Oleh Feliks Hatam
Tenaga Kependidikan di Unika Santu Paulus
Ruteng
Sudah satu tahun lamanya. Makhluk berakal
budi seantero jagat melawan wabah makhluk renik bernama Corona Virus atau
sering dikenal dengan Covid-19. Hampir tiga semester manusia berada pada
kecemasan dan harapan. Cemas oleh belum berakhirnya cerita teragis dan
kenyataan nyawa manusia yang direnggut akibat virus ini.
Duka dan tangisan karena kehilangan
keluarga dan orang yang disayang akibat wabah ini selalu menjadi ceritera pahit
selama hampir tiga semester ini. Kehilangan tempat kerja, tergesa-gesa untuk
bergerak mencari materi demi menyambung hidup selalu menjadi ceritra nyata yang
pahit sejak wabah Covid-19. Di setiap tetesan air mata dan di akhir kecemasan
selalu menaruh harapan, kelak musibah ini berakhir.
Musibah ini “merontokkan” tatanan
politik, sosial, ekonomi dan pendidikan. Menjawab harapan agar musibah ini
berakhir, pengambil kebijakan dan/atau pemegang palu keputusan di masing-masing
negara melakukan berbagai langkah preventif seperti lockdown, Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) dan
istilah lainnya yang membatasi lansung antar-masyarakat.
Demikian halnya di Indonesia. Antara lockdown, PSBB dan
masa kenormalan baru (new normal) selalu
silih berganti karena penyebaran virus ini tidak berhenti, hingga muncul lagi
istilah yang baru; next new normal.
Masa kenormalan baru berikutnya (next new
normal) tentu setelah beberapa kali PSBB. Dari PSBB muncul istilah Work From Home (WFH), berlajar dari rumah, dan lain-lain yang bermuara pada pembatasan
intraksi sosial secara langsung.
Langkah pencegahan yang sama dilakukan
pula dalam dunia pendidikan dengan memberlakukan belajar dari rumah (BDR) atau
sekolah dari rumah (SKDR) atau dengan istilah lainya. BDR atau SKDR mungkin
tidaklah terlalu sulit bagi guru dan siswa yang berada di daerah dengan
infrastruktur jaringan komunikasi yang memadai, atau memiliki akses jaringan
internet. Namun “petaka” bagi guru dan siswa yang berada di daerah yang masih
jauh dari kemajuan, lebih khusus akses jaringan komunikasi dan internet.
Berhadapan dengan persoalan belum
meratanya pembangunan infrastruktur jaringan, pendidik dan peserta didik berada
pada dua pilihan. Bagi siswa antara masa depan dengan keterbatasan jaringan
internet bahkan tidak ada akses jaringan, sementera bagi guru antara tanggung jawab
moral dan profesi dengan tidak adanya jaringan internet, belum lagi jarak
antara anak kampung dengan sekolah sangat jauh, diperparah lagi dengan kondisi
jalan raya yang buruk, bahkan tidak ada jalan raya. Bahkan demi masa depan bagi
peserta didik, dan demi tugas dan tanggungjawab profesi bagi pendidik kadang-kadang
(selalu) mereka beranjak dari rumah (kampung) mencari jaringan ke hutan atau
setidaknya tempat yang dapat mengakses jaringan.
Dari
Rumah ke Rumah
Diakui bahwa, selama masa pandemi Covid-19, semua sektor
memiliki kergantungan yang tinggi pada teknologi digital. Bahkan akan berlanjut
pada masa kenormalan baru. Pada posisi ini negara harus hadir untuk memenuhi
hak warga negara untuk mengakses atau memperoleh informasi. Namun kenyataan
oleh belum meratanya pembangunan, negara belum mampu menjawab hak warga untuk
mendapatkan informasi menggunakan teknologi digital.
Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) 2019 mencatat, pengguna Internet
Indonesia mencapai sekitar 171,17 juta atau 64,8 persen dari total populasi
Indonesia sebanyak 264 juta jiwa penduduk. Sisanya adalah warga Indonesia yang
tidak memiliki akses informasi terhadap teknologi digital. Hasil survey
ini mengafirmasi data Kemkominfo tahun
2018 yang menunjukkan bahwa pengguna Internet Indonesia (72,41 persen) berada
di daerah perkotaan. Warga di Pulau Jawa terpapar internet 57,70 persen,
sedangkan yang terendah, Bali-Nusa 5,63 persen dan Maluku-Papua 2,49 persen.
Sementara kualitas jaringan 4G yang tersedia, juga terlihat ada ketimpangan
yang cukup meresahkan. Temuan dari Open Signal, perusahaan swasta yang khusus
memetakan cakupan nirkabel secara global, menunjukkan ada kesenjangan
konektivitas antara wilayah perkotaan yang padat penduduknya dengan daerah
pedesaan berpenduduk jarang (kompas.com, 1/6/2020).
Membaca data ini, sangatlah jelas bahwa
negara belum hadir secara maksimal dalam manjawab hak masyarakat, lebih khusus
dalam mengakses atau mendapatkan informasi melalaui teknologi digital. Berhadapan
dengan persolan ini, mungkin pernah terlintas dalam benak kita pertanyaan
seperti ini: Bagaimakah cara guru-guru
dan siswa di pedalaman mengajar saat pendemi? Atau bagaimanakah siswa-siswi
mendapatkan materi pelajaran?
Alasan moral dan tanggung jawab,
keterbatasan apapun tidak mengurangi semangat pengabdian para pendidik.
Semangat mencerdaskan anak bangsa tanpa sekat, walau melawan rintangan. Sejak
diberlakukan kegiatan belajar dari rumah atau apapun namamnya, yang
mengharuskan sekolah tidak melakukan pembelajaran tatap muka. Belajar dari rumah yang diberlakukan baik
secara nasional atau lokal, dengan mempertimbangkan tingkatan penyebaran
Covid-19 akan bermuara pada suksesnya proses pembelajaran manakala seluruh
wilayah di republik ini memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses jaringan.
Sebab pada kenyataanya masih begitu banyak daerah-daerah yang belum menikmati
jaringan komunikasi.
Saat diberlakukannya belajar online atau daring pada semua jenjang
pendidikan dengan andalan utama adalah jaringan, android dan pulsa data, maka
saat itu pula terungkapnya salah satu
bukti bahwa masih ada kampung/wilayah/daerah yang masih jauh dari kata kemajuan.
Karena saat belajar online, guru-guru
di pedalam dan peserta didik mendapatkan materi dengan “oh-lain”. “Oh-lain”,
sebab mereka memiliki cara lain di tengah belum meratanya pembangunan.
Sejauh ini, berdasarkan ceritera, sharing dan yang saya lihat adalah guru-guru mendatangi
rumah peserta didik satau persatu dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh
sekolah. Bersyukur saja, bila sekolah berada dekat dengan pemukiman warga atau
orang tua murid. Namun tidak sedikit juga guru-guru mendatangi siswa dari satu
kampung ke kampung lain dengan jalan kaki, sesuai penyebaran peserta didik.
Inilah yang disebut pembelajaran “oh-lain”, karena caranya berbeda dengan online, tetapi “oh-lain” dengan cara dari
rumah ke rumah, bahkan dari kampung ke kampung (offline).
Masalah lain sebagai bukti masih belum
meratanya pembangunan di republik ini adalah, semisal wilayah atau kampung di
mana sekolah itu didirikan dengan bebas mengakses jaringan, tetapi kampung dari
para murid yang ada di sekolah tersebut tidak semua dapat mengakses jaringan.
Tidak sedikit yang mengahadapi tantangan ini. Sejauh yang saya lihat selama ini
adalah para siswa berusaha mencari jaringan atau tempat yang dapat mengakses
jaringan, sekalipun jauh dari pemukinan, asalkan ada jaringan supaya bisa
mendapatkan meteri pembelajaran, mengirimkan tugas ke sekolah dan untuk
mendapatkan informasi terbaru dari sekolah. Masih banyak bukti lain, yang
menegaskan masih banyak daerah/wilayah yang butuh perhatian pemerinatah secara
serius.
Hal penting yang mau disampaikan dari
semua ketertinggalan itu adalah misi pemerataan pedidikan, ekonomi dan SDM
secara merata di wilayah nusantara, tidak akan pernah tercapai bila pembangunan
belum merata. Pembangunan SDM akan dengan mudah, bila saja ada pemerataan
pembangunan. Seperti Jaringan komunikasi, listrik, jalan raya, dan pemutusan
isolasi antara kampung dengan kampung, antara desa-dengan desa.
Bila sebelum Covid-19, pemerataan
pembagunan infrastruktur jaringan “tidak terlalu penting” atau pilah-pilih
daerah/desa atau kampung, maka saat ini pemerataan akses jaringan untuk semua
warga menjadi keharusan dan atau hak warga negara untuk segera dipenuhi. Bila
masih ada warga yang belum (tidak) beruntung (the underprivileged people) untuk
mengakses informasi dengan teknologi digital selama dan sesudah pandemi
Covid-19 maka sama saja dengan meninggalkan atau membiarkan mereka semakin
terperosok dan semakin tertinggal dari berbagai sektor. Hal ini semakin
diperparah lagi, bila tertinggal juga dari segi infrastruktur transpotasi dan
listrik.
Ketertinggalan Lain Menghambat Kemajuan
yang Lainnya
Pemerintah meluncurkan berbagai macam
nama dan jenis program dengan cita-cita agar meratanya akses jaringan di tanah air dan pembagunan
lainnya yang bermuara pada peningkatan ekonomi dan SDM. Harapan ini terbentur dengan
ketertinggalan lainya, seperti akses transportasi dan listrik.
Kenyataan ini juga diungkapkan oleh General
Manager Future Network Project Telkomsel,
Ronald Limoa bahwa sejumlah kesulitan yang menjadi kendala dalam membangun
akses jaringan internet di daerah terpencil, tertinggal, terluar (3T) di
Indonesia, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia adalah pertama, kendala
perluasan jaringan internet di berbagai wilayah di Indonesia (daerah 3T) adalah
akses transportasi. Kedua, masih terbentur dengan ketersediaan infrastruktur
dasar dan pendukung seperti listrik, sering sekali menjadi hambatan
penyelenggara jaringan untuk membangun akses jaringan telekomunikasi ataupun
akses data di wilayah (Kamis, 17/12/2020). Misalanya, di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) masih ada 25.000
rumah tangga yang belum menikmati listrik (finance.detik.com, 6/2/2020).
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa,
peningkatan kualitas jalan raya dan pembukaan isolasi antar daerah adalah
jantung dan jalan agar pembangunan lainnya dapat berjalan. Pengandaiannya
sederhana saja: Pengusaha atau negara ingin membangun pemancar jaringan atau
PLN, pasti membutuhkan akses masuk untuk mengangkut peralatan yang dibutuhkan,
atau petani dan pengusaha tidak mungkin mengandalkan tenaga manusia untuk
menjual dan membeli (mengangkut) hasil bumi dalam jumlah yang banyak.
Ketertinggalan infrastruktur transportasi
multi-dampak, dan menghambat pembangunan lainya. Tidaklah belebihan juga bila
dikatakan bahwa keterbelakangan pembangunan itu seperti mata rantai. Dijelaskan
seperti ini: Jalan raya dan membuka akses daerah isolasi agar saling terhubung,
maka berlahan-lahan ada peningkatan ekonomi-pembangunan lainya bisa masuk atau
berjalan, mulai dari SDM, akses informasi dan listrik. Oleh karena itu, bila
ingin membangun sesutau demi pemerataan pembangunan terlebih dahulu
memperhatikan pembangunan lainya, apakah sudah atu belum. Bisa saja satu kali jalan
dengan melibatkan unsur-unsur terkait.
POJOK
Kata Jokowi: “Sebagai negara luas dengan 17.000 pulau, Indonesia
memerlukan banyak infrastruktur sebagai syarat dan fondasi untuk menjadikannya
sebagai negara maju.”
"Infrastruktur itu bisa berupa jalan desa, jembatan desa, bisa
pelabuhan kecil, pelabuhan besar, airport atau bandara, pembangkit listrik juga
komunikasi. Infrastruktur inilah yang akan membawa kita bisa berkompetisi, menang
bersaing dengan negara lain."
"Di Temanggung, anak-anak sekolah atau ibu-ibu yang mau ke pasar
itu harus muter 5 kilometer dan membutuhkan waktu satu jam lebih. Itu yang
jalan kaki. Setelah ada jembatan gantung, hanya butuh waktu 10 menit (jalan)
dari desa satu ke desa lain lalu ke pasar." (Kompas.com - 15/01/2019).
ASPIRASI: Bapak Preseden, terima kasih
untuk pernyataan ini. Sampai kapan kami menunggu? Sesekali, datanglah di
pelosok Flores, masih banyak rakyatmu yang menunggu kue pembangunan, seperti
kelayakan infrastruktur, merindukan saling terhubung dengan kampung, desa,
kecamatan lain, masih banyak yang menunggu akses jaringan secara bebas, dan
masih banyak yang merindukan listrik.
Demi tugas dan tanggung jawab, guru-guru di pedalaman rela datang dari
rumah ke rumah dan dari kampung-kampung walau berjalan kaki demi mencerdaskan
tunas-tunas bangsa. Peserta didik, rela berada di tempat jaringan walau jauh
dari pemukinan warga, datang ke kampung sebelah hanya untuk mengisi daya handpone, demi masa depan. Orang tua
wajib mensisihkan sebagian pendapatan dari hasil bumi yang dipikul ke pasar karena
tidak ada jalan raya, demi membeli handphone android dan pulsa data agar buah
hatinya tetap mengeyam pendidikan di tengah krisis ekonomi keluarga.
ASPIRASI: Bapak Presiden yang terhormat
dan pengambil kebijakan. Kapankah ketertinggalan ini berlalu? Apakah kami
tertinggal atau memang ditinggalkan? Perkenankan kami menikmati kue pembangunan
itu. Kami di sini, selalu berharap.
0 Comments