlaskan
pemiliknya bagi mereka walau hanya selebar satu dua meter saja. Mereka berdua sangat bersyukur
karena, Ongko, demikian warga keturuan pemilik ruko, membiarkan kedua pasangan
suami isteri itu menjajahkan dagangannya di depan tokoh tersebut.
Bo Nonci sekeluarga kini melepaskan lelah di pembaringan. Nahor juga turut
mempersipan segalanya, agar ketika subuh nanti ia bisa membantu isteirnya
membuat kue-kue untuk dijajahkan. Ibu Nonce terjaga dari tidurnya. Bunyi sirene
ambulance dalam iringan kendaraan polisi meraung-raung di jalan raya. Nahor
suaminya, terlelap, Anton putra semata mayangnya pun demikian. Di masa pandemi
covid ini, bunyi sirene ini seperti momok. Bulu kuduk merinding, karena bunyi
sirene seperti itu adalah iring-iringan petugas memakamkan pasien covid.
Kehidupan yang serba terbatas membuat mereka untuk tidak memilih, apakah di
rumah saja atau harus bekerja di tengah keramaian yang rentan terinfkesi virus
covid 19.
Ia belum juga tidur. Betapa di benaknya sekarang seperti diperhadapkan pada
buah si malakama. Tidak berjualan tentu tidak mungkin. Itu berarti kehidupan
ekonomi rumah tangganya lumpuh total. Maka hanya ada pilihan tetap melakoni
hidup sebagai penjual kue di keramaian. Belum lagi ada juga penjual dan pembeli
yang tidak mematuhi protokol kesehatan misalnya dengan memakai masker. Ibu
nonci harus tetap bekerja agar bisa menyambung hidup keluarganya, belum lagi
harus memenuhi kebutuhan sekolah putra mereka.
Mereka berdua pun selalu waspada saat berjualan, karena bu Nonce selalu
menyiapkan masker.Untuk mencuci tangan Ongko sudah menyiapkan air dan sabun di
depan tokohnya. Mereka tetap waspada karena virus yang tidak terdeksi bisa
tertular dari Orang Tanpa Gejala. Siapapun bisa tertular. Dari sesama pedangan yang hari-hari ini berjibaku
mengais sesen dua sen atgau dari para pembeli.
Pikiran ibu Nonce menerawang jauh. Ia pun hanya pasrah dan berharap masa
pandemi ini segera berakhir. Sesaat kemudian Bu Nonce ke kamar mandi, lalu
melihat putranya di kamar sebelah. Kedua lelaki ini sangat pulas.
“Entakah mereka tidak memikirkan dampak covid?” cetusnya dalam hati.
Pagi ini, Bu Nonce terbangun saat bunyi adzan. Suara azan ini selalu membangunkan kedua suami isteri itu dan ketika
itu pula mereka harus menyiapkan jualan mereka.Tidak lupa membangunkan
puteranya. Suaminya sangat sibuk di tungku perapian di samping rumah. Bu Nonce
harus mengukus nagasarinya di tungku agar lebih cepat masak. Dengan begitu mereka berdua dapat berjualan sejak pagi hari.
Bu Nonce menyipkan daun pisang. Kemarin ketika kembali dari pasar, suaminya
sudah menyiapkan daun-daun pisang. Itu pun dimintanya dari kebun tetangga. Walau
sibuk ia masih ke kamar putranya hendak membangunkan lagi anaknya.
“Anton! Sepertinya tugasmu sudah dikirim gurumu. Bangun dan kerjakan!,” perintahnya
memelas.
“Iya, Bu nanti kukerjakan”, sahut Anton.
“Jika sarapan, ada tu kue di meja,” sahut
Bu Nonce sambil bergegas menyiapkan barang julannya.
Mereka berdua kini sudah di depan emperan ruko milik Ongko. Sebelum
berjualan tak lupa membersihkan halaman depan ruko. Itu selalu dikerjakan
setiap pagi. Karenanya Ongko sangat berterima kasih dan iklas pula memberikan
tempat di depan rukonya bagi Bu Nonce dan suaminya berjualan.
Gerimis Februari tak kunjung henti. Guyuran hujan berkepanjangan tahun
ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak siang hingga sore hujan tak
kunjung henti. Nonce dan Nahor dalam dingin tetap menjagai jualannya. Ada
sesuatu yang menggajal di hatinya. Sejak pagi belum satu pun pembeli menghampiri
mereka, kecuali ongko yang sesekali keluar dan melihat-lihat cuaca di lura
rukonya. Ia sempat menyapa keduanya lalu bergegas masuk ke dalam.
Keduanya saling memandang dalam diam. Sudah beberapa jam, belum satupun
penganan mereka terjual. Sesekali Nahor meraih sapu lidi yang tersadar di
samping tembok.Ia lalu mencoba membersihkan genangan air di depan tokoh itu.
Nonci hanya menatap diam. Mungkinkan suaminya hanya mengalihkan perhatian? Ia
coba menduga jika ada guratan kesedihan karena belum sepeserpun uang di tangan
mereka? Beberapa saat Nonci pun terdiam. Ia coba menata kembali beberapa pring
kue di atas meja berukuran lima puluha kali dua ratus meter persegi itu. Namun sejauh itu kue-kue itu
laku terjual. Kalau pun ada berlalu lalang di depan mereka, itu hanya membeli
sayur yang dijajahkan Susi, tak jauh dari tempat mereka.
Waktu pada gawai bu Nonce menunjukkan pukul lima belas. Biasanya jam-jam seperti itu mereka
sudah berada di rumah.Tidak demikian dengan hari ini. Seorang remaja pria
tiba-tiba menghampiri mereka.
“Mau beli dua porsi,’ kata remaja itu sambil
menunjuk dua piring nagasari seharga dua puluh ribu rupiah.
Sepertinya remaja itu seorang mahasiswa karena masih tegantung tas kuliah
di belakangnya. Bu Nonci segera membungkus dan menerima uang tersebut. Hatinya
cukup legah walau tidak sebanyak hari-hari sebelumnya.
“Ini hasil jualan kita hari ini,Pak,” Nonci menunjukkan uang itu kepada Nahor.
“Jangan lupa belikan beras sekilo,” lanjut Nahor sambil merapihkan tempat
jualan mereka dan menyimpan sisa jualan mereka.
Dengan uang sebanyak itu, Nonci hanya cukup
membelanjakan beras saja. Untuk bahan-bahan penganan lainnya tentu saja
tidak cukup. Kini Nonci sudah berada di samping Nahor dengan membawa sekilo
beras dalam kantong plastik hitam . Anton yang menungguinya sangat cemas. Ia
bahkan sangat galau atas penghasilan hari ini. Bagaimana mungkin ia bisa
membeli bahan-bahan lainnya untuk membuat nagasari esok hari. Namun ia tidak melihat kegusaran di raut wajah
isterinya.
“Bu, bagaimana?” tanya Nahor.
“Sangat cukup, Pak!” jawab Nonci.
Nahor seakan-akan tak percaya jika jawaban isterinya begitu tegar. Apakah
mungkin isterinya masih memiliki simpanan uang di rumah? Nahor terus membatin.
“Hari ini mungkin Tuhan memberikan kita rezeki ini,” demikian Nonci kepada
suaminya setelah tiba di rumah.
“Kita mestinya tetap mensyukuri nafkah kita hari ini. Betapapun kecil
penghasilan, Tuhan akan melimpahkan rezeki pada hari esok atau bahkan hal-hal
lainnya,” lanjut Nonci kepada Nahor.
Nahor semakin tidak mengerti perkataan isterinya. Ia merasa sangat bersalah
sebagai pencari nafkah. Ia pun merasa berdosa karena membiarkan isterinya mengambil bagian yang menjadi tanggung
jawabnya. Ia diam seribu bahasa. Tidak biasanya penghasilan mereka seperti ini.
Tiba-tiba Nonci memegang telapak tangannya. Nonci sedang melihat sesuatu yang dipikirkan Nahor.
“Bapak, sesutau yang berharga dari Tuhan itu adalah kesehatan. Bapak sehat,
saya sehat, dan Anton pun sehat.
Bukankah itu lebih berharga?” nasehat Nonci.
“Bukankah di luar sana juga di rumah-rumah sakit banyak saudara-saudara
kita yang lebih menderita karena sakit juga yang terinfeksi covid 19? Mereka
bahkan keluarganya sangat berharap tidak terjadi sesuatu karena virus
tersebut,” Nonci menandaskan.
Nahor hanya terdiam. Ia meneguk segelas air putih hanya untuk menguatkan
raganya. Betapa masa pandemi membuatnya tak berdaya. Setidaknya bisa
mengumpulkan se sen dua sesn untuk menambah penghasilan isterinya. Tubuhnya
bagai remuk. Tetapi nasehat isterinya seolah menyadarkannya bahwa mensyukuri
berkat Tuhan itu wajib hukumnya. Belum selesai meneguk air di gelasnya, bu
Nonci masih menguatkannya.
“Jika hari ini kita belum memilki cukup uang, Tuhan masih memberikan
kesempatan esok pun lusa.”
Nahor hanya melihat ketegaran hati Nonci dari tatapannya. Ia tak sanggup
memberi sebagian tanggung jawab itu kepada isterinya. Tetapi ia sangat bersyukur
jika isterinya sangat memahami kondisi kehidupan keluarganya di tengah badai
yang mengharu-biru bahtera rumah tangganya. Nahor hari-hari ini melakoni
kehidupan dengan menjadi buruh bangunan. Penghasilannya tidak besar tetapi cukup
untuk kehidupan mereka sebulan. Pandemi covid yang hampir setahun tak sedikit
pun memberikan kesempatan itu. Ia kini
hanya mampu membantu pekerjaan isterinya.
“Bu, saya mohon maaf untuk keadaan ini,” kata Nahor. “Semoga pandemi ini
cepat berlalu.”
Mentari senja yang kian jauh ke perut bumi tak meninggalkan sedikitpun
sinarnya. Malam telah membalut bumi hingga tersisa kelam membuai tidur malam
tiap insan. Keluarga ini akan terus melakoni hidup di tengah masa yang
mengancam keselamatan raga. Hingga di titik ini pun mereka tetap berikhtiar.
Mereka selalu meyakni bahwa Tuhan selalu memberi pelangi di setiap badai.
Bahkan mereka bisa selalu tersenyum walau meneteskan air mata pada doa di
tengah malam khusuk. Mereka sangat meyakini, Tuhan kan memberi jawaban di
setiap cobaan yang tidak melebihi kemampuan mereka.
*) Penulis, Guru Bahasa Indonesia SMPN 13 Kota Kupang
Ilustrasi: AsSajidin.com
Editor: R. Fahik/red
0 Comments