(Catatan dari Diskusi Bersama Kepala SMKN 4 Kota Kupang)
Oleh Baldus Sae, S.Fil
Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT
Hari masih pagi. Gerimis tak kunjung henti. Melanjutkan tidur atau
bergegas bangun selalu menjadi pilihan tersulit di musim penghujan seperti ini.
Alarm pagi ini mengingatkanku. Pukul 09.00 Wita. Ada Workshop Penulisan Modul
Pembelajaran bagi Guru dan Pelatihan Microsoft
for Office bagi Tenaga Kependidikan di SMKN 4 Kota Kupang. Kegiatan ini
dilaksanakan selama tiga hari (26--28 Januari 2021). Tim Media Pendidikan
Cakrawala NTT juga dilibatkan sebagai narasumber. Sebagai
jurnalis, saya turut terlibat dalam kegiatan ini.
Hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan kegiatan ini. Tanpa menunggu
lama, saya segera bergegas. Berpacu dalam gerimis menuju sekolah yang letaknya
tidak cukup jauh dari tempat tinggalku. Beberapa guru tampak sibuk merampungkan
modul pembelajaran. Tidak ada siswa yang ke sekolah. Pandemi Covid-19 adalah
musabab siswa diharuskan belajar dari rumah. Komplek sekolah tampak lengang.
Setelah bersalaman ala protokol kesehatan dengan para guru di ruang
workshop, kami menuju ruang kerja kepala sekolah. Perbincangan mengenai
pendidikan dan literasi berlangsung hangat di ruangan ini. Semi Ndolu, S.Pd.,
Kepala SMKN 4 Kota Kupang membagi gagasannya tentang pendidikan di sekolah ini.
Saya menyimak sambil sesekali mengumbar tanya untuk menghangatkan diskusi kami
pagi ini.
Menurut Semi Ndolu, problem pendidikan di Indonesia tergolong kompleks,
baik dari sisi regulasi maupun implementasinya. Salah satu problem klasik
pendidikan di negeri ini adalah kita memaksakan siswa bisa sedikit dari banyak,
bukan menguasai banyak dari sedikit. Ada siswa yang kemampuan Bahasa Inggrisnya
rendah, sementara Matematika dan Fisika tergolong bagus. Mestinya kita mendorong
siswa tersebut untuk fokus mendalami Matematika dan Fisika bukan menuntutnya
menguasai Bahasa Inggris secara baik supaya semua nilainya bagus.
Untuk mendapatkan hasil yang berbeda, tidak bisa dilakukan dengan cara
yang sama tapi harus dengan cara yang berbeda pula. Pola-pola konvensional yang
kita terapkan selama ini terbukti tidak mampu mendongkrak kualitas pendidikan
kita menjadi lebih baik. Sudah saatnya kita berbenah. Persoalan kita bukan pada
lemahnya SDM peserta didik, tetapi lebih pada pola pembelajaran yang belum
mampu menjawabi persoalan.
Bagi Semi Ndolu, sekolah bukan sekadar tempat mengajar anak dari tidak
tahu menjadi tahu. Jauh dari pada itu, sekolah adalah tempat membimbing siswa
untuk bisa memecahkan persoalan hidup di masa depan. “Bagaimana siswa mampu menyelesaikan
soal kehidupan, itu yang paling hakiki. Anak pintar sekalipun, berhadapan
dengan persoalan kehidupan, ketika dia tidak tangguh, tidak kuat dan tidak
mampu menghadapinya, bunuh diri bisa menjadi solusi buatnya”, ucapnya lirih.
Pola mengajar text book only
sudah bukan zamannya. Jangan sampai kita masuk kelas pegang buku, membacakan
apa yang ada di buku lalu seolah-olah hidup ini hanya di dalam buku. Ketika
berhadapan dengan soal yang diluar buku, siswa kebingungan. Ujian kehidupan dan
ujian di sekolah tentu berbeda. Ujian sekolah belajar dahulu baru diuji,
sementara ujian kehidupan diuji baru belajar. Di sinilah peran sekolah untuk
membantu siswa memecahkan persoalan kehidupan.
Pembelajaran yang baik adalah problem
based learning. Belajar berbasis masalah. Beri siswa persoalan dan minta
siswa mengerjakannya. Siswa yang mampu menyelesaikan persoalanlah yang perlu
diapresiasi dengan memberikan nilai bagus. Dalam menyelesaikan suatu kasus
misalnya, siswa akan belajar banyak hal. Skill siswa akan benar-benar terasah
ketika berhadapan langsung dengan suatu persoalan. Dunia pendidikan seharusnya
bisa berpikir sampai ke sana.
Berhenti memberi nilai hanya untuk memenuhi keinginan guru. Inilah
kecelakaan besar dalam dunia pendidikan kita saat ini. Semisal demikian, pada
pelajaran Bahasa Inggris ada siswa pintar tidak bisa hadir oleh karena sebab tertentu.
Ketika diberi tugas dia tidak mengerjakannya karena ada kendala tertentu.
Lantas, kita jangan menafikan anak itu punya kemampuan Bahasa Inggris yang
bagus. Conversation, reading dan writing-nya
bagus. Hanya gara-gara tidak hadir di jam pelajaran sesuai jadwal nilainya
menjadi nol. Apa benar harus demikian?
Sebagai pendidik yang baik, kita perlu mencari solusi alternatif.
Cobalah sesekali berpikir menelpon siswa tersebut. Menanyakan alasan,
bercakapan dengannya menggunakan Bahasa Inggris. Ketika kita menemukan alasan
yang cukup rasional dan mendapati percakapan Bahasa Inggrisnya bagus, mengapa
kita beri nilainya nol? Sangat boleh jadi ini merupakan upaya “balas dendam”,
sekadar memenuhi keinginan guru. Pendidikan kita terlalu mengedepankan
formalitas.
Kita sudah terlalu lama terjebak dalam model pembelajaran konvensional. Sekalipun
kurikulum terus berubah tapi tidak ada yang berubah di dalam implementasi
pembelajaran. Semisal demikian, sejak zaman nenek moyang, pola pengaturan meja
belajar dan posisi duduk di kelas tidak ada yang berubah. Pola belajarnya pun
sama. Guru berdiri di depan kelas lalu berbicara dari awal sampai akhir
pelajaran. Siswa dipaksa mendengar dan atau mencatat. Terakhir diberi tugas. Siklusnya
selalu demikian. Tidak ada yang berubah. Sampai kapan kita terus begini?
Tidak hanya itu, merosotnya pendidikan di negeri ini disebabkan oleh
banyak faktor. Salah satunya adalah mental guru yang menjadikan sekolah sebagai
sekadar tempat mencari uang. Datang karena digaji. Gaji menjadi satu-satunya
alasan untuk mengabdi. Hal ini tentu berimbas pada mutu pendidikan. Setara
dengan gaji guru yang tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Berhadapan dengan persoalan seperti ini, Semi Ndolu menawarkan paradigm
berpikir baru. Jadikan sekolah sebagai rumah ibadah. Analoginya sederhana. Di
rumah ibadah, tidak ada pendeta atau pastor yang datang mengetuk pintu rumah
umat, mengingatkannya bahwa jam sekian akan ada ibadat di Gereja. Halo…halo,,, jam 8 kita ada ibadat ya di
gereja. Semua wajib hadir ya. Ceritanya tidaklah demikian. Semua orang
tergerak hatinya untuk ke Gereja. Tidak ada yang merasa terpaksa. Sesampai di
Gereja umat tidak meminta imbalan dari pastor atau pendeta malah memberi derma
dengan sukacita.
Semisal ada pertandingan bola voli di gereja. Salah seorang guru di
sekolah ada yang dipercayakan menjadi panitia. Pada saat yang sama ada
pelajaran di kelas dan pertemuan panitia di Gereja. Pilih yang mana dan abaikan
yang mana? Tidak sedikit yang bakal meminta izin di kepala sekolah untuk
mengikuti pertemuan di Gereja. Pemahamannya, seolah-olah di Gereja itu untuk
Tuhan, sementara di sekolah bukan untuk Tuhan.
“Jadikan sekolah ini sebagai rumah ibadah! Ubah perspektif kita yang
menempatkan Tuhan hanya di Gereja. Mengabdi di sekolah adalah sebentuk
pelayanan untuk Tuhan. Sekolah adalah medan pelayan kita sebagai guru. Kita
tidak harus jadi pendeta atau pastor untuk melayani Tuhan. Jadikanlah
pekerjaanmu sebagai pelayanan untuk Tuhan. Ketika kita memaknai tugas kita
sebagai guru dengan baik dan benar, kitalah pendeta dan pastor yang berkarya bagi
siswa-siswi di sekolah,” tegas Semi Ndolu.
Semua kita tentu menginginkan perubahan. Kita ingin agar waajah
pendidikan di sekolah ini khususnya dan di negeri ini pada umumnya mengalami
transformasi. Ada perubahan ke arah yang lebih baik. Kalau kita ingin melihat
wajah masa depan bangsa ini maka tataplah wajah-wajah para siswa di kelas. Ada
siswa yang wajahnya penuh dengan kecemasan, tidak ada kepastian dan harapan
dalam hidupnya. Tidak sedikit yang tidak punya cita-cita. Bingung mau jadi apa
kelak. Ya, inilah wajah masa depan bangsa kita. Penuh dengan kebingungan dan
ketidakpastian. Tidak tahu arah.
Mengakhiri perbincangan kami pagi itu, Semi Ndolu kembali menyinggung
soal pembelajaran kolaboratif. Kesuksesan pendidikan bukan semata soal
kecerdasan guru secara individual. Lebih dari pada itu adalah kolaborasi lintas
disiplin ilmu untuk menghasilkan lulusan yang bermutu. Guru kewirausahaan
misalnya, berhenti sudah mengajar siswa teori kewirausahaan kalau siswa tidak mampu
berwirausaha. Teori saja tidak cukup menolong siswa untuk memahami dunia
kewirausahaan.
Sesekali ajaklah siswa keluar dari ruang kelas. Datanglah ke kios-kios.
Jumpai pedagang-pedagang kecil di jalanan. Amati apa yang mereka lakukan dan
tanyakan kendala yang mereka hadapi. Mungkin mereka tidak mempunyai bussines plan. Jika iya, jadikan itu
sebagai masalah. Bersama siswa bedahlah persoalan ini. Ajarlah siswa untuk
membuat bussines plan yang baik dan benar. Berdiam diri dalam menara ilmu
pengetahuan di zaman ini adalah bentuk egoisme intelektual. Dan kita tidak bisa
berkembang dengan cara seperti itu. Produk Sekolah Menangah Kejuruan (SMK) yang
paling utama bukan barang tetapi kompetensi siswa. Sejauh mana pelibatan siswa
dalam pembelajaran itu yang penting.
Foto: Dokumentasi Redaksi
0 Comments