Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

TERTATIH DI TENGAH BADAI – CERPEN JONI LIWU


Tuhan tidak menjanjikan

langit itu selalu biru,

bunga selalu mekar,

dan mentari selalu bersinar.

Tapi ketahuilah,

bahwa Dia selalu memberi

pelangi di setiap badai,

tawa di setiap air mata,

berkah di setiap cobaan,

dan jawaban dari setiap doa.

 

Untaian larik berparadoks itu masih mengiang. Belum sempat,  melihatmu tersenyum setelah berlelah. Berpeluh dalam hitungan waktu tak sebentar. Belum lagi cucur keringat ayah handa dan ibunda mengais rupiah. Setiap pagi mereka berlelah, berpacu dengan waktu. Lalu kereta-kereta tua itu diraihkan di tepi jalan. Di atasnya sedikit penganan dijajahkan, berharap pengunjung berlalu- lalang bisa melihat-lihat atau menghampiri sehingga bisa membeli penganan yang tersedia sejak dini hari. Kokok ayam bersahutan  sebelum mentari menyepu embun pagi, sebelum burung-burung bernyanyi menyambut hari baru, Ibu Nonce bersama suaminya sudah tiba di tempat jualan, di tepi jalan, teras rumah toko.

 

Hari berganti, ia hanya berharap se sen dua sen terkumpul seharian. Harapan selalu disemai juga dilumuri doa pagi sebelum berjualan. Di depan emperan sebuah toko, bu Nonce selalu menanti dan menanti siapa gerangan akan membeli. Itu disantunkan dalam doa berkepanjangan di kala malam selimuti tanah Timor. Ketika rasa kantuk memagutnya karena kelelahaan mengais reseki sepanjang hari.

 

“Aku berharap padaMu. Cita dan asa kusanjungkan dalam litani doa,” Nonci selalu merapalkan tiada henti. Semenjak merantau ke kota, tidak ada yang muluk-muluk dari cita-citanya. Mewujudkan bahtera keluarga yang bahagia. Bahagia tidak harus kaya harta, setidaknya cukup pangan, pakaian, juga rumah layak huni. Lebih dari itu, mempunyai anak sebagai penerus generasinya. Hal itu pula yang selalu disampaikan ayahandanya di kampung halaman setiap ia berlibur bersama suami dan anaknya.

 

Ibunda yang hanya menamatkan pendidikan sekolah menengah ini menyadari jika di tempat itu juga berjejer minimarket-minimarket. Belum lagi pedangan asongan lainnya, yang juga  menjajahkan penganan beraneka rupa.

 

Hingga di manakah lelaki itu  sekarang? Sesaat Nonci membatin. Setelah tidak lagi bekerja sebagai buruh tukang bangunan, setiap pagi selain membantu isterinya, Nahor juga membeli buah-buahan di kebun-kebun terdekat dan bersama isterinya menjajahkan selain kue yang dibuat isterinya.

 

Bu Nonce sejenak memikirkan suaminya yang saban hari mengantarnya ke pasar. Suaminya harus membawa sebagian barangan julalan, dan sebagiannya lagi oleh ibu Nonce sendiri. Keseharian mereka harus berjibaku dengan sesama menjalin cerita tentang ikhtiar bahkan persaudaraan. Semua terjadi dengan sendirinya dari kesahajaan mereka, pedagang kecil, tak lebih dari itu. Mereka tidak muluk-muluk mencari uang haram, sebaliknya mendapatkan dengan cara halal.

 

“Sekarang, perawat dan dokter rumah sakit mendapatkan uang jutaan jika merawat pasien covid,” demikian Susi, penjual sayur di samping bu Nonci menceritakan.

 

Mendengar itu, bu Nonci hanya bergumam, seandainya sehari saja mereka merawat puluhan pasien covid tentu mereka bisa kaya raya.

 

Nahor, suaminya yang sejak tadi berada di sampingnya hanya terdiam. Ia tidak ingin terlibat dalam cerita kasak-kusuk yang belum tentu kebenarannya itu. Ia hanya berharap kalau-kalau ada pembeli sehingga kue-kue nagasari  habis terjual. Satu dua jam berlalu, belum satupun dibeli.

 

“Jangankan perawat dan dokter, cleaning service di rumah sakit juga dapat uang yang cukup,” cerita Susi lebih lanjut.

 

“Tetapi ada juga  jenazah yang dimakamkan secara protokol covid, namun dinyatakan negatif setelah dimakamkan. Apakah petugas-petugas itu mengembalikan upah yang telah diterimanya?” sanggah Bu Nonce.

 

“Itu yang jadi soal bu,” timpal  Susi.

 

”Kalau demikian, upah mereka itu halal atau haram?” Susi melanjutkan penjelasannya.

 

Susi terdiam sejenak saat seseorang hendak membeli sayur jualannya. Setelah pembeli itu pergi, ia pun melanjutkan perbincangannya dengan bu Nonce. Bu Nonce kemudian menjelaskan tentang warga yang prihatin terhadap perlakuan kepada jenazah yan dikuburkan secara protokol kesehatan. Betapa jenazah tidak didoakan sebagaimana biasa berdasarkan agama tertentu. Jenazah pun tidak dibaringkan di rumah. Tidak satu pun keluarga yang bisa melayat. Betapa kepergian jenasah yang dovonis covid sangat memiluhkan pun memprihatinkan. Covid 19 benar-benar meluluhlantakkan segalanya. Tidak soal tatanan kehidupan, tetapi juga soal kejujuran.

 

“Mungkinkah manusia sedang diuji?” Bu Nonci berkata dalam hati. Ia kemudian memandangi suaminya yang sejak tadi setia menunggui jualan mereka.

 

Hari ini jualan mereka cukup banyak dibeli. Mereka hanya membawa pulang beberapa kue ke rumahnya. Tidak seperti ruko sebelah yang khusus menjual berjenis kue. Mereka sanggup menyewakan ruko. Pasar memang dibangun untuk pedagang. Namun, tidak semua pedagang bisa menyewa ruko sebagai tempat berjual. Karenanya kedua suami isteri itu hanya berharap jika emperan ruko dikhlaskan pemiliknya bagi mereka walau hanya selebar satu dua meter saja.   Mereka berdua sangat bersyukur karena, Ongko, demikian warga keturuan pemilik ruko, membiarkan kedua pasangan suami isteri itu menjajahkan dagangannya di depan tokoh tersebut.

 

Bo Nonci sekeluarga kini melepaskan lelah di pembaringan. Nahor juga turut mempersipan segalanya, agar ketika subuh nanti ia bisa membantu isteirnya membuat kue-kue untuk dijajahkan. Ibu Nonce terjaga dari tidurnya. Bunyi sirene ambulance dalam iringan kendaraan polisi meraung-raung di jalan raya. Nahor suaminya, terlelap, Anton putra semata mayangnya pun demikian. Di masa pandemi covid ini, bunyi sirene ini seperti momok. Bulu kuduk merinding, karena bunyi sirene seperti itu adalah iring-iringan petugas memakamkan pasien covid. Kehidupan yang serba terbatas membuat mereka untuk tidak memilih, apakah di rumah saja atau harus bekerja di tengah keramaian yang rentan terinfkesi virus covid 19.

 

Ia belum juga tidur. Betapa di benaknya sekarang seperti diperhadapkan pada buah si malakama. Tidak berjualan tentu tidak mungkin. Itu berarti kehidupan ekonomi rumah tangganya lumpuh total. Maka hanya ada pilihan tetap melakoni hidup sebagai penjual kue di keramaian. Belum lagi ada juga penjual dan pembeli yang tidak mematuhi protokol kesehatan misalnya dengan memakai masker. Ibu nonci harus tetap bekerja agar bisa menyambung hidup keluarganya, belum lagi harus memenuhi kebutuhan sekolah putra mereka.

 

Mereka berdua pun selalu waspada saat berjualan, karena bu Nonce selalu menyiapkan masker.Untuk mencuci tangan Ongko sudah menyiapkan air dan sabun di depan tokohnya. Mereka tetap waspada karena virus yang tidak terdeksi bisa tertular dari Orang Tanpa Gejala. Siapapun bisa tertular.  Dari sesama pedangan yang hari-hari ini berjibaku mengais sesen dua sen atgau dari para pembeli.

 

Pikiran ibu Nonce menerawang jauh. Ia pun hanya pasrah dan berharap masa pandemi ini segera berakhir. Sesaat kemudian Bu Nonce ke kamar mandi, lalu melihat putranya di kamar sebelah. Kedua lelaki ini sangat pulas.

 

“Entakah mereka tidak memikirkan dampak covid?” cetusnya dalam hati.

 

Pagi ini, Bu Nonce terbangun saat bunyi adzan. Suara azan ini selalu membangunkan kedua suami isteri itu dan ketika itu pula mereka harus menyiapkan jualan mereka.Tidak lupa membangunkan puteranya. Suaminya sangat sibuk di tungku perapian di samping rumah. Bu Nonce harus mengukus nagasarinya di tungku agar lebih cepat masak. Dengan begitu mereka berdua dapat berjualan sejak pagi hari.

 

Bu Nonce menyipkan daun pisang. Kemarin ketika kembali dari pasar, suaminya sudah menyiapkan daun-daun pisang. Itu pun dimintanya dari kebun tetangga. Walau sibuk ia masih ke kamar putranya hendak membangunkan lagi anaknya.

 

“Anton! Sepertinya tugasmu sudah dikirim gurumu. Bangun dan kerjakan!,” perintahnya memelas.

 

“Iya, Bu nanti kukerjakan”, sahut Anton.

 

“Jika sarapan, ada tu kue di meja,” sahut  Bu Nonce sambil bergegas menyiapkan barang julannya.

 

Mereka berdua kini sudah di depan emperan ruko milik Ongko. Sebelum berjualan tak lupa membersihkan halaman depan ruko. Itu selalu dikerjakan setiap pagi. Karenanya Ongko sangat berterima kasih dan iklas pula memberikan tempat di depan rukonya bagi Bu Nonce dan suaminya berjualan.

 

Gerimis Februari tak kunjung henti. Guyuran hujan berkepanjangan tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak siang hingga sore hujan tak kunjung henti. Nonce dan Nahor dalam dingin tetap menjagai jualannya. Ada sesuatu yang menggajal di hatinya. Sejak pagi belum satu pun pembeli menghampiri mereka, kecuali ongko yang sesekali keluar dan melihat-lihat cuaca di lura rukonya. Ia sempat menyapa keduanya lalu bergegas masuk ke dalam.

 

Keduanya saling memandang dalam diam. Sudah beberapa jam, belum satupun penganan mereka terjual. Sesekali Nahor meraih sapu lidi yang tersadar di samping tembok.Ia lalu mencoba membersihkan genangan air di depan tokoh itu. Nonci hanya menatap diam. Mungkinkan suaminya hanya mengalihkan perhatian? Ia coba menduga jika ada guratan kesedihan karena belum sepeserpun uang di tangan mereka? Beberapa saat Nonci pun terdiam. Ia coba menata kembali beberapa pring kue di atas meja berukuran lima puluha kali dua ratus meter  persegi itu. Namun sejauh itu kue-kue itu laku terjual. Kalau pun ada berlalu lalang di depan mereka, itu hanya membeli sayur yang dijajahkan Susi, tak jauh dari tempat mereka.

 

 Waktu pada gawai bu Nonce menunjukkan pukul lima belas. Biasanya jam-jam seperti itu mereka sudah berada di rumah.Tidak demikian dengan hari ini. Seorang remaja pria tiba-tiba menghampiri mereka.

 

“Mau beli dua porsi,’ kata remaja itu sambil menunjuk dua piring nagasari seharga dua puluh ribu rupiah.

 

Sepertinya remaja itu seorang mahasiswa karena masih tegantung tas kuliah di belakangnya. Bu Nonci segera membungkus dan menerima uang tersebut. Hatinya cukup legah walau tidak sebanyak hari-hari sebelumnya.

 

“Ini hasil jualan kita hari ini,Pak,” Nonci menunjukkan uang itu kepada Nahor.

 

“Jangan lupa belikan beras sekilo,” lanjut Nahor sambil merapihkan tempat jualan mereka dan menyimpan sisa jualan mereka.

 

Dengan uang sebanyak itu, Nonci hanya cukup  membelanjakan beras saja. Untuk bahan-bahan penganan lainnya tentu saja tidak cukup. Kini Nonci sudah berada di samping Nahor dengan membawa sekilo beras dalam kantong plastik hitam . Anton yang menungguinya sangat cemas. Ia bahkan sangat galau atas penghasilan hari ini. Bagaimana mungkin ia bisa membeli bahan-bahan lainnya untuk membuat nagasari esok hari. Namun  ia tidak melihat kegusaran di raut wajah isterinya.

 

“Bu, bagaimana?” tanya Nahor.

 

“Sangat cukup, Pak!” jawab Nonci.

 

Nahor seakan-akan tak percaya jika jawaban isterinya begitu tegar. Apakah mungkin isterinya masih memiliki simpanan uang di rumah? Nahor terus membatin.

 

“Hari ini mungkin Tuhan memberikan kita rezeki ini,” demikian Nonci kepada suaminya setelah tiba di rumah.

 

“Kita mestinya tetap mensyukuri nafkah kita hari ini. Betapapun kecil penghasilan, Tuhan akan melimpahkan rezeki pada hari esok atau bahkan hal-hal lainnya,” lanjut Nonci  kepada Nahor.

 

Nahor semakin tidak mengerti perkataan isterinya. Ia merasa sangat bersalah sebagai pencari nafkah. Ia pun merasa berdosa karena  membiarkan  isterinya mengambil bagian yang menjadi tanggung jawabnya. Ia diam seribu bahasa. Tidak biasanya penghasilan mereka seperti ini. Tiba-tiba Nonci memegang telapak tangannya. Nonci sedang melihat  sesuatu yang dipikirkan Nahor.

 

“Bapak, sesutau yang berharga dari Tuhan itu adalah kesehatan. Bapak sehat, saya sehat, dan  Anton pun sehat. Bukankah itu lebih berharga?” nasehat Nonci.

 

“Bukankah di luar sana juga di rumah-rumah sakit banyak saudara-saudara kita yang lebih menderita karena sakit juga yang terinfeksi covid 19? Mereka bahkan keluarganya sangat berharap tidak terjadi sesuatu karena virus tersebut,” Nonci menandaskan.

 

Nahor hanya terdiam. Ia meneguk segelas air putih hanya untuk menguatkan raganya. Betapa masa pandemi membuatnya tak berdaya. Setidaknya bisa mengumpulkan se sen dua sesn untuk menambah penghasilan isterinya. Tubuhnya bagai remuk. Tetapi nasehat isterinya seolah menyadarkannya bahwa mensyukuri berkat Tuhan itu wajib hukumnya. Belum selesai meneguk air di gelasnya, bu Nonci masih menguatkannya.

 

“Jika hari ini kita belum memilki cukup uang, Tuhan masih memberikan kesempatan esok pun lusa.”

 

Nahor hanya melihat ketegaran hati Nonci dari tatapannya. Ia tak sanggup memberi sebagian tanggung jawab itu kepada isterinya. Tetapi ia sangat bersyukur jika isterinya sangat memahami kondisi kehidupan keluarganya di tengah badai yang mengharu-biru bahtera rumah tangganya. Nahor hari-hari ini melakoni kehidupan dengan menjadi buruh bangunan. Penghasilannya tidak besar tetapi cukup untuk kehidupan mereka sebulan. Pandemi covid yang hampir setahun tak sedikit pun  memberikan kesempatan itu. Ia kini hanya mampu membantu pekerjaan isterinya.

 

“Bu, saya mohon maaf untuk keadaan ini,” kata Nahor. “Semoga pandemi ini cepat berlalu.”

 

Mentari senja yang kian jauh ke perut bumi tak meninggalkan sedikitpun sinarnya. Malam telah membalut bumi hingga tersisa kelam membuai tidur malam tiap insan. Keluarga ini akan terus melakoni hidup di tengah masa yang mengancam keselamatan raga. Hingga di titik ini pun mereka tetap berikhtiar. Mereka selalu meyakni bahwa Tuhan selalu memberi pelangi di setiap badai. Bahkan mereka bisa selalu tersenyum walau meneteskan air mata pada doa di tengah malam khusuk. Mereka sangat meyakini, Tuhan kan memberi jawaban di setiap cobaan yang tidak melebihi kemampuan mereka.


*) Penulis, Guru Bahasa Indonesia SMPN 13 Kota Kupang

 

Ilustrasi: AsSajidin.com

Editor: R. Fahik/red 

Post a Comment

0 Comments