Catatan Pinggir pada Novel “Seperti Benenai Cintaku Terus Mengalir Untukmu” Karya R. Fahik
Oleh: Mario Djegho
Seperti Benenai
Cintaku Terus Mengalir Untukmu adalah sebuah novel yang sangat menarik. Ketertarikan
yang dimiliki oleh novel ini sangat mumpuni sehingga para pembaca akan dibuat
terkesima oleh alur imajinasi R. Fahik, si penulis novel. Secara visual, novel
ini terkesan sederhana dan terlihat lazim seperti novel pada umumnya. Namun,
substansi yang terkandung di dalam kesederhaan tersebut menjadi cita rasa unik
yang menuntun pembaca masuk ke dalam sebuah karya etnografi.
R. Fahik berusaha mengantar pembaca masuk ke dalam
suasana dan pemikirannya tentang Malaka, tanah kelahirannya yang menjadi
orientasi utama penggambaran novel ini. Tatanan bahasa yang digunakan oleh R.
Fahik terbilang berbeda dari novel pada umumnya. Tidak ada permainan kata atau
akrobatik diksi yang terkesan konotatif di dalam novel ini. Semua hadir dalam
bahasa yang baku dan tidak bertele-tele. Novel ini berusaha merangkul semua
pembaca tanpa menitikberatkan variabel
pendidikan, usia, golongan dan sebagainya. Semua orang akan merasa memiliki
novel ini dan bahkan ikut merasakan bagaimana lika-liku hidup tokoh “aku” yang
dilukiskan oleh R.Fahik. Oleh karena itu, novel ini bisa diulas dari semua
sudut pandang tanpa mengurangi maksud dan tujuan penulisan novel ini.
Secara umum, novel ini berbicara tentang Malaka, salah
satu dari dari 22
kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Malaka
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Belu pada 11 Januari 2013 sesuai
amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2013. Selain pada novel ini, penggambaran
akan Malaka juga terlukis di dalam novel Likurai
untuk sang Mempelai, karya R. Fahik.
Malaka menjadi setting tempat yang diprioritaskan oleh R.
Fahik dalam dua novelnya ini. Hal tersebut wajar terjadi karena R. Fahik adalah
putra asli Malaka yang lahir di Betun (Ibu Kota Malaka). Inilah semangat utama
yang menjadikan novel ini terkesan sangat membangun dan merujuk ke dalam sebuah
konsep pembangunan yang universal. Sebagai putra daerah, R. Fahik memiliki
tanggung jawab moral untuk membangun dan menjadikan Malaka sebagai rumah
ternyaman untuk pulang dan tempat terbaik untuk merindu. Artinya, Malaka harus
dibangun, dibenah, dan dirawat selamanya sampai generasi seterusnya yang siap
mewarisi.
Semangat “Pulang
Kampung”
Di dalam novel Seperti
Benenai Cintaku Terus Mengalir Untukmu, R. Fahik melukiskan tokoh aku
sebagai seorang pemuda yang pulang kembali ke Tanah Malaka usai merantau ke Kota Jogja. Ada
dua alasan mengapa ia ingin pulang yakni, kecintaannya pada
gadis Malaka bernama Noy dan demi Malaka itu sendiri. Kecintaan dan
kerinduannya pada Noy dan Malaka diibaratkan pada Sungai Benenai, sungai di
Malaka yang selalu mengalirkan air tanpa memandang musim yang berganti. Benenai
menjadi pengingat sekaligus lambang cinta dan rindu si aku untuk selalu pulang
ke “rumah” ketika lelah berkelana menyusuri tanah perantauan.
Noy adalah wanita yang sangat dicintai oleh si aku. Dalam
novel Likurai untuk sang Mempelai tokoh
Noy juga disebut sebagai kekasih hati si tokoh aku. Hal tersebut juga berlanjut
ke dalam novel ini. Seiring berjalannya cerita, pembaca akhirnya sadar bahwa
Noy adalah masa lalu si aku. Noy telah meninggal karena penyakit bawaan yang
dideritanya pasca-kecelakaan saat ia
kecil. Namun, cintanya pada Noy membuatnya berani menolak cinta Mey, gadis
keturunan Jawa-Malaysia yang pernah menjadi sahabatnya di Yogyakarta.
Selain sebagai sahabat, si aku juga memiliki hubungan
yang erat dengan keluarga Mey. Tidak dapat dipungkiri, keluarga Mey juga sangat
berjasa dalam proses pendidikan si aku, terutama dalam proses perkembangan
minat sastranya. Keluarga Mey adalah keluarga berada dan memiliki bisnis keluarga
yang cukup besar. Kedekatannya dengan Mey sebenarnya telah menumbuhkan
benih-benih cinta di dalam dirinya, tetapi si aku tetap berdiri pada
pendiriannya. Dia ingin pulang. Dia sangat mencintai Noy dan Malaka. Dia juga
berpikir bahwa jikalau nanti dia menikah dengan Mey, dia tidak akan pernah bisa
mewujudkan impiannya untuk “pulang kampung”. Dia pastinya akan meneruskan
bisnis keluarga Mey dan sibuk membangun “tanah orang lain” ketimbang kembali ke
kampung halamannya.
Ramuan imajinasi dan cerita R. Fahik tentang pendirian
dan semangat tokoh aku sangatlah menarik untuk diulas. Tokoh aku sebenarnya
mewakili pribadi orang muda pada umumnya. Kepergiannya ke tanah orang untuk merantau ataupun mengenyam
pendidikan tidak membuatnya lupa untuk pulang.
Hal ini juga terjadi di dalam kenyataan. Di NTT,
pendidikan tinggi masih menjadi kendala utama. Kualitas pendidikan yang masih
belum memuaskan menyebabkan sebagian anak muda NTT “merantau” ke “tanah orang”.
Hal tersebut juga berlangsung hingga ke dunia pekerjaan. Minimnya lapangan
pekerjaan dan peluang karir di kampung halaman menyebabkan sebagian anak muda
NTT “betah” bertahan di tanah orang untuk mencari sesuap nasi. Enggannya
kepulangan anak muda NTT ke kampung halamannya menjadi pertanda adanya
degradasi konsep berpikir untuk memaknai arti “pulang kampung”.
Tokoh Noy dalam novel ini sebenarnya adalah sebuah
gambaran harapan. Kematiannya ternyata tidak serta merta menghilangkan semangat
si tokoh aku untuk tetap pulang ke Malaka. Baginya, Malaka adalah sebuah lahan
yang harus diolah untuk menghasilkan sesuatu dan Noy adalah harapannya untuk tetap
berdiri dalam paradigma yang konstruktif. Hal tersebut tersirat dalam puisi
kecintaan si tokoh aku yang dibacakannya dalam sebuah dialog pembangunan Malaka
di Betun, yakni:
“Tanahku, di sini
kuperoleh segalanya.
Di sini pula harus
kuabdikan segalanya”.
Masyarakat NTT pada umumnya dan anak muda NTT pada
khususnya harus memiliki semangat membangun seperti si tokoh aku yang
dilukiskan oleh R. Fahik. Konsep dan paradigma berpikir harus “ditata ulang”.
Dalam pemikiran masyarakat pada umumnya, kesuksesan adalah ketika seseorang
mampu memenuhi kebutuhan materi secara baik dan tercukupi. Materi menjadi tolok ukur tertinggi ketimbang rasa
bahagia. Fisik menjadi indikator utama sebuah kriteria ketimbang kualitas dan
kesehatan mental (mental health).
“Pemenuhan keinginan” menjadi pencapaian tertinggi
ketimbang inovasi untuk perubahan. Konsep dan paradigma berpikir inilah yang
menjadi faktor utama penyebab mengapa masyarakat pada umumnya selalu salah
memberikan definisi tentang peristiwa hari ini. Hal tersebut bermuara pada
kesesatan berpikir dalam memaknai arti “pulang kampung”.
R. Fahik melalui novel ini seolah-olah ingin
membangkitkan semangat kaum muda untuk bergerak. “Sekolah Likurai” adalah
sebuah harapan yang lahir dari kerja keras si tokoh aku dan para sahabatnya.
Keterbatasan sekolah tersebut secara fisik tidak menjadi kendala untuk terus
memajukan kampung halamannya di bidang literasi. Di sini, R. Fahik melalui
tokoh aku ingin menggambarkan betapa besar semangatnya untuk melakukan
perubahan di tengah keterbatasan.
Semangat itu senada dengan apa yang pernah diutarakan
oleh Nick Vujicic, seorang pria yang terlahir tanpa lengan dan tungkai. Nick
pernah berujar dalam bukunya Life Without
Limits bahwa hidup ini bukan sekadar bagaimana
seseorang “memiliki” tetapi seberapa besar dia mampu “menjadi”. Hidup ini bukan
sekadar mencapai prestasi dalam memperoleh
gelar, kekayaan, impian dan materi. Namun, hidup adalah tentang bagaimana kita
menjadi seseorang yang bahagia, berguna, dan bisa diandalkan untuk kepentinngan
banyak orang.
Mengulas
Pembangunan
Novel Seperti
Benenai Cintaku Terus Mengalir Untukmu juga sarat akan visi pembangunan
yang berkelanjutan. Diawali dengan percakapan si tokoh aku dan Mey tentang
peluang investasi jangka panjang di Malaka hingga isi tiga surat yang ditulis
oleh tokoh aku di akhir cerita. Dari alur cerita ini R. Fahik ingin menunjukkan komitmennya untuk membangun Malaka.
Semangat “pulang kampung” yang didengungkan dalam lika-liku hidup si tokoh aku
termanifestasi di dalam konsep berpikir yang sangat substantif dan konstruktif.
Ada tiga pilar utama yang dijadikan R. Fahik sebagai pijakan awal sebuah
pembangunan, yakni pilar pembangunan manusia, pilar kehidupan masyarakat, dan
pilar kebersamaan. Ketiga pilar ini tertuang di dalam tiga surat yang ditulis
oleh si tokoh aku kepada para sahabatnya sebelum keberangkatannya ke Mutis.
Pada pilar pembangunan manusia, R. Fahik menekankan aspek
pendidikan, kebudayaan, dan seni sebagai komponen utama yang sangat
diprioritaskan. Tiga hal ini sangat mewakili konsep keutuhan manusia. Manusia
harus dididik secara intelektual, dibina dalam kultur masyarakat yang kuat akan
penanaman nilai dan norma, serta “dikemas” dalam penghayatan diri yang estetis,
yang mencintai keindahan, dan mampu merasakan keseimbangan. Hal ini sesuai
dengan konsep paradigma pembangunan manusia yang dikemukan oleh Nasution (2004)
dalam bukunya Komunikasi Pembangunan:
Pengenalan Teori dan Penerapannya bahwa pembangunan manusia adalah sebuah
upaya “menata ulang” manusia agar mampu berbuat dan menciptakan sejarahnya
sendiri. Baginya, manusia harus menjadi fokus dan sumber utama pembangunan. Hal
tersebut berguna agar setiap manusia secara pribadi mampu menjadi manusia yang
utuh dan merdeka. Dengan kata lain, semua manusia mampu menjadi produktif
secara ekonomi dan efektif secara sosial.
Kemudian pada pilar pembangunan masyarakat, R. Fahik menekan tiga aspek utama yang
menjadi peluang produktif bagi masyarakat Malaka yakni, bidang pertanian, peternakan, dan
perikanan. Sedangkan pada pilar kebersamaan, R. Fahik memberikan perhatian
khusus pada aspek politik, agama dan lingkungan alam. Jika didalami lebih jauh,
tiga pilar ini harus
berjalan berbarengan. Di sini ada tiga unsur utama yang akan saling
mempengaruhi yakni, sumber daya, kebijakan, dan implikasinya terhadap
lingkungan.
Setiap kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan keberlangsungan
alam dan lingkungan. Pembangunan harus bersifat jangka panjang. Artinya, setiap
generasi dan penerusnya berhak menikmati hasil pembangunan dan berhak atas alam
serta lingkungan yang sama. Sumber daya alam harus terus berlangsung dengan
menekan angka pencemaran dan pengerusakan hutan. Inilah konsep pembangunan
berkelanjutan yang sebenarnya tertuang di dalam pemikiran R. Fahik dan terlukis
dalam si tokoh aku dalam novel ini.
R. Fahik tentunya sangat menekankan pembangunan yang
memperhatikan keberlangsungan lingkungan dan alam. Hal tersebut tersirat dari
penggalan tulisan di surat ketiganya:
“Banyak hutan
lindung yang kini terancam punah.
Salah satunya adalah hutan We Mer. Dijadikan lahan untuk berkebun, hutan
lindung ini nyaris sepi dari pohon-pohon besar dan ribuan rumpun bambu yang
dulu berdiri tegak di punggung bukit ini… saya terus bermimpi, suatu hari nanti, We Mer kembali
hijau seperti dulu”.
Hubungan antara alam dan manusia pada dasarnya telah
terjadi sejak dahulu kala. Relasi resiprokal tersebut melahirkan kebudayaan.
Seperti akar katanya, culture
(Inggris) yang berasal dari akar kata collere
(Latin) yang berarti mengolah alam atau bercocok tanam, manusia “berhutang
budi” pada alam untuk membangun sebuah peradaban. Pola pikir, konsep
pembangunan hingga perhitungan resiko sebuah peradaban selalu didasarkan pada
perkembangan kebudayaan. Di situlah letak strategis alam dan lingkungan hidup
sebagai ibu peradaban (the mother of
civilization). Hubungan yang mendalam antara manusia dan alam melahirkan
realitas baru tentang sebuah hubungan dan kesadaran spiritual yang oleh Arne
Naess disebut deep ecology. Deep ecology atau ekologi dalam
merupakan sebuah konsep yang mendeskripsikan hubungan antara manusia dan
lingkungan alam yang tidak dapat dipisahkan.
Pada akhirnya, Novel Seperti
Benenai Cintaku Terus Mengalir Untukmu berhasil membawa pembaca untuk
mengulas berbagai permasalahan dan isu sosial dalam sebuah kisah cinta dan
kerinduan untuk pulang ke kampung halaman. R. Fahik berhasil meramu berbagai
konsep pembangunan dalam karya sastra terbaik ini. Kita harus bernyala seperti
arti kata Malaka (Ma – “mak” – “yang” dan
Laka – “lakan” – “nyala, cahaya, sinar”). Kita juga harus bisa memiliki
harapan seperti sungai Benenai yang terus mengalir tanpa memandang musim.
Sekali lagi, R. Fahik mampu mempersatukan semua perspektif pembaca ke dalam
sebuah imajinasi yang luar biasa berkualitas.
Tanpa mengurangi gurihnya penafsiran pembaca, R. Fahik telah mengantarkan kita ke dalam sebuah penggambaran umum tentang Malaka, kerinduan untuk pulang, tanggung jawab moral, semangat untuk menciptakan perubahan, serta berani mengambil keputusan dengan komitmen yang matang. Novel ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan, terutama kaum muda yang sedang merantau di tanah orang. Tidak ada yang salah dengan perantauan, tetapi rumah sendiri adalah tempat ternyaman untuk kembali. Ibu selalu berpesan, kemanapun kita berjalan, sejauh apapun kita tersesat, seburuk apapun kita terpuruk atau setinggi apapun kita berhasil, lengan rapuh ibu akan selalu ada untuk memeluk kita ketika kita kembali pulang.
* * *
Mario Djegho lahir pada 21 Agustus 1995 di Denpasar. Menyelesaikan pendidikan terakhirnya pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa Cendana pada 2019. Pria yang senang berjalan kaki dan membaca buku astronomi ini juga tertarik pada dunia menulis. Baginya, menulis adalah sebuah cara mendokumentasikan pikiran, hati, dan rasa dalam sebuah keunikan hidup. Selain membaca, pria berdarah Ende-Flores ini juga senang menulis, berkebun, dan memelihara ternak sebagai kesibukannya sehari-hari. Akhir 2020 lalu ia lolos dalam Seleksi Wartawan Media Pendidikan Cakrawala NTT.
0 Comments