Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MEMBACA INGATAN, MEMBAHAS BUKU “MAWAR GAIB-MISA PAGI”


Oleh: Y. B. Inocenty Loe, S.Fil 

Staf Pengajar, Koordinator Literasi dan Publikasi SMA Katolik Giovanni Kupang. Akun Facebook: Inho Loe


Tulisan ini berjudul Membaca Ingatan, Membahas Buku “Mawar Gaib-Misa Pagi. Kata kuncinya adalah ingatan. Ia dipilih dan dipakai sebagai judul ini karena menegaskan pemahaman bahwa ingatan adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Ingatan adalah material cinta untuk membangun sebuah hubungan. “Mencintai adalah merawat ingatan, agar tak luka, agar tak lupa,” begitulah menurut Boy Candra.

 

Ingatan juga adalah ramuan keabadian. “Kematian tidak pernah ada bagi mereka yang tahu caranya menghargai ingatan,” tegas Fiersa Basari. Demikianpun, bagi orang beriman, secara khusus orang Katolik, ingatan itu adalah sakramen, tanda keselamatan Allah yang nampak. Ingatan akan ajaran cinta kasih Kristus membawa umat Kristiani kepada keselamatan yang paripurna. Intinya, ingatan adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dan saya memakai kata ingatan dalam pembahasan buku Mawar Gaib-Misa Pagi untuk menegaskan bahwa buku ini penting untuk dibaca.

 

Bagi saya, membaca buku Mawar Gaib-Misa Pagi membuka lorong-lorong ingatan akan beberapa poin yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Membuka lembar demi lembar tulisan para seminaris menjerumuskan saya dalam lumpur ingatan. Selain mengingatkan saya akan masa-masa di Seminari beberapa tahun yang lalu, tetapi juga akan refleksi-refleksi moral, religius dan budaya. Dan inilah bingkisan ingatan yang ingin saya bagikan dalamtulisan ini. Berharap ingatan demi ingatan tidak menjadi kenangan usang yang lekang oleh waktu.

 

Ingatan Pertama

 

Judul tulisan ini, dengan kata kunci ingatan dipakai untuk mengungkapkan bahwa buku Mawar Gaib-Misa Pagi karya para seminaris merupakan sebuah buku yang penting untuk dibaca karena berdaya guna membongkar ingatan akan nilai-nilai moral, religius dan kebudayaan bagi para pembaca. Misa Pagi adalah sumber dan puncak hidup orang-orang Katolik, apalagi para seminaris. Oleh karena itu, seorang penulis dalam buku ini menegaskan: “jangan tidur saat misa, bisik temanmu pelan.”

 

Sedangkan Mawar Gaib adalah simbol spiritulitas penyerahan diri. Kita ingat perkataan Maria kepada Malaikat Tuhan, “terjadilah padaku, menurut perkatanMu.” Judul ini adalah sebuah ingatan sekaligus peringatan bahwa apa yang ditulis dalam buku ini adalah bukan hanya sekadar ajang apresiasi dan publikasi tetapi lebih intim merupakan sebuah panggilan untuk mewartakan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh Kristus. Judul buku ini, dengan sangat adekuat menampilkan wajah ke-katolik-an. Oleh karena itu, buku ini bertanggung jawab menyuarakan pesan-pesan Kristus tentang damai sejahtera dan keselamatan yang datang dari menara SMA Seminari St. Rafael Oepoi Kupang.

 

Saya ingat penggalan kisah St. Arnoldus Janssen ketika mendirikan Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini).Satu hal yang mendukung pendirian Rumah Misi Serikat Sabda Allah itu adalah kekuatan tulisan dan publikasi. St. Arnoldus Janssen menerbitkan majalah populer dengan nama “Der Kleine Herz-Jesu-Bote” (Utusan Kecil Hati Yesus), Stadt Gottes dan St. Michaelskalender. Harus diakui bahwa tulisan dalam publikasi-publikasi inilah yang membantu dan mendukung aktivitas misi SVD awal. Lewat tulisan dan publikasi tersebut, St. Arnoldus Janssen mewartakan ajaran-ajaran Kristiani dan panggilan untuk mendukung karya misi gereja Katolik. Oleh karena itu, buku Mawar Gaib-Misa Pagi ini atau publikasi-publikasi yang akan diasilkan oleh komunitas seminari St. Rafael harusnya bertanggung jawab terhadap misi gereja Katolik yaitu untuk mewartakan kabar gembira tentang keselamatan Allah yang datang dari Kristus sekaligus untuk menciptakan wajah dunia yang sungguh-sungguh diwarnai cinta kasih Kristus.

 

Ingatan Kedua

 

Buku Mawar Gaib-Misa Pagi karya para seminaris ini terdiri dari kumpulan esai, cerpen, puisi, ulasan dan artikel lomba. Ini merupakan karya rumpu-rampe. Sebagai karya rumpu-rampe yang sarat argumentasi rasional dan sentimental, buku ini dapat disebut sebagai karya fragmentaris. Ia terdiri dan terbentuk dari bagian-bagian. Seperti puzzle yang tak beraturan. Ia dikumpulkan lalu disusun menjadi satu rangkaian yang memiliki bentuk dan arti tertentu, menjadi fragmen yang memiliki pesan luhur. Ada yang bercerita tentang Papua, negeri kaya yang sarat konflik. Ada juga yang bercerita tentang tentang kegembiraan masyarakat Oepoli menyambut jaringan internet 4G. Ada juga yang mengungkapkan tentang kekhasan masyarakat Sabu (baik tentang nilai-nilai yang terkadung dalam motif sarung Ei dan Konsep kesetaraan gender seturut pandangan hidup orang Sabu).

 


Selain itu, ada juga yang menulis puisi dari kedalaman hatinya. Misalnya, dengan sangat sentimental, Angelo Ndao padukan ruang tamu, harapan, kenangan dan rindu. Atau tentang hadiah kecil, karya Irno Nainaban: “tidak perlu memberi apa-apa, cukup sandal jepit biasa, agar surga kecilku tidak tergores.” Itulah sebuah karya framentaris; gagasan, ungkapan, pertimbangan dan temuan bercampur menjadi satu yang sarat pesan bagi para pembaca.

 

Esai Meninggalkan Bumi Papua dan Daerah Sunyi Oepoli mengungkapkan kehidupan, jati diri dan budaya apa adanya. Demikianpun, cerpen Mawar Gaib, Sahabat dan Efraim berpesan tentang kesetiaan, loyalitas, kesabaran dan simpati. Harus diakui bahwa puisi-puisi dalam buku ini sangat kental akan kekristenan. Mereka mengungkapkan tentang ajaran-ajaran Kristiani, baik tentang penderitaan sebagai salib yang mendatangkan rahmat juga tentang proklamasi akan Kristus sebagai juru selamat manusia. Juga tidak kalah menarik, dalam artikel-artikel lomba dipaparkan kebajikan-kebajikan tentang menangkal virus korupsi, harkat dan martabat manusia dalam konsep kesetaraan gender dan juga tentang simbol-simbol dalam motif sarung Ei yang memiliki nilai spiritual, ekonomi dan sosial politik. Meskipun sebagai satu buku yang utuh, tulisan-tulisan dalam buku ini tetap terdiri dari episode-episode yang sarat pesan dan nilai.

 

Ingatan Ketiga

 

Buku ini merupakan dukungan terhadap semangat untuk menumbuhkembangkan budaya literasi di lingkungan SMA Seminari St. Rafael Oepoi Kupang. Literasi adalah keterampilan menulis, membaca, menghitung dan menyimak. Literasi dalam bahasa Latin adalah literatus yang berarti orang yang belajar. Oleh karena itu, literasi dapat dimengerti sebagai strategi belajar dengan cara menulis, membaca, menghitung dan menyimak untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, spiritualitas dan sosialitas yang dibutuhkan manusia zaman ini. Sebagai sebuah strategi, literasi membentuk seseorang untuk berpikir kritis dan sistematis.

 

Ada ungkapan dari Filsuf Rene Descartes, Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Ungkapan ini menegaskan dan mengungkapkan bahwa jati diri manusia adalah berpikir. Benar, bahwa semua orang berpikir. Namun, yang dimaksudkan Descartes dalam konteks ini adalah sebuah cara berpikir kritis dan sistematis. Cara berpikir model ini dibentuk melalui literasi, dengan membaca, menyimak dan menulis. Menulis karya ilmiah misalnya, pikiran diinstruksikan untuk berpikir dengan teratur dari pendahuluan, pembahasan dan penutup. Begitupun ketika menulis puisi dan cerpen, pikiran kita dirangsang untuk memikirkan kata demi kata sederhana kemudian merangkainya menjadi rangkaian yang indah.

 

Buku ini adalah sarana untuk mengasah cara berpikir kritis dan sistematis. Penulis dalam buku ini adalah para seminaris, calon imam, calon pemimpin gereja dan dunia. Sebagai calon pemimpin gereja dan dunia, para seminaris harus menformat dirinya dalam bingkai cara berpikir kritis dan sistematis. Di tengah berbagai persoalan yang dunia dan gereja hadapi, dibutuhkan seminaris yang berpacu terus menerus dalam usaha mengasah cara berpikir model ini. Apalagi, di tengah corak kehidupan 4.0 yang menitikberatkan pada teknologi digital. Salah satu konsekuensi yang dihadapi manusia adalah tumpukan informasi. Di mana ada kesulitan untuk membedakan mana informasi yang benar-benar berkulitas dan mana informasi bajakan, yang tidak memenuhi standar kualitas. Pada momen ini muncul hoaks. Di tengah situasi seperti ini, diperlukan kemampuan untuk berpikir kritis dan sistematis. Kritis artinya membuat seleksi atas berbagai infromasi yang ada. Sistematis artinya merangkai informasi-informasi tersebut menjadi satu bagunan informasi yang berkualitas, yang dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir kritis dan sistematis adalah obor untuk mengarahkan dunia dan gereja menuju sumber air yang menyegarkan.

 

Penutup

 

Buku Mawar Gaib-Misa Pagi karya para seminaris ini adalah sebuah buku ingatan. Membaca lembar demi lembar tulisan dalam buku ini mengingatkan para pembaca akan diri sendiri yang asik menatap dan merenungkan realitas. Selain itu, buku ini mengingatkan pembaca akan nilai-nilai moral, religius dan budaya untuk membangun kehidupan bersama di tengah berbagai persoalan dunia. Demikianpun, melalui buku ini, para pembaca diingatkan untuk mengembangkan kultur literasi dalam rangka mengasah cara berpikir kritis dan sistematis guna menangkal sisi gelap kemajuan teknologi digital seperti hoaks yang mulai menemukan jati diri. Akhirnya, buku ini mengingatkan para pembaca akan kekuatan menulis. Dengan menulis semua yang tak terungkapkan menemukan alasan untuk dimengerti dan dijelaskan. Begitupun, semua yang dapat dimengerti dan dijelaskan menjadi episode-episode yang sarat pesan dan nilai.

 

Foto: Dokumentasi Redaksi

Editor: R. Fahik/red

Post a Comment

0 Comments