Oleh RD. Yudel Neno
Imam
Projo Keuskupan Atambua
Berkarya
di Paroki Sta. Maria Fatima Betun, Malaka
Pandemi
covid-19 melanda umat manusia tiada hentinya. Makin hari, makin lama, virus
yang mengenaskan ini telah menelan jutaan orang di belahan dunia ini. Pandemi
covid-19, mampu membatasi bahkan menghentikan secara total berbagai aktivitas
manusia. Salah satu bidang kehidupan manusia yang terkena dampak adalah bidang
pendidikan, mulai dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi.
Di
Indonesia, dampak pandemi covid-19 baru terasa sejak Januari 2020. Sejak saat
itu hingga sekarang, akses ekonomi, transportasi dan pendidikan serba terbatas.
Mumpung, Jokowi sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, pandai dan bijak
melihat situasi di Indonesia, tatkala virus ini terus merajalela, dengan tidak
menerapkan kebijakan lockdown, mulai
dari tingkat lokal, regional, nasional hingga internasional. Kalau kebijakan
itu ditempuh, secara ekonomis, dampaknya lebih membahayakan masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam
dunia pendidikan, segala akses dilakukan serba online (daring). Google
classroom, aplikasi WhatsApp, grup facebook, aplikasi zoom menjadi trending
topik untuk dibicarakan dan digunakan. Mempertimbangkan situasi pandemi
covid-19, dianjurkan dan kemudian diterapkan satu metode belajar sesuai dengan
arahan kurikulum khusus masa pandemi, yakni belajar dari rumah (BDR). Kepada
siswa diberikan bahan dan tugas untuk belajar dari rumah, mengerjakan tugas,
lalu dikirimkan kepada guru secara online atau pada beberapa tempat, siswa
menjemput dan mengantar tugas di sekolah.
Metode
belajar BDR ini, bukan tanpa masalah. Problemnya ialah siswa atau siswi masih
terpola dengan senangnya rasa libur. Kembali ke rumah dalam waktu yang lama,
itu sama artinya dengan berlibur. Defenisi libur secara akademik jelas, bahwa
libur berarti berhenti sejenak dari aktivitas sekolah. Tingginya mental rasa
libur, berjumpa dengan mental asyik main game zaman sekarang, rasanya tidak
mempan bagi siswa-siswi untuk belajar, mengakses ilmu dengan sistem serba
online.
Saya
sendiri belum melakukan penelitian secara khusus, tetapi seandainya ada yang
bisa melakukan penelitian secara akurat tentang penggunaan metode belajar
online (daring) dan BDR oleh sekolah-sekolah, hasilnya pasti akan mengejutkan.
Mengapa?
Ada beberapa alasan. Pertama, peralihan waktu dari metode belajar normal
ke metode BDR, terlalu cepat. Siswa-siswi belum disiapkan mentalnya untuk
bisa betah dan tekun belajar dari rumah. Kondisi seperti ini akan lebih parah,
kalau orang tua pun tidak peduli dengan anak di rumah.
Kedua,
tempat tinggal atau rumah, tempat siswa huni. Tidak semua tempat, terdapat
jaringan dan signal, yang memudahkan akses belajar online. Di Kampung saya,
jangankan 4G, untuk mendapatkan jaringan 3G, susahnya bukan main. Ketiga,
keadaan ekonomi, tidak memungkinkan orang tua dan siswa untuk memiliki Hp sekelas
Oppo, Samsung, dan jenis lainnya, yang nominal minimalnya satu juta-an.
Keempat,
siswa-siswi tidak memiliki perbendaharaan buku yang cukup, sebagai bahan untuk
belajar. Lalu, dari sumber mana mereka belajar? Membaca dari Hp? Mau membaca
atau mau bermain game, atau mau membalas chat WA, sekadar tanya buat apa, sudah
makan atau belum?
Kelima,
guru-guru tidak cukup waktu, membagi konsentrasi terhadap siswa-siswi dengan
jarak tempat tinggal bervariasi. Ada yang di pedalaman tanpa sinyal sama
sekali. Keenam, metode belajar online dan BDR, memperlemah ikatan emosional
antara guru dan siswa. Tidak hanya itu, fungsi kontrol pun sulit dilakukan.
Beberapa
pernyataan problem di atas, dengan sengaja dilakukan, dan tentu menjadi
perhatian bersama untuk mencari solusi bersama, mengingat bahwa yang namanya
pendidikan anak, kalau ada problem yang muncul, itu merupakan problem kita
bersama.
Tentu,
saya sangat tidak berkompeten untuk menawarkan solusi atas berbagai problem di
atas. Tetapi, sekiranya beberapa persoalan di atas bisa menjadi bahan
pertimbangan untuk semua pihak yang berwewenang, dalam kerja sama dengan
unsur-unsur terkait untuk memikirkan, membicarakan, menetapkan dan melaksanakan
metode yang jauh lebih tepat, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, tanpa
mengabaikan protokol kesehatan.
Foto:
Dokumentasi Penulis
0 Comments